Senin, 28 November 2022

 

Catatan Pinggir

Metafora Lebah dan Kapitalisme

Goenawan Mohamad  :  Sastrawan, Pendiri Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 27 November 2022

 

 

                                                           

HAMPIR saban dinihari, pasar itu seperti sarang lebah. Bahkan beberapa jam sebelumnya: menjelang tengah malam, ke dalam petak tanah seluas 2.000 meter persegi itu—di sela-sela bangunan bambu yang seadanya—sudah berdatangan benda dan manusia. Para pedagang kecil, karung dan keranjang, dan tentu saja sayur-mayur, ikan sungai, udang kering, tempe dan tahu mentah, buah dan cabai, terasi, garam, tekstil kasar, beras, kelapa…. Berjejal-jejal.

 

Bau dan warna bertabrakan. Suara tawar-menawar berdengung. Nyaris tanpa henti. Tanpa melodi. Tanpa irama. Seperti lebah.

 

Tapi, sebagaimana lebah yang tampak kacau hilir mudik di sekitar sarangnya, khaos itu hanya kesan permukaan. Dalam kenyataan, tak ada situasi kalang-kabut di sarang tawon, juga di pasar.

 

Yang ada energi.

 

Para pedagang kecil itu, yang siap bergulat dengan bau apak dan tengik, yang duduk berkeringat tanpa baju seragam di lantai kotor, hidup dengan ujung yang guyah: tanpa pendapatan tetap.

 

Tapi mereka kekuatan tersendiri. Mereka mandiri. Mereka tak bermajikan dan tak tergantung dilayani orang lain. Mereka besar jumlahnya namun terserak kecil-kecil, hingga kekuasaan apa pun tak berhasil mencengkeram mereka. Mereka seakan-akan berantakan, tapi itu karena mereka tak tunduk kepada tata yang dipaksakan dari luar. Mereka akan menolak datang ke pasar.

 

Pada pukul 03:00, pasar menunjukkan para pedagang memulai kerjanya lebih dini ketimbang buruh pabrik. Dalam truk pick-up atau goboks mereka berimpitan dengan karung goni dan keranjang komoditas. Mereka keras kemauan. 

 

Tentu mereka tak elegan seperti para priayi. Bahasa yang mereka pakai—yang sering disebut “bahasa pasar”—bisa “kasar”. Mereka hanya mau serba praktis. Tapi mereka seakan-akan bukan bagian dunia modern seperti pekerja di sektor industri. Mereka tak berbendera dengan gambar roda mesin atau palu besi, alat-alat zaman kini.

 

Dalam kosakata politik yang dicangkok dari sejarah Eropa modern, mereka “kaum borjuis kecil”. Kaum kiri mengejek mereka sebagai kelas yang plin-plan. Kaum kanan yang feodal merendahkan mereka. Dalam kitab Wulangreh, ajaran priayi Jawa, mereka “wong ati sudagar” (berhati saudagar), yang siang-malam hanya memikirkan laba. Mereka setara pemadat dan penjudi.

 

Dalam politik demokrasi mereka nyaris diabaikan—meskipun di Indonesia dan di Asia umumnya jumlah mereka lebih besar ketimbang kelas proletariat. Mereka hampir tak pernah bersuara. Kaum kapitalis besar di dunia punya forum Davos, para buruh punya gerakan internasional, tapi para borjuis kecil, para bakul, tak punya majelis setara itu. James Scott pernah menulis dengan judul “Two Cheers for Petite-Bourgeoisie”; ia menunjukkan pernah ada “Kongres Kaum Borjuis Kecil” di tahun 1901 di Brussels, tapi tak ada lanjutannya.

 

Pusat mereka pasar. Ciri pusat itu adalah uang. Sementara itu, hasrat memperoleh uang oleh Injil, dalam Timotius, disebut sebagai “akar segala kejahatan”. Ada juga yang mengatakan, di pasarlah hilangnya nilai yang benar dalam benda dan jasa; mereka berubah jadi sekadar “nilai tukar”. Para moralis pun menganggap, di pasar, sifat mementingkan kepentingan sendiri adalah watak utama.

 

Tapi, jika kita menganalogikan pasar dengan sarang tawon (binatang yang sengatnya menakutkan), kita sebenarnya harus juga melihat yang oleh seorang pakar biologi disebut swarm intelligence: kecerdasan gerombolan lebah dalam mengambil keputusan.

 

Sementara itu, ada analogi yang lain. Pada 1714, Bernard Mandeville, seorang cendekiawan Belanda yang hidup di Inggris, menerbitkan sajak berjudul “The Fable of the Bees”. Sajak itu melukiskan sebuah koloni lebah di mana semua warganya mengesampingkan kepentingan diri demi kemaslahatan sarang mereka.

 

Akibatnya celaka. Sarang itu hancur. Pengumpulan nektar dari bunga-bunga di hutan merosot drastis. Produksi madu macet. Yang hendak ditunjukkan Mandeville: dalam sebuah masyarakat yang tanpa pamrih pribadi, kesejahteraan bersama justru memburuk.

 

Paradoks itu mengilhami Adam Smith ketika menulis The Wealth of Nations, yang sering dianggap pembuka jalan bagi kapitalisme. Menurut Smith, yang bisa diibaratkan lebah adalah pembuat roti. Mereka inilah, juga para pedagang di pasar yang “berhati saudagar”, yang seraya memikirkan kepentingan diri berlomba membikin masyarakat hidup. Dalam prosesnya, dengan mekanisme pasar “private vices”, sikap buruk masing-masing warga, berakhir jadi kebaikan publik.

 

Di zamannya, Adam Smith percaya, dinamika pasar—ibarat tangan yang tak kasatmata—akan melahirkan kemaslahatan sosial. Tapi di abad ke-21, pasar, sebagai tempat tawar-menawar dan jual-beli, berubah. Ia makin abstrak—di “pasar modal”. Para bakul disisihkan lebih jauh oleh para kapitalis. 

 

Pasar dibentuk dan membentuk kebutuhan, tapi dari mana datangnya kebutuhan? Dengan informasi yang akurat, dengan memanfaatkan logaritma, kebutuhan, bahkan gaya hidup masyarakat, dibentuk dari “atas”, lewat derasnya iklan. Terkadang isinya dusta dan hasilnya bukan yang baik bagi kehidupan bersama. Tentu, lebah masih punya sarang, namun jauh dalam hutan. ●

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/catatan-pinggir/167527/metafora-lebah-dan-kapitalisme

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar