Senin, 28 November 2022

 

Religiosentrisme

Ratno Lukito : Dewan Pengawas Yayasan Sukma, Guru Besar

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

MEDIA INDONESIA, 21 November 2022

 

                                                

 

RELIGIOSENTRISME berasal dari kata bahasa Inggris religiocentrism; ialah ungkapan tentang orang beragama yang menyakini bahwa agamanya sendiri lebih penting atau lebih unggul daripada agama lain (Corsini 1999: 827).

 

Kata itu sudah digunakan sejak awal abad ke-20. Ekonom Amerika, Adrian Augustus Holtz (1917:15), misalnya, mengungkapkan bahwa awal reformasi pendidikan sekolah di Jerman masih dilakukan dengan mengizinkan sistem yang religiosentris. Hal itu sejalan dengan terminologi Christocentric yang memiliki makna sebagai satu bentuk kristiani yang konsentrasi terhadap ajaran Yesus Kristus, tetapi sering mempersamakan dengan religiosentris.

 

John J Ray dan Dianne Doratis (1971:170) menerangkan bahwa secara analogi istilah religiosentrisme dipakai untuk mengartikan sentimen eksklusif berbasis agama--keyakinan bahwa seseorang harus menikah dengan orang dari agamanya sendiri, bekerja dengan anggota agamanya sendiri, dan secara umum lebih memilih anggota agamanya sendiri daripada yang lain. Itulah alasan istilah religiosentrisme secara ipso facto memberikan arti merendahkan agama lain.

 

Memicu konflik

 

Dengan meningkatnya keragaman agama dan kebebasan manusia, perilaku simbolis dan ekspresif keagamaan secara luas terjadi dalam bidang pendidikan, tempat kerja, platform politik, media komunikasi, dan lain-lain. Hal itulah yang dapat menyebabkan konflik antara kelompok etnik mayoritas dan minoritas dalam masyarakat multikultural (Carmella, 2011; Lawrence & King, 2008).

 

Berbagai riset menunjukkan bahwa sikap religiosentris itu menjadi salah satu penyebab munculnya prasangka dan konflik antarkelompok mayoritas dan minoritas dalam masyarakat. Berbagai literatur saat ini menunjukkan efek negatif ekspresi etnosentris agama pada hubungan antarkelompok dan konsekuensi negatifnya, misal ketidakadilan, tekanan, kecemasan, ketegangan, ancaman, dan konflik.

 

Sebagaimana dikemukakan Corsini di atas, keyakinan agama seseorang lebih penting atau lebih tinggi daripada agama lain dapat muncul karena sentimen berbasis eksklusivitas etnik. Religiosentrisme dilahirkan karena sentimen keagamaan dari keyakinan yang eksklusif. Menurut Chalfant, Beckley, dan Palmer (1994), religiosentrisme merujuk pada perasaan benar dan superioritas karena akibat dari afiliasi keagamaan yang menghambat kemampuan suatu masyarakat untuk mencapai adaptasi dan integrasi. Lebih jauh, hal itu dapat mencegah saling pengertian dan memicu konflik ketika tindakan intimidatif suatu kelompok agama dipandang sebagai ancaman nyata terhadap kelompok agama lain.

 

Menurut Abu-Nimer, seorang religiorelativistik meyakini bahwa agama lain berhak untuk hidup dan dipraktikkan, bahkan jika norma dan keyakinan tersebut bertentangan dengan keyakinan agamanya sendiri. Orang seperti itu tidak mudah terlibat dalam konflik atau tindakan diskriminatif terhadap penganut agama lain.

 

Sebaliknya, seorang religiosentris adalah orang beriman, mengingkari kebenaran agama lain dan memegang kebenaran mutlak serta tidak memberikan ruang bagi praktik keagamaan yang berbeda. Orang seperti itu menjadi lebih rentan untuk mengungkapkan ujaran kebencian, tidak manusiawi, merendahkan, mengecualikan, dan mendiskriminasi kelompok dan individu agama lain. Akibatnya, paparan negatif, penghinaan, dan destruksi di lingkungan sosial, budaya, dan konteks politik dapat menimbulkan konflik di antara dua kelompok agama/etnik.

 

Dengan mengikuti orientasi teoretis itu, beberapa penelitian menemukan bahwa tingkat orientasi keagamaan dan religiositas yang lebih tinggi secara signifikan berhubungan dengan konflik antarkelompok agama (Banyasz et al., 2016). Berdasarkan pendekatan etnosentris agama, Patai (1954, 1987) menemukan adanya konflik agama yang luas di antara agama-agama 'teistik' dan 'nonteistik' dalam masyarakat. Sejalan dengan hipotesis itu, beberapa penelitian telah menemukan bahwa ada kekerasan komunal yang merajalela antara umat Hindu dan Buddha di Sri Lanka, antara umat Hindu dan muslim, serta antara penganut Sikh dan Hindu di India (Uddin, 2022).

 

Peran pendidikan?

 

Bagaimana pendidikan berperan dalam hal ini? Bagaimana kita sebagai guru bersikap dengan keyakinan religiosentrisme yang sudah mengakar dalam masyarakat? Ekspresi keagamaan melalui toleransi atau intoleransi memengaruhi konflik di antara dua kelompok agama di berbagai belahan dunia. Patai (1954: 252) merumuskan bahwa setiap agama memiliki pandangan yang pasti tentang nilainya sendiri dalam hubungannya dengan agama lain. Pandangan agama atas yang lain dapat berkisar dari toleransi sepenuhnya hingga tidak adanya toleransi sama sekali.

 

Berdasarkan pendekatan religiosentris Patai membandingkan Timur Tengah, Timur Jauh, dan Barat dan menemukan bahwa agama di Timur Jauh sama sekali tidak ada religiosentrisme. Agama di wilayah ini ditandai dengan toleransi terhadap agama lain dan saling meminjam dan memengaruhi; di Timur Tengah dan Barat religiosentrismenya sangat tinggi, penuh dengan intoleransi dan cemoohan terhadap agama lain. Tiap agama di wilayah ini bersifat eksklusif dan menganggap diri sebagai satu-satunya sistem keimanan sejati.

 

Dari penelitian Patai di atas, kita bersyukur hidup dalam suatu daerah yang religiosentrismenya termasuk rendah. Indonesia dikenal dengan daerah yang sangat plural dan mutikultural sehingga sikap dan keyakinan religiosentris tidak begitu laku. Pendidikan yang baik ialah suatu proses pendidikan dengan kemampuan untuk menanamkan kepada peserta didik akan keimanan yang mendalam, tetapi tidak memunculkan kesombongan akan keimanannya tersebut. Keagamaan seseorang ditandai dengan sikap toleran terhadap agama lain, saling menghormati dan bekerja sama untuk kebahagiaan bersama.

 

Di sinilah peran guru. Guru ialah seseorang yang diharapkan muncul darinya perasaan dan keyakinan bersama bahwa kita hidup dalam satu wadah yang plural. Menjadi seorang guru ibarat malaikat yang menyebarkan harmoni dan cinta kasih antarsesama. Perasaan tinggi diri dan keangkuhan karena keimanannya tentu harus dienyahkan dengan adanya pendidikan. Keyakinan terhadap suatu kepercayaan yang memunculkan perasaan tinggi diri dan superioritas karena ajaran-ajaran yang diajarkannya harus segera dihapus dalam memori keagamaan kita.

 

Dalam dunia yang terus mengalami perubahan, kehidupan agama pun juga berubah. Agama tidak lagi dilihat sebagai ajaran yang mendominasi kehidupan. Pun agama tidak dapat berdiri sendiri tanpa kerja sama dengan yang lain. Di sinilah letak kecerdasan manusia untuk menempatkan agama sesuai dengan situasi dan kondisinya. Memperlakukan agama dengan otonomi individu masing-masing jelas tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang tepat.

 

Seseorang yang beragama dengan kebanggaan pada dirinya tanpa merangkul orang lain mungkin justru akan berakibat buruk terhadap masa depan agama itu sendiri. Karena itu, kita harus terus mengembangkan pandangan agama religiorelativistik, bukan pandangan yang religiosentris.

 

Sumber :   https://mediaindonesia.com/opini/538824/religiosentrisme

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar