Senin, 28 November 2022

 

Ada Apa dengan Omnibus RUU Kesehatan?

Sukman Tulus Putra Ketua Perhimpunan Kardiologi Anak Indonesia, Anggota Dewan Pertimbangan PB IDI, Council Member, ASEAN Pediatric Federation (APF)

MEDIA INDONESIA, 25 November 2022

 

                                                

 

PENYUSUNAN undang-undang (UU) dengan metode omnibus seakan mulai menjadi tren di negeri ini, seperti UU Cipta Kerja yang pernah berujung gaduh. Saat ini, beredar luas di media sosial khususnya di kalangan tenaga kesehatan, suatu draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan. RUU ini disusun menggunakan metode omnibus law, dengan prinsip penyederhanaan sejumlah regulasi yang dinilai panjang dan tumpang-tindih menjadi satu regulasi yang mengatur seluruhnya.

 

Omnibus artinya segalanya. Setidaknya ada 15 undang-undang (UU) terkait profesi dan kesehatan yang digabung menjadi satu UU yang tentu saja ada pasal-pasal dengan muatan yang baru, juga perubahan materi muatan dari peraturan perundang-undangan yang telah berlaku. UU yang diomnibuskan antara lain UU No 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, UU 38/2014 tentang Keperawatan, UU 4/2019 tentang Kebidanan, UU 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan, dan beberapa UU yang terkait kesehatan lainnya.

 

Tidak jelas benar muatan yang dianggap tumpang-tindih dan panjang serta berbelit-belit karena umumnya semua UU pofesi yang ada sudah berjalan dengan baik. Pertanyaannya, mengapa harus dirancang UU ‘sapu jagat’ Kesehatan sehingga timbul pertanyaan ada apa sebenarnya di balik penyusunan RUU Kesehatan yang bersifat sapu jagat ini?

 

Muncul bermacam perkiraan dari berbagai pihak bahwa UU ini dibuat untuk mempermudah investasi asing di bidang kesehatan, serta mempermudah dokter dan tenaga kesehatan asing masuk ke negeri ini. Hal itu mungkin benar dan mungkin juga tidak. Wallahualam bissawab.

 

Terkait hal ini, muncul pula isu seakan-akan dokter Indonesia takut akan kehadiran dokter asing di negeri ini. Hal itu sama sekali tidak benar. Dokter asing yang akan masuk tidak menjadi masalah sepanjang jelas kompetensi dan kualifikasinya, serta dokter tersebut dengan keahlian dan kualifikasi tertentu yang tidak kita punyai dan diperlukan.

 

Dalam pengaturan MRA (mutual recognition arrangement) di tingkat masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) telah disepakati bahwa dalam hal mobilisasi tenaga dokter, setiap negara harus mengikuti regulasi lokal (domestic regulations) negara masing-masing. Untuk Indonesia telah diatur oleh Permenkes (PMK) No 14/2022 dan evaluasi kompetensinya diatur dalam Peraturan Konsil Kedokteran (Perkonsil) No 97/2021.

 

Memang, selalu ada mekanisme proteksi pengaturan terhadap tenaga asing termasuk dokter di setiap negara di dunia ini, dengan tujuan untuk menjamin keselamatan dan kepentingan masyarakat.

 

Ternyata, RUU Kesehatan yang beredar menimbulkan penolakan secara masif dari sejumlah organisasi profesi kesehatan, baik di di tingkat provinsi maupun kabupaten, seperti di Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Jawa Timur, Riau, Sumatra Selatan, Sumatra Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo.

 

Penolakan dan reaksi keras di atas bukan tidak beralasan. Perlindungan terhadap masyarakat jelas harus diutamakan oleh tenaga kesehatan seperti dokter, perawat, dan bidan dalam menjalankan profesinya. Prinsip solus populi suprema lex (keselamatan rakyat hukum tertinggi) memang harus selalu dipegang, dan karena itulah, pemerintah wajib mengutamakan perintah konstitusi ‘melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia’.

 

Ada beberapa alasan penolakan RUU Kesehatan (omnibus). Pertama, tidak partisipatif. Dalam proses penyusunan RUU Kesehatan ini, ternyata tidak partisipatif dan tidak transparan. Jelas, ini menyalahi prosedur pembentukan suatu UU. Tidak ada organisasi profesi maupun masyarakat yang diikutsertakan dalam penyusunan draf RUU yang beredar ini.

 

Kedua, sentralisasi pengaturan. Pengaturan pengakuan kompetensi tenaga kesehatan termasuk mulai penerbitan surat tanda registrasi (STR) yang merupakan kewenangan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) sebagai regulator praktik profesi kedokteran, diambil alih oleh kementerian. STR penting karena merupakan license yang menjamin seorang dokter kompeten untuk berpraktik diterbitkan hanya sekali seumur hidup.

 

Adapun dalam UU Praktik Kedokteran, STR harus diperbarui setiap 5 tahun setelah ada bukti bahwa dokter tersebut terus mengikuti pendidikan kedokteran berkelanjutan (P2KB) sebagai pemutakhiran pengetahuan dan dan keterampilannya. Di Amerika Serikat, STR (license) harus diperbarui (resertifikasi) setiap 2 tahun. Di Malaysia dan Singapura STR berlaku hanya 1 tahun, sedangkan di Filipina 3 tahun.

 

KKI sebagai lembaga negara yang independen, selama ini bertanggung jawab langsung pada kepala negara/presiden seperti yang tercantum dalam Pasal 4 ayat 2 UU tentang Praktik Kedokteran. Sedangkan dalam RUU Kesehatan ini, KKI bertanggung jawab dan di bawah menteri kesehatan. Tentu saja KKI tidak akan independen.

 

Ketiga, amputasi peran profesi. Pemangkasan peran organisasi profesi khususnya Kolegium dalam menyusun standar pendidikan profesi dan kompetensi dokter diambil alih pemerintah. Menghilangkan pengakuan IDI sebagai satu-satunya organisasi profesi dokter dan PDGI untuk dokter gigi adalah suatu kekeliruan yang nyata. Padahal, dalam dunia internasional, IDI satu-satunya organisasi dokter di Indonesia yang telah diakui dalam organisasi dokter sedunia (World Medical Association/ WMA). Mengapa negara tidak mengakui?

 

Bagaimana sebaiknya?

 

Membuat UU Kesehatan dalam bentuk ‘sapu jagat’ tidak ada urgensinya sama sekali saat ini karena UU profesi dan kesehatan yang berlaku sudah berjalan dengan baik. Yang diperlukan sebenarnya ialah UU Sistem Kesehatan Nasional yang baik dan komprehensif, termasuk sistem pembeayaan kesehatan melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

 

Penundaan, atau pembatalan RUU Kesehatan ini, dalam daftar legislasi prioritas tahun 2023 akan merupakan keputusan yang sangat bijak bila diambil oleh DPR, yang pada akhirnya akan berpihak pada perlindungan dan kepentingan masyarakat di negeri ini. Semoga….

 

Penundaan, atau pembatalan RUU Kesehatan ini, dalam daftar legislasi prioritas tahun 2023 akan merupakan keputusan yang sangat bijak bila diambil oleh DPR, yang pada akhirnya akan berpihak pada perlindungan dan kepentingan masyarakat di negeri ini. Semoga…..

 

Sumber :   https://mediaindonesia.com/opini/539981/ada-apa-dengan-omnibus-ruu-kesehatan

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar