Senin, 28 November 2022

 

Minggu yang Gila

Jean Counteau : Penulis Kolom “UDAR RASA” Kompas

KOMPAS, 20 November 2022

 

                                                

 

Minggu yang baru lewat ini luar biasa padatnya! Luar biasa karena jumlah peristiwa global yang menyita perhatian kita. Saking banyaknya, bisa jadi kita luput menanggapi maknanya.

 

Ada pertemuan akbar presidensi G20 di Bali, di mana Indonesia menjamu 17 pemimpin negara, untuk ikut berkiprah mengemudikan ekonomi global keluar dari krisis pasca-Covid. Konon sukses dari sudut citra bagi Indonesia, tetapi tidak mengurangi ketegangan jangka panjang dunia. Bahkan ada salah satu anggota G20 yang kebetulan absen, masih tetap sibuk mengebom tetangganya.

 

Lebih penting lagi, ada pertemuan akbar COP 22 di Sharm-el-Sheik, di Mesir. Topiknya perubahan iklim dan ekologi. Di situ Guterres, Sekretaris Jenderal PBB, sangat gamblang: bila kita tidak mampu mengubah pola hidup dan menurunkan emisi CO2, keberlanjutan umat manusia pun terancam, katanya serius. Artinya kiamat. Bukankah es yang menyelimuti Greenland sudah mulai meleleh, bukankah sungai besar sudah mulai kekurangan air pada musim panas, bukankah serangga pengolah humus tanah menghilang di mana-mana, dan bukankah kenaikan air laut mengancam kota-kota pantai sedunia, dan bukankah sejumlah negara besar seperti Pakistan sebentar lagi tak layak huni karena terlampau panas.

 

Tetapi berita seru tidak berhenti disitu saja. Terdengar juga berita bahwa jumlah manusia sudah mencapai 8 miliar orang, dibandingkan dengan 1,5 miliar awal abad yang lalu. Bahkan diperkirakan bakal mencapai 11 miliar pada tahun 2100, dengan 40 persen di Afrika dari 18 persen sekarang.

 

Hal-hal ini berarti bahwa ketegangan sosial –dan geopolitik terkait--akan kian meningkat. Terutama antar Global South, yang haus pembangunan pemakan energi, dan Global North, yang telah maju dengan merusak alam. Di situ kita ada pilihan: hanya melihat jangka pendek dan kepentingan sendiri; atau sebaliknya melihat juga jangka panjang dan menyadari bahwa kedaruratan masalah menuntut kesadaran dan solidaritas bukan lagi lokal atau nasional, tetapi global.

 

Sayangnya, memandang sejarah tidak menimbulkan optimisme. Kekinian kita adalah buah dari kapitalisme, yang sejak abad ke-16 telah mengkombinasikan rasionalisme ekonomi dan rasionalisme teknologis untuk melahirkan kemodernan gaya konsumtif kita. Namun, apakah kita menerapkan rasionalitas serupa dalam hal pengelolaan hal-ihwal sosial politik. Tidak!

 

Sejak topik “kehidupan bermasyarakat” mulai menjadi perhatian para pemikir Eropa abad ke-18, apa yang telah dihasilkan? Pencerahan, konon, tetapi di otak saja! Kegelapan di ranah tindakan. Mau contoh! Ketika lalu-lintas kapital mulai menciptakan negara bangsa sebagai ruang ekspansinya kapital, apakah manusia dicerahkan? Tidak! Terjadilah expansi kolonial di wilayah dunia yang lemah, serta bentrokan-bentrokan negara-negara besar dalam perebutan wilayah— memicu perang. Bahkan kebencian atas nama bangsa dijadikan sedemikian umum hingga memuncak di dalam teori pembasmian etnis-rasial (1939-1945).

 

Tidak terhenti disitu. Ketika Marx menelanjangi hukum Kapital sebagai produsen ketidakadilan yang tiada hentinya, apakah kesadaran ini bermuara pada upaya mencapai keadilan sosial yang rasional? Tidak. Ia sebaliknya bermuara pada patgulipat konsep “moralitas revolusioner” Lenin pasca-1917, yang membenarkan pembunuhan musuh kelas atas nama utopia keadilan sosial total “kelak di masa depan”.

 

Dan lihatlah sekarang, ketika muncul hasrat untuk hidup di bawah naungan agama untuk memberikan makna pada semua perombakan makro ini, apakah dunia lebih damai? Tidak! Dari kalangan ahli agama keluar seruan demi seruan untuk membenci dan bahkan membunuh, seperti kerap terlihat di Timteng dan bahkan kini di India dan Burma.

 

Apakah saya berlebih-lebih? Bukankah demokrasi juga terlihat tumbuh di mana-mana. Ya, tetapi selama ini hanya terlihat tumbuh di jeda-jeda masa, sesudah petaka-petaka historis telah terjadi. Kita telah gagal mengelola masalah kebangsaan, gagal mengelola masalah keadilan sosial, gagal mengelola masalah keagamaan. Selama ini, pemahaman intelektual telah selalu kalah di hadapan ideologisasi segala problematika sosial, yang mana senantiasa bermuara pada kefanatikan. Maka saya bertanya: melihat kegagalan-kegagalan di atas, akankah kita mampu merespons tantangan ekologis-demografis-politik dunia kita ini, yang sesungguhnya berdimensi jauh lebih besar daripada tantangan manapun sepanjang sejarah manusia sebelumnya.

 

Adakah jawaban. Ya! Pendidikan. Mengajar anak kita memahami kompleksitas “kepentingan” kita semua. Mengajarkan mereka memahami kepentingan ekonomi diri–dan orang lain; mengajarkan mereka memahami kepentingan nasional diri–dan bangsa lain; mengajarkan memahami kepentingan spiritual diri–dan manusia lain; dan, terutama, mengajarkan mereka memahami kepentingan kita semua dalam menjaga keutuhan Pertiwi, tempat huni kita semua. Kesadaran global tak cukup terbatas pada sepak bola!

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2022/11/19/minggu-yang-gila

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar