Senin, 28 November 2022

 

Meneguhkan Gerakan ”Tajdid”

Benni Setiawan : Anggota Majelis Pendidikan Kader (MPK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah; Dosen Universitas Negeri Yogyakarta

KOMPAS, 24 November 2022

 

                                                

 

”Jangan berpura-pura mengurus negara. Indonesia bisa menjadi masuk museum sejarah. Muhammadiyah siapkan sumber daya manusia (SDM) untuk memimpin negara ini.”

 

Itulah pesan Ahmad Syafii Maarif kepada kader Muhammadiyah dalam kajian Majelis Pendidikan Kader (MPK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Saya ingat saat itu pengajian melalui aplikasi Zoomdi tengah pandemi Covid-19 yang masih sangat tinggi. Buya Syafii mengisi tausiah dari rumah yang terlihat penuh tumpukan buku tertata rapi.

 

Apa yang disampaikan Buya Syafii saya kira menjadi catatan penting dan pengingat bangsa dan negara ini perlu dijaga. Siapa yang harus menjaga? Tentu kita semua yang mengaku Indonesia. Indonesia berdiri tegak karena masyarakatnya mampu menjaga keutuhan bangsa dan negara. Dalam proses menjaga Indonesia ini tentu pemerintah mempunyai tanggung jawab lebih.

 

Pemimpin

 

Pemerintah dalam pesan Buya Syafii tidak boleh berpura-pura mengurus negara. Pemerintah perlu bertindak layaknya seorang pemimpin. Pemimpin itu memimpin dalam orkestrasi mengelola seluruh potensi. Pemerintah tidak boleh sekadar manis di bibir, tanpa kerja nyata. Pemerintah perlu bekerja lebih keras dibandingkan rakyatnya. Pasalnya, mereka memanggul tanggung jawab dan amanat memakmurkan seluruh hajat hidup rakyat Indonesia.

 

Pemerintah yang tidak mampu bertindak atas nama kemanusiaan dan tanggung jawab moral, hanya akan melapukkan kebangsaan. Buya Syafii menyebut Indonesia dapat masuk museum sejarah. Indonesia hanya tinggal nama yang dikenang oleh anak cucu. Bahkan, mungkin anak cucu hanya mendengar cerita tentang kejayaan, kemakmuran, dan kemegahan Indonesia dari sebuah cerita. Maka, pemerintah perlu tampil dalam sebuah tarikan napas dan laku yang sama. Bertindak untuk mewujudkan Indonesia adil dan makmur.

 

Pemikiran Buya Syafii ini diperbincangkan dalam Muktamar Pemikiran Ahmad Syafii Maarif, dari Muhammadiyah untuk Indonesia, Sabtu, 12 November 2022. Muktamar pemikiran ini dirancang untuk memperpanjang ingatan tentang Buya Syafii. Buya Syafii sebagai pribadi yang telah meninggalkan banyak warisan layak untuk terus dibincang dan diteruskan cita-citanya. Tentu banyak hal yang masih perlu terus dikaji dari berbagai pemikiran tentang keindonesiaan, keislaman, dan kemanusiaan. Tiga topik kajian Buya Syafii dalam berbagai karyanya.

 

Muktamar Pemikiran Buya Syafii ini digelar di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) tempat di mana terselenggara Muktamar ke-48 Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah, pada 18-20 November 2022. Tema yang diangkat adalah Memajukan Indonesia Mencerahkan Semesta. Tema ini tentu tidak muncul begitu saja. Muhammadiyah ingin terus berkontribusi dalam dinamika kebangsaan dan kenegaraan Indonesia.

 

Kemandegan metodologis

 

Sebagaimana pesan Buya Syafii di atas, Muhammadiyah perlu menyiapkan sumber daya manusia untuk dapat memimpin Indonesia. Pesan Buya Syafii ini tentu menjadi bagian penting dalam proses memajukan Indonesia. Muhammadiyah perlu menyiapkan banyak kader untuk bisa bertransformasi ke seluruh lini kenegaraan. Transformasi kader ini menjadi penting di tengah Muhammadiyah terus tumbuh besar di abad kedua.

 

Transformasi kader, mencetak kader seperti Buya Syafii yang mempunyai pandangan maju ke depan, berani mengkritik tanpa rasa canggung dan takut, tetap berkomitmen kepada kemanusiaan tentu perlu dilakukan secara sistematis. Muktamar pemikiran tokoh seperti Buya Syafii perlu dilakukan secara sistemik di Muhammadiyah.

 

Muktamar pemikiran menjadi jalan bagi Muhammadiyah untuk meneguhkan diri sebagai gerakan tajdid (pembaruan). Gerakan tajdid tanpa menghasilkan pemikiran dan tindakan baru tentu akan mendapat pertanyaan dari banyak kalangan. Oleh karena itu, jika Muhammadiyah ingin meneguhkan diri sebagai gerakan tajdid, membuahkan ragam pemikiran menjadi sebuah keniscayaan.

 

Gerakan tajdid sebagai napas persyarikatan Muhammadiyah perlu tersemai oleh mereka yang gandrung akan ilmu. Gerakan ilmu ini perlu didukung oleh metodologi yang tepat. Professor M Amin Abdullah pernah menengarai bahwa hari ini terjadi kemandekan metodologis. Kemandekan metodologis ini semakin diperparah oleh monodisiplin ilmu.

 

Bagi Professor Amin Abdullah sudah bukan zamannya monodisiplin ilmu. Perlu dikembangkan secara serius multidisiplin, interdisiplin, dan transdisiplin (multidisciplinary, interdisciplinary, and transdisciplinary/MIT) ilmu. Pendekatan MIT akan memecah kebuntuan metodologis yang kini telah banyak ”menjangkiti” masyarakat Indonesia.

 

Muhammadiyah perlu memelopori pendekatan MIT dengan mendorong seluruh Perguruan Tinggi Muhammadiyah-‘Aisyiyah (PTMA). Pendekatan MIT perlu diterapkan dalam ragam riset di PTMA. Melalui model itu akan muncul banyak karya intelektual dari PTMA. Dan tentu inilah momentum PTMA dalam turut serta mewujudkan tema muktamar ke-48.

 

Perguruan Tinggi Muhammadiyah-‘Aisyiyah hari ini perlu semakin percaya diri untuk menjadi bagian penting dari gerakan tajdid. Pasalnya, Muhammadiyah hari ini dipimpin oleh professor dari PTM, Professor Haedar Nashir. Inilah momentum bagi PTMA untuk terus menjadi bagian penting dalam sejarah panjang Muhammadiyah.

 

Pada akhirnya, Muktamar Pemikiran Buya Syafii dan Muktamar Muhammadiyah-‘Aisyiyah semoga semakin meneguhkan gerakan tajdid yang telah menjadi ciri dari pesyarikatan yang didirikan KH Ahmad Dahlan pada 1912.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/11/22/meneguhkan-gerakan-tajdid

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar