Senin, 28 November 2022

 

Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascagempa

Editorial : Administrator Media Indonesia

MEDIA INDONESIA, 23 November 2022

 

                                                

 

SEHARI pascagempa Cianjur, Jawa Barat, yang terjadi Senin (21/11), gambaran dahsyatnya bencana kian jelas. Hingga pukul 17.00 WIB, kemarin, BNPB menyebut 268 orang tewas.

 

Tingginya korban sejurus dengan porak-porandanya bangunan. Di Kecamatan Cugenang yang merupakan salah satu titik terparah, lebih dari 2.000 rumah rusak berat. Kerusakan bangunan juga terjadi di 18 kecamatan lainnya. Akibatnya, lebih dari 58 ribu orang harus mengungsi.

 

Para ahli telah menjelaskan penyebab masifnya kerusakan meski skala magnitudo gempa sesunguhnya tidak terlalu besar, yakni 5,6. Ini terjadi karena pusat gempa yang termasuk kategori sangat dangkal sementara topografi tanah berjenis lunak. Akibatnya, amplifikasi getaran menjadi besar. Celakanya, kebanyakan hunian yang berada di wilayah itu tidak dibuat dengan struktur aman gempa.

 

Di sisi lain, pengetahuan kerawanan bencana ini termasuk karakteristik gempa Cianjur – Sukabumi, sama sekali bukan baru. Catatan gempa bumi di wilayah yang dilalui sesar (patahan) Cimandiri ini sudah sejak 1844. Bahkan, sejak penggunaan seismograf, gempa wilayah itu sudah tercatat sejak 1969 dengan total 14 kali bencana gempa hingga November ini. Para ahli pun melabeli wilayah ini sebagai permanen rawan gempa.

 

Namun, sebagai mana masih umum di Indonesia, fakta sains kerap dianaktirikan. Berkaca pada Cianjur, kerawanan gempa pun belum diadopsi dalam Perda Kabupaten Cianjur Nomor 17/2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Cianjur 2011 -2031. Dalam penjabaran kawasan rawan bencana alam, hanya dibuat kategori kawasan rawan banjir, kawasan rawan gerakan tanah dan longsor, kawasan rawan tsunami dan gelombang pasang.

 

Belum dimasukkannya kerawanan bencana gempa tidak bisa dianggap remeh. Ini tidak saja menunjukkan ketidakpekaan pemda akan bahaya besar, tetapi juga menandakan ketiadaan mitigasi mendasar.

 

Pengakuan akan kerawanan bencana gempa mestinya akan membuat pemerintah daerah lebih peka akan standar-standar pembangunan dan penataan ruang, termasuk dalam menegakkan SNI bangunan gedung dan nongedung tahan gempa sebagaimana yang sudah dibuat Badan Standar Nasional (BSN) dan telah diperbarui pada 2019.

 

Ketidakacuhan Pemda Cianjur dan pemda-pemda lain akan hal serupa, tidak dapat dibiarkan. Sudah semestinya sains menjadi pijakan dalam perencanaan pembangunan dan penataan wilayah.

 

Karena itu, ketika rencana rekostruksi mulai disuarakan, semestinya pula pemda mengikuti dengan perbaikan RTRW. Justru, pemda semestinya memang mengambil tanggung jawab terbesar untuk memastikan rekonstruksi tidak hanya menyangkut bangunan fisik, tetapi keseluruhan penataan ruang.

 

Rencana rekonstruksi itu dikatakan Presiden Jokowi, kemarin, saat mengunjungi korban gempa di Cianjur. Presiden menyatakan pemerintah akan memberikan bantuan pembangunan kembali rumah warga sesuai dengan tingkat kerusakan. Presiden juga menekankan bangunan itu haruslah memenuhi spesifikasi tahan gempa.

 

Pemerintah juga harus belajar dari proyek-proyek rekonstruksi pascagempa di berbagai daerah, yang tidak jarang berjalan lambat. Pembangunan rumah tahan gempa di Nusa Tenggara Barat (NTB) akibat gempa 2018 pun belum rampung. Tidak hanya soal pendanaan, relokasi permukiman pun menjadi kendala utama.

 

Sementara di Jawa Tengah, salah satu kendala pembangunan rumah tahan gempa ialah alih pengetahuan kepada para pekerja bangunan. Berbagai hal itu harus diperhatikan agar pembangunan rumah tahan gempa tidak sekadar hangat di awal.

 

Lebih jauh lagi, perjalanan pembangunan rumah tahan gempa, sesungguhnya mengingatkan kita akan berlimpahnya kearifan lokal yang mumpuni. Di berbagai daerah di Tanah Air, dapat kita saksikan rumah adat berusia ratusan tahun selamat diguncang beragam bencana. Sebab itu, meski rumah tahan gempa sesuai SNI perlu terus disosialikasikan, kearifan lokal tidak dapat dipandang sebelah mata. Terlebih, bagi daerah dengan kendala teknis dan material, kearifan lokal justru bisa menjadi penyelamat.

 

Sumber :   https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2821-rehabilitasi-dan-rekonstruksi-pascagempa

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar