Senin, 28 November 2022

 

LGBT di Piala Dunia

Jaka Budi Santosa : Dewan Redaksi Media Group

MEDIA INDONESIA, 25 November 2022

 

                                                

 

DALAM wawancara dengan media Jerman, Die Zeit, pada Januari 2014, Thomas Hitzlsperger membuat pengakuan mengejutkan. Dia mengaku sebagai penyuka sesama jenis alias gay alias homoseksual.

 

Banyak orang terkaget-kaget dengan keterusterangan Hitzlsperger. Itu karena ketika masih merumput, dia dikenal sebagai pemain dengan perilaku biasa-biasa saja. Tidak ada yang aneh di mata rekan-rekannya.

 

"Ini merupakan proses yang panjang dan sulit. Hanya dalam beberapa tahun terakhir ini saya menyadari bahwa saya lebih suka hidup bersama dengan seorang pria. Saya mengungkapkan hal ini karena saya ingin memindahkan diskusi tentang homoseksualitas di kalangan olahragawan profesional," kata Hitzlsperger ketika itu.

 

Hitzlsperger ialah pemain top pertama yang mengaku sebagai gay. Pria kelahiran Muenchen, Jerman, 5 April 1982, itu malang melintang di klub-klub lumayan tenar, dari Aston Villa pada 2001, VfB Stuttgart, Lazio, West Ham, Vfl Wolfsburg, hingga pensiun di Everton pada 2013. The Hammer, begitu dia mendapat julukan, juga pernah berkostum Der Panzer--julukan timnas Jerman--pada 2004-2010, tampil 53 kali dan mencetak 6 gol.

 

Hitzlsperger memang sudah pensiun saat coming out, ketika blak-blakan, terkait orientasi seksualnya. Meski begitu, tetap saja apa yang dia ungkapkan membuat publik sepak bola terheran-heran. Ada yang mendukung, tidak sedikit pula yang bersuara sumbang.

 

Hitzlsperger tak sendirian. Masih ada pesepak bola lain yang juga mengaku gay. Sebut saja Andy Brennan asal Australia. Ada juga Collin Martin yang berkiprah di Major League Soccer (MLS), liga Amerika Serikat. Juga, Robbie Rogers, pemain AS yang membela Leeds United.

 

Itu yang berterus terang. Yang diam-diam diyakini lebih banyak lagi. Mantan bek kiri MU, Patrice Evra, bahkan pernah menyebut setidaknya ada dua pemain homoseksual di setiap klub sepak bola. Mereka kebanyakan menutup diri karena di sepak bola, LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) memang belum mendapat tempat. Sebagian besar pemain menolak keberadaan mereka. Mereka risih, jengah, bahkan khawatir harus berbagi ruang ganti atau berada di ruang mandi bersama.

 

Kini, isu LGBT di dunia sepak bola lebih terbuka. Para pemain yang yang gay dan lesbian dalam sepak bola wanita kian berani jujur, ngomong apa adanya. Sepak bola kini bahkan terdepan mengampanyekan penghormatan kepada LGBT. Kampanye untuk meyakinkan bahwa mereka yang punya orientasi seksual berbeda dengan manusia pada umumnya punya hak sama sebagai manusia.

 

Sepak bola memang antidiskriminasi. Sepak bola menjunjung tinggi toleransi. Permasalahannya, bagaimana jika atas nama toleransi, tapi tidak toleran kepada orang lain? Itulah isu yang mengganggu Piala Dunia 2022 Qatar sejak sebelum hingga kini setelah perhelatan dimulai.

 

LGBT merupakan salah satu isu panas pada Piala Dunia Qatar. Isu lainnya soal larangan minuman keras dan tuduhan pelanggaran HAM. Konon, ada ribuan pekerja migran yang membangun stadion ataupun infrastruktur penunjang tewas karena dipaksa kerja habis-habisan.

 

Isu soal minuman keras kiranya sudah mereda. Soal HAM sementara juga tertutup hiruk pikuk pertandingan. Namun, isu LGBT tetap mengemuka. Beberapa tim, utamanya dari Eropa, tetap ngotot mempromosikan gerakan One Love, Satu Cinta. Beberapa kapten tim, seperti Manuel Neuer (Jerman), tetap ngebet mengenakan armband dengan warna pelangi itu. Warna yang dinilai mewakili LGBT.

 

Mereka marah kepada FIFA yang mengancam akan memberikan sanksi jika pemain nekat memakai ban One Love. Skuad Jerman menunjukkan aksi tutup mulut dengan tangan saat berfoto sebelum bertanding melawan Jepang pada laga pertama Grup E di Stadion Khalifa International, Doha, Rabu (23/11). Mereka protes karena dilarang bicara oleh FIFA.

 

Isu LGBT sudah ada sejak ratusan, bahkan ribuan tahun silam. Kitab suci agama-agama mengisahkan keberadaan mereka. Tidak ada agama yang menghalalkan LGBT. Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, semua sama, sama-sama mengharamkannya.

 

Dari sisi hukum dan sosial, LGBT juga terlarang di banyak negara, termasuk Qatar tentu saja. Di sini, di negeri Islam ini, tidak ada kompromi buat promosi perilaku menyimpang itu. Mereka melarang masuk pesawat pengangkut tim bersimbol LGBT. Di stadion, staf keamanan meminta penonton melepas atribut dan logo pelangi. Jurnalis tak luput dari ketentuan tersebut.

 

Kita bangga dengan semangat luar biasa insan sepak bola mempromosikan kesetaraan, toleransi, dan melawan diskriminasi. Dari sisi pribadi, LGBT memang tak boleh dimusuhi, mesti dikasihi. Kita menghormati jalan hidup Hitzlsperger dan kawan-kawan, juga kaum LGBT lainnya. Namun, mengampanyekan LGBT soal lain.

 

Toleransi bukan hanya untuk satu pihak. Penghormatan pada nilai dan keyakinan pihak lain juga merupakan keniscayaan dalam toleransi. Sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022, Qatar punya nilai dan keyakinan bahwa LGBT haram, bahwa LGBT harus ditolak. Lalu, kenapa orang tetap ngotot untuk mengampanyekan LGBT di sana?

 

Ada pepatah di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. When you're in rome, do as the romans do. Sudah seharusnya setiap orang menghormati adat istiadat di mana sedang berada. Itulah arti respek sebagai karakter sepak bola.

 

Kiranya para pemain, tim, suporter di Piala Dunia patut meniru kiper Prancis Hugo Lloris. Kata dia, “Ketika kita di Prancis, saat kami menyambut orang asing, kami ingin mereka mengikuti peraturan kami, menghormati budaya kami, dan saya akan melakukan hal yang sama saat saya pergi ke Qatar. Cukup sederhana.”

 

Sumber :   https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/2615-lgbt-di-piala-dunia

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar