Senin, 28 November 2022

 

Rapor Kesehatan Nasional Kita

Djoko Santoso : Guru Besar Kedokteran Unair, Ketua Badan

Kesehatan MUI Prop. Jatim

KOMPAS, 23 November 2022

 

                                                

 

Jurnal Lancet edisi November 2022 memublikasikan laporan tentang rapor kesehatan nasional Indonesia, yang menunjukkan gambaran kemajuan kesehatan di Indonesia dalam rentang 30 tahun, dan kemampuannya memenuhi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) PBB.

 

Laporan berjudul ”The State of Health in Indonesia’s Provinces, 1990-2019: a Systematic Analysis for the Global Burden of Disease Study 2019” itu sendiri disusun oleh GBD 2019 Indonesia Subnational Collaborators. Penyusunannya melibatkan puluhan periset, antara lain Menteri Kesehatan periode 2012-2014, Nafsiah Mboi.

 

Riset ini menggunakan hasil dari ”Global Burden of Diseases, Injuries, and Risk Factors Study” (GBD) 2019 untuk menganalisis pola kesehatan di Indonesia di tingkat provinsi antara 1990 dan 2019.

 

Dari analisis beban penyakit jangka panjang, diperoleh gambaran tentang kemajuan kesehatan di Indonesia dalam rentang 30 tahun dan kemampuannya untuk memenuhi target SDGs pada 2030. Tim ini menggunakan 1.915.207 baris metadata sebagai sumber untuk menyusun perkiraan GBD Indonesia 2019.

 

Sebagian dari temuan riset ini antara lain adalah angka harapan hidup (life expentancy at birth) laki-laki Indonesia meningkat dari 62,5 tahun menjadi 69,4 tahun dalam rentang waktu 1990 hingga 2019, meningkat 6,9 tahun. Untuk perempuan, harapan hidup meningkat dari 65,7 tahun menjadi 73,5 tahun, meningkat 7,8 tahun. Rupanya harapan hidup perempuan lebih baik daripada laki-laki. Adapun harapan hidup sehat laki-laki (healthy life expectancy at life/HALE) naik dari 55,5 menjadi 61,2 dan perempuan dari 56,5 naik menjadi 62,9.

 

Angka harapan hidup saat lahir mencerminkan tingkat kematian populasi sebuah negara secara keseluruhan. Penyebabnya multifaktor, seperti genetika, ketercukupan gizi dan nutrisi, kesehatan lingkungan, gaya hidup, dan kualitas layanan kesehatan. Dengan berbagai faktor ini, terjadi perbedaan angka harapan hidup pada beberapa wilayah dan negara. Semakin maju dan makmur sebuah negara, biasanya makin panjang usia harapan hidup warganya.

 

Sebagai pembanding, data terbaru yang dilansir Worldometers, angka harapan hidup rata-rata warga dunia sekarang 75,6 tahun untuk perempuan dan 70,8 tahun untuk laki-laki.

 

Indonesia berada di peringkat ke-122 dengan rata-rata harapan hidup (laki- laki dan perempuan) 72,32 tahun. Kita masih kalah dari Vietnam yang di posisi ke-84 (75,77 tahun). Apalagi dengan Singapura yang menempati posisi kelima (84,07 tahun) atau Hong Kong di peringkat pertama (85,29 tahun).

 

Kembali ke laporan GBD 2019, untuk laki-laki, Provinsi Bali memiliki angka harapan hidup dan HALE tertinggi, disusul Riau dan Kalimantan Utara. Sementara Papua, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Utara ada di urutan terbawah. Untuk perempuan, peringkat tertinggi di Kalimantan Utara, disusul kemudian Bali dan Jawa Timur. Sementara di urutan terendah adalah Maluku Utara, Gorontalo, dan Papua Barat.

 

Sepintas tampak ada disparitas mencolok antarprovinsi. Wilayah Indonesia bagian barat tampak lebih bagus pembangunan kesehatannya dibandingkan wilayah di Indonesia bagian timur.

 

Yang agak mengherankan, Kalimantan Utara ini konsisten masuk papan atas bersama Bali, Jakarta, dan beberapa provinsi di wilayah barat, untuk hampir semua indikator kesehatan. Sementara Maluku Utara dan Papua kondisinya sebaliknya, konsisten di papan bawah.

 

Secara sederhana, riset ini menggambarkan dua hal. Pertama, selama hampir 30 tahun Indonesia terus bergerak meningkatkan kualitas kesehatan warganya, apa pun situasi politiknya. Jika dihitung pada 1990-2019, kita melewati perubahan situasi politik besar, yaitu pergantian pemerintahan dari zaman Soeharto, era Reformasi yang penuh ketidakstabilan, dan menuju tatanan yang lebih stabil, hingga era Joko Widodo sekarang ini.

 

Melewati semua periode gejolak itu, pencapaian kesehatan nasional masih menghasilkan kemajuan, salah satunya dari indikator meningkatnya angka harapan hidup dan harapan hidup sehat.

 

Kedua, meskipun secara nasional kita bergerak makin maju dan makin sehat, masih saja ada borok lama yang terjadi sejak zaman dulu hingga sekarang, yaitu ketidakmerataan pembangunan dan kesejahteraan antarwilayah. Ini tampaknya borok yang sangat sulit diperbaiki meskipun berbagai program pemerataan telah dijalankan oleh setiap pergantian pemerintahan.

 

Angka harapan hidup dan harapan hidup sehat yang relatif rendah di beberapa wilayah Timur, seperti Maluku Utara dan Papua, menunjukkan bahwa pemerataan pembangunan kesehatan, dan tentunya sangat berhubungan dengan pemerataan kesejahteraan, belum berjalan baik selama 30 tahun ini.

 

Noda tengkes di NTT

 

Kesenjangan antardaerah ini tidak hanya tergambar dalam laporan GBD di atas. Kita bisa melihat data lain yang menggambarkan kejadian serupa, misalnya pada kasus besarnya prevalensi stunting atau tengkes.

 

Belum lama ramai diberitakan media, berdasarkan data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, prevalensi tengkes di Nusa Tenggara Timur (NTT) mencapai 37,8 persen, tertinggi di Indonesia. Angka ini jauh di atas prevalensi tengkes nasional, yaitu 24,4 persen. Setidaknya masih ada 15 kabupaten di NTT yang masuk kategori merah dalam kasus tengkes. Status merah, artinya wilayah itu memiliki prevalensi tengkes di atas 30 persen.

 

SSGI 2021 memetakan prevalensi tengkes di 246 kabupaten/kota pada 12 provinsi prioritas. Ada 73 kabupaten/kota yang masuk kategori merah (prevalensi tengkesnya di atas 30 persen). Ada 122 kabupaten/kota masuk kategori kuning (20-30 persen), ada 51 kabupaten/ kota masuk kategori hijau (10-20 persen), dan ada dua kabupaten/kota kategori biru (di bawah 10 persen).

 

Sebenarnya angka prevalensi tengkes secara nasional menunjukkan perbaikan dilihat dari tren penurunannya, yakni dari 30,8 persen (2018) menjadi 27,7 persen (2019), dan 24,4 persen (2021). Artinya, masih ada sekitar 23 juta balita yang mengalami tengkes. Ini masih di atas standar WHO yang mematok batas toleransi prevalensi tengkes 20 persen.

 

Syukurlah kita sudah menurunkan prevalensi nasional. Namun, belum semua provinsi menikmati ini. NTT paling mengenaskan, karena ada 15 kabupaten/ kota yang masuk kategori merah, disusul Aceh dan Sumatera Utara dengan 13 kabupaten/kota yang merah.

 

Padahal, pemerintah sudah membentuk Tim Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (Stunting)/TP2AK yang dimaksudkan untuk mendukung pelaksanaan Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (Stunting) di bawah koordinasi Kedeputian Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia, Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres). Jika begitu, di mana masalahnya?

 

Penyakit katastropik dan tengkes

 

Sebagai masalah kesehatan nasional, tengkes sangat berbeda dengan penyakit kanker, jantung atau stroke, gagal ginjal kronis, diabetes, hipertensi, leukemia, yang digolongkan sebagai penyakit ”katastropik” (malapetaka besar).

 

Penyakit katastropik menyebabkan rusak dan tidak berfungsinya organ tubuh. Pasien yang berhasil sembuh dari stroke, misalnya, sering kita dapati sebagian anggota tubuhnya tidak berfungsi normal, atau tidak bisa bicara lancar alias pelo. Penyakit katastropik bukanlah penyakit yang menular, tetapi menjadi penyebab terbanyak kematian.

 

Selain itu, penyakit katastropik memerlukan biaya yang sangat besar untuk menanganinya, baik untuk tindakan awal, pengobatan, perawatan, maupun ke pemulihan. Sebuah keluarga yang cukup berada bisa sampai jatuh miskin karena besarnya biaya untuk membiayai pengobatan dan perawatan anggota keluarganya yang terkena kanker.

 

Berdasarkan data studi Pengeluaran Biaya Kesehatan Katastropik yang dilakukan di 133 negara, ditemukan bahwa sejak 2005 hingga 2010, kejadian penyakit katastropik ini meningkat dari 9,7 persen menjadi 11,7 persen. Ada survei lain yang mencakup 89 negara yang menunjukkan sekitar 150 juta orang menghadapi kejadian penyakit katastropik setiap tahun.

 

Di Indonesia, berdasarkan data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), penyakit katastropik paling banyak menyerap biaya klaim dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). BPJS mencatat, dari biaya klaim jaminan pelayanan kesehatan senilai Rp 374,86 triliun selama kurun 2016-2020, sekitar 83,31 persen tersedot untuk klaim biaya layanan rujukan untuk penyakit katastropik. Dengan kata lain, penyakit katastropik ini menghabiskan kas iuran BPJS secara nasional.

 

Penyakit katastropik ini sangat berbeda dengan tengkes, yang merupakan kondisi malnutrisi atau kekurangan nutrisi, yang mengakibatkan lambannya pertumbuhan fisik pada usia anak-anak, dan menjadikannya rentan terkena penyakit. Secara umum penyebabnya adalah kemiskinan sehingga tak bisa memberikan makanan yang cukup, baik jumlah maupun kelengkapan gizinya, ke anak-anak.

 

Jika di sebuah wilayah terdapat banyak anak-anak tengkes dalam jangka waktu yang cukup lama, bisa diindikasikan di wilayah itu banyak warganya yang miskin. Biaya untuk menangani tengkes pada dasarnya sangat ringan, jauh lebih ringan daripada untuk membiayai penyakit kanker atau gagal ginjal kronis.

 

Anak tengkes hanya perlu diberi asupan nutrisi yang cukup jumlahnya, cukup bergizi, dan sedikit perbaikan lingkungan, termasuk menjaga kebersihan kesehariannya agar lebih sehat. Ini tidak menyerap banyak biaya. Di sekolah atau fasilitas posyandu yang menyebar sampai ke desa, misalnya, bisa secara rutin diberikan beberapa jenis makanan tambahan, seperti bubur kacang hijau, susu, sayuran, dan umbi-umbian, pada anak.

 

Total biaya kebijakan afirmatif kesehatan semacam ini masih jauh lebih sedikit dibandingkan total biaya yang disedot untuk penanganan penyakit katastropik. Metode sederhana ala posyandu seperti ini sudah lama dipraktikkan dan cukup efektif, dan tentu saja masih banyak metode lain yang bisa diterapkan. Itulah setidaknya yang bisa di lakukan dalam program jangka pendek.

 

Untuk jenis penyakit lain seperti malaria, boleh dibilang sudah makin jarang ditemui. Demikian juga demam berdarah dengue, makin hari makin teratasi, terutama sejak dikembangkannya metode penyebaran nyamuk Aedes aegypti jantan yang sudah diinfeksi dengan bakteri wolbachia. Nyamuk Aedes aegypti betina yang kawin dengan jantan yang terinfeksi wolbachia telurnya tak bisa menetas sehingga terputuslah mata rantai berkembang biaknya.

 

Bahkan, untuk wabah Covid-19 yang baru belakangan merebak pun, para ilmuwan kita sudah bisa mengembangkan dan memproduksi vaksin sendiri. Pada 4 November lalu, vaksin yang diberi nama Inavac Unair-Biotis ini mendapatkan izin edar daruratnya dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

 

Ini hanya sekadar mencontohkan keberhasilan pencarian sains dan iptek untuk mengatasi penyakit-penyakit yang sudah lama tersebar. Namun, mengapa untuk tengkes, belum ada langkah pencegahan dan penanganan yang cukup sistematis sehingga selama ini penanganannya lebih sering bersifat ad hoc dan serba darurat?

 

Kembali ke laporan GBD, kita tentu bersyukur bahwa dalam tiga dekade ini angka harapan hidup dan harapan hidup sehat secara nasional membaik cukup signifikan. Tentu saja ini karena multifaktor dan kontribusi banyak pihak.

 

Selama tiga dekade, besaran APBN kita terus meningkat berkali lipat. Bahkan, berdasarkan data paritas daya beli yang dilansir Dana Moneter Internasional (IMF), Indonesia saat ini urutan ketujuh negara yang memiliki produk domestik bruto (PDB) terbesar, mengalahkan Inggris di peringkat kedelapan.

 

Dengan sendirinya, anggaran untuk membangun kesehatan nasional, baik yang ditangani langsung oleh Kementerian Kesehatan maupun oleh lembaga lainnya secara tidak langsung, juga terus meningkat berkali lipat.

 

Oleh karena itu, peningkatan angka harapan hidup dalam rentang 30 tahun sebenarnya adalah pencapaian yang wajar saja. Justru yang tampak kurang wajar adalah mengapa untuk masalah tengkes masih belum bisa tertangani?

 

Garda terdepan untuk penanganan tengkes adalah pemerintahan lokal. Diperlukan inisiatif dan kepemimpinan lokal untuk menyertakan berbagai sumber daya dalam penanganan tengkes.

 

Daerah yang memiliki banyak anak tengkes bisa diindikasikan merupakan daerah miskin, pendapatan asli daerahnya kecil. Maka, perlu dana dari pusat entah lewat dana alokasi khusus (DAK), dana perimbangan, dana bagi hasil (DBH), dan bentuk lain transfer pusat ke daerah, misalnya untuk membiayai extra fooding bagi anak-anak miskin.

 

Tentu saja dana bukanlah segalanya. Inisiatif dan kepemimpinan lokal yang mumpuni dan bekerja sama dengan berbagai pihak tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan kebutuhan dana.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/11/21/rapor-kesehatan-nasional-kita

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar