Senin, 28 November 2022

 

Transendensi Sakit dan Religiositas Rendra

Purnawan Andra : bekerja di Direktorat Pengembangan & Pemanfaatan Kebudayaan Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek

KOMPAS, 20 November 2022

 

                                                

 

Tanggal 7 November adalah tanggal lahir sastrawan besar Rendra. Lahir di Surakarta tahun 1935, seniman bernama asli Willibrodus Surendra Broto ini meninggal 6 Agustus 2009 di Depok, Jawa Barat. Jika masih hidup, ia baru saja berulang tahun ke-87.

 

Rendra adalah sebuah paket lengkap kesenimanan. Ia seorang pemain dan sutradara teater handal. Bersama kelompoknya Bengkel Teater, Rendra menjadi tonggak teater modern Indonesia. Ia menerjemahkan karya-karya besar dunia seperti Oedipus, Hamlet, Macbeth, selain menghasilkan karya besar seperti Panembahan Reso dan Kisah Perjuangan Suku Naga. Buku Mempertimbangkan Tradisi serta Penyair dan Kritik Sosial membuktikan pemikirannya yang luas, tajam dan mendalam.

 

Rendra adalah penulis dan pembaca puisi yang baik, suatu hal yang sulit didapat saat ini. Karya-karyanya merangkum hasrat artistik menjelajah beragam spektrum mulai dari problem sosial, humanisme, hingga nasionalisme kebangsaan, dan religiositas. Rendra adalah catatan capaian artistik yang luar biasa.

 

Hingga menjelang akhir hayatnya, dalam sakitnya, ia menuliskan puisi tak berjudul:

 

Aku lemas

 

Tapi berdaya

 

Aku tidak sambat rasa sakit

 

atau gatal

 

Aku pengin makan tajin

 

Aku tidak pernah sesak nafas

 

Tapi tubuhku tidak memuaskan

 

untuk punya posisi yang ideal dan wajar

 

Aku pengin membersihkan tubuhku

 

dari racun kimiawi

 

Aku ingin kembali pada jalan alam

 

Aku ingin meningkatkan pengabdian

 

kepada Allah

 

Tuhan, aku cinta padamu

 

Sakit memang kerap membawa kita pada suasana batin dan konflik yang mengarah pada persoalan-persoalan transenden. Sakit membawa pada perenungan akan keilahian, takdir, dan keajaiban kehidupan. Kita seperti dibawa dalam narasi dan dialog yang mempertanyakan nasib manusia di hadapan Tuhan, dengan segala keterbatasan dan kelebihannya.

 

Sakit sebagai sebuah kondisi spiritual telah menempatkan kita dalam lintasan-lintasan peristiwa yang menguak penyingkapan makna akan nilai. Sehat-sakit, bahagia-sedih, surga-neraka menjadi perjalanan manusia untuk melakukan dialektika peran di hadapan Tuhan. Sakit mempertajam pandangan spiritualitas, dengan kekuatan mata batin untuk merefleksi peristiwa.

 

Puisi tersebut bersuasanakan pergolakan batin, seperti ruang ambang, ruang antara manunggaling kawula-Gusti. Rendra berada dalam narasi tarik-menarik antara menerima peristiwa keilahian dan mempertanyakannya; menyadari keterbatasan sebagai manusia sekaligus memaknai kekuatan adikodrati; meratapi nasib sekaligus bersyukur atas karunia yang diterimanya. Antara estetika bahasa, humanisme rasa, dan ekspresifitas suasana, ia merepresentasikan religiositas Rendra.

 

Religiositas memang bukan masalah agama belaka. Menurut Paul Tillich, religiositas adalah sebuah ‘dimensi kedalaman’, pengembaraan pencarian jawaban kerinduan manusia tentang eksistensinya. Emha Ainun Nadjib menambahkan religiositas sebagai rasa ingin berada bersama sesuatu yang abstrak, yang berada di luar penguasaan ruang pikiran, rasa, dan hati. Ia abstrak, tapi ada secara riil sehingga justru terasa paling konkret.

 

Dalam buku Sastra dan Religiositas, Y.B. Mangunwijaya menyatakan bahwa, pada awal mula, segala sastra adalah religius. Sastra hadir sebagai “ruang-ruang kesadaran” dalam memandang hidup dan kehidupan manusia, melihat diri sendiri, yang tidak bisa dilepaskan dari kemisteriannya.

 

Religiositas sendiri berasal dari kata religio (relego: Latin), yang berarti memeriksa lagi, menimbang, merenungkan keberatan hati nurani, seperti menegaskan bahwa religiositas mengisyaratkan “pertemuan” dimensi batin dan dimensi rasional yang berlangsung terus-menerus bersama pengalaman hidup sehari-hari.

 

Religiositas lebih melihat aspek yang hidup “di dalam lubuk”, getaran hati nurani. Religiositas adalah “agama yang hidup” pada diri seseorang, penghayatan manusia terhadap imannya (Sumbawi, 2021).

 

Melalui puisi tersebut, krisis psikologi, problem pribadi dan konflik spiritualtas disajikan dengan latar sakit. Rendra menjadikan kondisi sakit sebagai motif, struktur narasi yang mengalir untuk mencapai keutuhan nilai. Ia menyingkap kesadaran kemanusiaan saat hidup dihadapkan pada kondisi sakit. Ia melihat celah-celah peristiwa krisis personal dari sudut pandang humanis, untuk dihadirkan pada pembaca sebagai kisah yang reflektif.

 

Membaca puisi itu, kita dihadapkan pada persoalan humanisme, menyentuh empati, untuk mencapai kearifan. Katarsis yang tercipta pada puisi tersebut merujuk pada persoalan religiostitas, pada upaya ”penyucian diri”: pembaruan rohani, pelepasan diri dari ketegangan dan segala aktivitas duniawi yang melenakan.

 

Ketajaman spiritualitas Rendra menyingkap masalah hidup, dengan kekuatan intuisi, imaji, dan diksi. Pengembaraan metafor dan eksplorasi tanda yang dilakukannya (tajin, racun kimiawi) menjadi permainan estetis nan satir yang disusupkannya dalam latar hingga mencipta pondasi narasi dan kisah yang kompleks dalam penafsiran dan pemaknaan.

 

Berkembanglah kompleksitas tafsir yang masing-masing memiliki lapis eksotismenya sendiri. Kita dibuat tertegun karena kekuatan style Rendra merefleksikan batin terdalam dan mengembangkan cita rasa estetika yang memberi pengalaman spiritual pembaca mengenai hidup dan kehidupan.

 

Seturut Gilles Gun (dalam Emiyati, 2021), lewat karya sastra, religiositas diubah menjadi bentuk yang tidak hanya dapat kita ‘lihat’ lebih konkret, juga dapat kita lihat dengan perasaan (feelingly). Sastra membantu kita untuk ‘tahu apa yang kita rasakan’.

 

Rendra menghadirkan transendensi narasi manusia yang sakit lewat pondasi spiritualitas reflektif untuk memberi sugesti akan daya hidup yang lebih subtil, yaitu religiositas. Ia mencipta ruang dan makna konstektual untuk menyingkap hakikat kebenaran yang kini semakin terselubung kedok kepalsuan duniawi.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/11/17/transendensi-sakit-dan-religiositas-rendra

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar