Senin, 28 November 2022

 

Bonus Demografi dan Bonus Demokrasi

Edbert Gani Suryahudaya : Peneliti CSIS; Mahasiswa PhD Political Science University of Toronto

KOMPAS, 21 November 2022

 

                                                

 

”Kenapa memilih kuliah Ilmu Politik?” tanya saya sambil menyuap hidangan di sebuah foodcourt pusat perbelanjaan di pusat kota Toronto.

 

”Saya ingin jadi politisi, Kak!” jawab Farry, pemuda kelahiran tahun 2004, dengan bergelora.

 

Saya menghentikan suapan saya sejenak. Menatap wajahnya yang antusias. Saya tersenyum.

 

Farry tidak sendirian. Antusiasmenya merepresentasikan bara yang masih menyala di generasinya untuk terlibat aktif dalam perpolitikan Indonesia. Survei CSIS pada Agustus 2022 yang berfokus pada pemilih muda memperlihatkan ada 14,6 persen responden dari rentang usia 17-39 tahun yang memiliki ketertarikan untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPR atau DPRD, apabila ada kesempatan. Dengan angka yang tidak jauh berbeda, 14,1 persen mengaku tertarik untuk menjadi kepala daerah.

 

Artinya, ketertarikan anak muda dalam politik tampaknya bukan menjadi persoalan demokrasi Indonesia saat ini. Ditambah dengan melihat pada tingkat partisipasi pemilih dalam beberapa pemilu terakhir, beserta keaktifan mengutarakan pendapat lewat gawai, pandangan umum yang selalu menempatkan apatisme politik sebagai tantangan generasi muda jauh dari kata valid. Hal yang lebih penting untuk dijawab ialah apakah benar generasi baru ini mampu memberikan disrupsi politik?

 

Kemudian harapan bahwa generasi baru ini dapat membawa warna politik segar bukan tanpa basis teoritis. Para pemikir teori demokrasi telah lama menempatkan tumbuhnya kelas menengah yang lebih terdidik sebagai faktor utama yang akan mendorong demokratisasi.

 

Harapannya, kelas menengah terdidik akan menjadi motor yang merobohkan praktik-praktik klientelistik yang menjadi penyakit dari negara-negara berkembang. Dengan sendirinya mereka akan mendisrupsi kekuasaan dan memberikan kebaharuan gagasan. Dengan kata lain, karena kebergantungan kepada faktor demografis itulah, perubahan politik terkadang membutuhkan sebuah momentum generasi. Apakah momentum itu sedang terjadi di Indonesia?

 

Kontradiksi

 

Argumentasi lama soal potensi kelas menengah di atas masih cukup valid untuk banyak kasus di dunia. Namun yang harus digali lebih lanjut ialah dengan cara apa mereka bisa mendisrupsi politik? Majalah The Economist baru-baru ini membahas survei oleh University of Chicago sejak 1972 di Amerika Serikat yang memperlihatkan bahwa perubahan pemikiran politik ke arah yang lebih progresif terjadi ketika generasi baru lahir.

 

Artinya, mengubah ide politik yang telah melekat atau berkeliaran pada satu generasi merupakan usaha yang teramat sulit, apabila tidak mustahil. Kesimpulan mereka, perubahan demografi lebih signifikan mengubah cara pandang ketimbang menunggu terjadi perubahan pola pikir dari generasi tua. Apakah Indonesia akan mengikuti tren yang sama pada momentum bonus demografi ini?

 

Dalam survei CSIS yang sama seperti dikutip di awal tulisan ini, kami juga menanyakan karakter apa yang dianggap paling dibutuhkan untuk Indonesia mendatang. Ada 34,8 persen dari para pemilih muda menjawab jujur atau tidak korupsi. Karakter tersebut menempati urutan teratas. Lebih dari itu, ketika ditanyakan apa yang dibayangkan mereka untuk Indonesia di masa mendatang, paling tinggi menjawab pilihan ini: Negara yang masyarakatnya menjunjung tinggi penegakan hukum dan antikorupsi.

 

Akan tetapi, meskipun komitmen demokrasi secara umum tinggi, kami juga menemukan cara pikir yang kontradiktif mengakar di para pemilih muda Indonesia. Faktanya, budaya permisif pada perilaku koruptif relatif tinggi. Dalam survei yang sama kami menanyakan apakah wajar memberikan imbalan ketika mengurus administrasi pemerintahan. Terdapat 23,6 persen responden menjawab wajar. Selain itu, terkait politik uang, 28,7 persen dari responden mengaku wajar apabila menerima imbalan barang atau uang dalam kampanye politik.

 

Pandangan kontradiktif yang ditampilkan oleh para pemilih muda mengingatkan kita kembali bahwa perubahan politik tidak cukup hanya bergantung pada sebuah momentum bonus demografi semata. Generasi baru bisa lahir, tetapi kultur dan gagasan dapat bertahan.

 

Lembaga informal

 

Dalam derajat tertentu, perilaku koruptif dan praktik klientelistik di tengah masyarakat Indonesia nyatanya telah terlembaga. Sederhananya, praktik klientelistik maupun korupsi terjadi terus-menerus karena masing-masing merasa insentif untuk meraup keuntungan dari praktik tersebut lebih besar ketimbang sanksi.

 

Di sisi lain, dalam beberapa konteks, tidak turut serta justru akan berhadapan kepada sanksi dari lingkungan sekitar. Dengan demikian setiap aktor, tua atau muda, akan terjebak untuk terus melestarikan praktik tersebut. Praktik ”lembaga informal” ini terjadi karena kanal-kanal formal tidak mampu secara efektif menghasilkan sekaligus mendisiplinkan aktor politik untuk mengejar luaran politik yang demokratis.

 

Lalu bagaimana lembaga informal yang cenderung kontradiktif dengan demokrasi ini bisa diubah? Berharap satu pemilu yang didominasi pemilih muda akan langsung mendisrupsi praktik tersebut lebih bersifat wishful thinking. Ilmuwan politik Gretchen Helmke dan Steven Levitsky (2004) mengajukan tawaran cara terkait pertanyaan ini.

 

Cara pertama ialah kembali kepada akarnya, mengubah kelembagaan formalnya, alias mereformasi aturan main. Meski demikian, faktanya lembaga informal sering kali cukup resisten sekalipun terjadi perubahan dalam desain politik. Misalnya politik uang tetap terjadi meskipun sanksi telah diatur.

 

Kedua, tanpa menyentuh langsung aturan main, lembaga informal dapat berubah karena ada perubahan nilai sosial di masyarakat. Perubahan melalui jalur ini sifatnya inkremental atau berjalan lebih lambat. Ketiga, perubahan dapat terjadi ketika struktur status quo berubah. Helmke dan Levitsky dalam konteks ini mengapresiasi lebih peran komposisi pemilih kelas menengah akan mengubah praktik klientelistik.

 

Untuk cara ketiga, fakta empiris Indonesia dengan sendirinya menjadi kritik argumen Helmke dan Levitsky. Bagaimana dengan dua lainnya? Untuk cara pertama, kita bergantung pada agensi dari partai politik beserta elitenya untuk mau mereformasi dirinya dan membangun sistem yang transparan dan profesional. Diskusi terkait transparansi dan audit dana politik, misalnya, dapat menjadi titik tekan yang perlu diadvokasi bersama. Harapannya partai dapat lebih terbuka dan mampu meraih kembali kepercayaan publik. Perubahan tidak akan banyak terjadi, sekalipun politisi muda bertambah, apabila akar persoalan tidak diselesaikan.

 

Sementara cara kedua, menurut opini saya, merupakan potensi terbaik yang kita miliki. Ruang perubahan gagasan atau ide terjadi pada ranah publik. Di poin ini mungkin media sosial menjadi katalisator utama perubahan pola pikir tersebut. Tanpa kontestasi ide dan pendidikan politik ini, cara ketiga dan pertama yang diajukan oleh Helmke dan Levitsky sulit terwujud.

 

Di luar media sosial, kita mau tidak mau harus kembali pada pendidikan. Farry merupakan satu dari ratusan pemuda-pemudi penerima Beasiswa Indonesia Maju yang diberikan Kemendikbudristek kepada anak-anak berprestasi untuk menempuh kuliah S-1 di universitas terbaik di luar negeri. Beasiswa ini merupakan usaha pemerintah untuk berinvestasi kepada bonus demografi agar kelak bisa memajukan ekonomi.

 

Namun berinvestasi pada bidang pendidikan, selain soal ekonomi, juga soal demokrasi. Pendidikan yang berkualitas merupakan sarana terbaik untuk menanamkan budaya antikorupsi dan keterbukaan cara berpikir yang menjadi modal utama munculnya kaum demokrat. Tanpa fokus pada sektor ini, bonus demografi juga tidak akan memberikan kita bonus pada demokrasi.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/11/18/bonus-demografi-dan-bonus-demokrasi

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar