Bendungan
Besar versus Petani Kecil
Ivan Hadar ; Direktur Eksekutif Institute for
Democracy Education;
Koordinator Nasional Target MDG,
2007-2010
|
KOMPAS, 16 April 2015
Ke depan, demi swasembada pangan, Presiden Joko Widodo berjanji membangun
50 bendungan besar di seluruh Indonesia. Banyak pihak menyambutnya dengan
antusias. Peresmian pembangunan bendungan besar di Raknamo, misalnya, dinilai
Gubernur NTT Frans Lebu Raya sebagai hadiah ulang tahun ke-56 provinsi yang
sering dilanda kekeringan ini. Namun, di sisi lain, ada pula suara kritis.
Setidaknya, dalam catatan sejarah dan pertimbangan ekonomi, bendungan besar merangsang dan
memprioritaskan pertanian skala besar sekaligus menggusur petani kecil dan
merusak lingkungan. Hal ini yang terjadi pada konsep "Revolusi
Hijau" di zaman Orde Baru. Waduk Kedung Ombo ketika itu, misalnya,
bercerita tentang penenggelaman lahan subur, perusakan lingkungan, dan
penggusuran petani kecil.
Padahal, berdasarkan temuan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO,
2005), kedaulatan pangan satu negara sebagian besar bertumpu pada produksi
pertanian kecil multifungsi. Temuan ini berbeda dengan konsep lembaga
multilateral, seperti Bank Dunia dan Global Donor Platform on Rural
Development, yang lebih memprioritaskan pada agroindustri berorientasi pasar
dunia dan berfungsi penyuplai jaringan supermarket global.
Pertanian kecil multifungsi memang tak melulu berdasarkan
kalkulasi ekonomi, tetapi lebih pada ketahanan dan kedaulatan pangan lokal
dan nasional, bertambahnya lapangan pekerjaan, serta merupakan bagian
integral dari budaya dan kearifan lokal. Lebih dari itu, meski sering
dituding mempromosikan romantisisme small is beautiful, berbagai studi
menunjukkan, lokasi yang pas, cara berproduksi ramah lingkungan, dan
pertanian skala kecil ternyata sangat produktif. Sebaliknya, sistem
monokultur dan industrialisasi pertanian adalah penyebab utama punahnya
banyak jenis tanaman.
Menurut lembaga PBB Hunger Task Force, penyebab utama kelaparan
adalah ketimpangan ekstrem dalam distribusi lahan. Proses penggusuran, dan
pada sisi lain konsentrasi berlebihan kepemilikan lahan, telah memarjinalkan
dan memblokir pembangunan desa.
Pengalaman dari mancanegara mengajarkan, aksesibilitas atas
tanah persyaratan terpenting bagi pembangunan pertanian sekaligus pembangunan
desa (Brandt/Otzen, 2002). Karena itu, reformasi agraria jadi keharusan.
Aksesibilitas atas tanah (landreform) adalah "bahasa"
ekonomi-politik baru, di mana salah satu kata kuncinya adalah property
rights. Penggunaan istilah aksesibilitas mengingatkan kita pada Amartya Sen
dan asumsinya tentang "entitlement", yaitu tak seorang pun harus
lapar karena di dunia ini tersedia makanan berkecukupan. Mereka yang lapar
hanya karena tidak memiliki akses (memproduksi) bahan pangan.
Pertanian ekologis
Landreform yang gagal di Amerika Selatan dan Filipina disebabkan
keterbatasan dana, birokrasi yang njlimet dan korup, serta resistensi politis
para tuan tanah. Meskipun demikian, jawaban atas kelemahan reformasi agraria
oleh negara, demikian La Via Campesina, bukanlah liberalisasi melainkan
memperbaiki dan memperkuat peran negara.
Bagi Sofia Monsalve, koordinator kampanye internasional
reformasi agraria Bread, Land, and Freedom (2003), ".reformasi agraria adalah kewajiban penegakan HAM oleh negara,
termasuk mengupayakan hak atas pangan. Pemerintah berkewajiban atas pemenuhan
hak asasi paling mendasar ini dengan memberikan akses lahan, bibit, air, dan
sumber-sumber produktif lain agar masyarakat bisa menyediakan sendiri
makanannya."
Pada Hari Pangan Sedunia, Oktober lalu, FAO mengakui peran
pertanian berbasiskan keluarga tani kecil sebagai penyedia pangan masyarakat
dunia yang mampu mengentaskan kelaparan. Saat ini, satu dari sembilan orang
di dunia atau 805 juta jiwa mengalami kelaparan (FAO, September 2014). Di
tingkat nasional, 8,7 persen atau satu dari 11 orang di Indonesia masih
mengalami kelaparan.
FAO menjadikan tahun 2014 sebagai tahun internasional petani
keluarga. Dengan demikian, menurut Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI)
Henry Saragih, lembaga PBB tersebut telah mengakui peran petani kecil sebagai
saka guru penghapus kelaparan dunia (SPI, 16/10/2014).
Selama ini kelaparan terjadi akibat kekeliruan sistem pertanian
yang dikembangkan dengan mengabaikan peran dan kedudukan pertanian kecil
dalam. Pemerintahan SBY pun menentang regionalisasi pangan ketika menempatkan
Jawa sebagai lumbung pangan Indonesia.
Ini hal yang menurut banyak pihak keliru karena seharusnya
ketahanan dan kedaulatan pangan menuntut agar setiap daerah memproduksi
pangannya sendiri. Berkaitan dengan kedaulatan pangan, prinsip pertanian
ekologis yang memanfaatkan lingkungan sekitar lokasi pertanian tampaknya
menjadi salah satu tawaran solusi terhadap berbagai permasalahan.
Dalam konsep pertanian ekologis, konsumen cenderung memakan
pangan dari lokasi di mana ia berada, dan sebisa mungkin mengurangi konsumsi
bahan makanan yang harus didatangkan dari luar. Hasil penelitian beberapa
pakar pertanian ekologis (SPI, 2010) menunjukkan, hasil produksi pangan
pertanian ekologis selain murah juga produktivitasnya dua kali lipat
dibandingkan dengan pertanian skala besar, di samping ramah lingkungan. Pertanian
yang juga bersifat organik ini menjauhkan diri dari pemanfaatan bahan kimia
dan menumbuhkan bahan pangan sesuai kondisi alam setempat.
Dalam pilpres terakhir, mayoritas kelompok pengangguran,
komunitas petani dan nelayan pendukung Jokowi. Bendungan memang dibangun
dengan tujuan bagus, seperti mengendalikan banjir, mengairi sawah, dan
membangkitkan listrik. Namun, bendungan besar memiliki sejarah kelam. Bagi
Arundhati Roy, penulis dan feminis India yang memimpin gerakan anti bendungan
besar, bendungan punya daya rusak seperti bom nuklir, makin besar, kian
merusak (Farid Gaban, Februari 2015).
Berdasarkan data BPS (2013), petani gurem yang mengusai lahan
kurang dari 0,5 hektar semakin tersingkir. Sebaliknya, kepemilikan lahan
pertanian justru dikuasai pihak-pihak yang memiliki modal besar. Tak heran
jika ada sinyalemen bahwa salah satu penyebab utama kenaikan harga beras
akhir-akhir ini adalah akibat ulah pelaku besar usaha pertanian (Kompas, 5 Maret 2015). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar