Senin, 28 November 2022

 

Anies Baswedan, Mungkinkah Jadi Pemenang?

Asep Lukman : Pemerhati Politik

MEDIA INDONESIA, 25 November 2022

 

                                                

 

BEBERAPA hari yang lalu, saya mengunggah suatu tema, “Menilik peluang dan tantangan Ganjar Pranowo serta sepak terjang para pendukungannya”. Kini, saya tertarik mengulas tentang Anies Baswedan sebagai figur yang digadang-gadang banyak pihak akan menjadi kandidat kuat dan bersaing dengan Ganjar Pranowo.

 

Pertama, Anies merupakan satu-satunya figur nonparpol. Namun, hebatnya, dia malah telah lebih dulu mendapat dukungan partai politik. Karena itu, ia memilki kesempatan kampanye paling lama tanpa ikatan jabatan dibandingkan kandidat yang ada, semisal Ganjar Prabowo, Prabowo Subianto, Ridwan Kamil, dll.

 

Dan, karena ia tidak memilki jabatan apapun yang terkait dengan lembaga negara, Anies, hari ini, hanya rakyat biasa yang tidak bisa dituduh oleh siapa pun sedang menggunakan fasilitas negara dalam berkompanye.

 

Kedua, Anies disimbolkan oleh masyarakat sebagai orang yang kontra dengan penguasa sejak dirinya memenangkan kontestasi di Pilkada Jakarta. Namun kini, ia mendapat dukungan resmi dari Partai NasDem, yang notabene sebagai pengusung Ahok di Pilkada Jakarta dan sekaligus sebagai partai koalisi propemerintah.

 

Ketiga, Anies pun bukan sosok yang diidentifikasi publik memiliki uang yang berlimpah. Namun hal itu telah dijadikan suatu bukti oleh Surya Paloh untuk meyakinkan calon konsituennya, bahwa “tagline politik tanpa mahar”, yang kerap dikumandangkan Partai NasDem bukanlah suatu isapan jempol semata.

 

Dan empat, setiap kunjungan Anies ke berbagai daerah mendapatkan sambutan meriah oleh masyarakat pendukungnya, yang bukan hanya berasal dari Partai NasDem, Demokrat atau PKS saja. Tapi juga masyarakat umum yang memiliki latar belakang profesi, parpol, suku, bahkan agama yang beragam.

 

Melihat empat pencapaian tersebut, sungguh suatu langkah awal yang cukup menggetarkan hati lawan. Hingga wajar, muncul berbagai manuver yang dicurigai publik sebagai bentuk penjegalan, namun dengan santai juga publik menyebutnya sebagai "kepanikan" dari kubu contender karena tahu bahwa Anies memilki electoral tinggi.

 

Lalu pertanyaanya, adakah peluang bagi Anies Baswedan untuk keluar jadi pemenang?

 

Dalam meraih kemenangan tentu banyak variabel yang wajib dianalisa. Namun, melalui tulisan ini, saya hanya akan fokus menakar pengaruh kekuasaan Jokowi, apakah bisa sebesar di Pemilu yang lalu, jika sekarang digunakan demi mengondisikan kemenangan.  Sementara, di kutub yang berbeda, ada gelombang tuntutan masyarakat yang menginginkan perubahan. Maka, jika kedua energi ini berhadap-hadapan secara “head to head” siapakah yang berpeluang menjadi penentu kemenangan? Apakah keinginan masyarakat atau kehendak kekuasaan?

 

Diawali dari perhatian saya pada seberapa besar sesungguhnya kekuatan yang pro-Jokowi dan masyarakat yang kontra.

 

Jika berdasar pada hasil Pemilu 2019 yang lalu, kemenangan Jokowi hanya selisih 10,5% di atas Prabowo, yang mendapatkan 68.650.239 atau 44,50% suara.

 

Jokowi, sebagai kandidat yang notabene memiliki kekuasaan, uang serta seabrek dukungan, rupanya hanya mendapat selisih kemenangan jauh di bawah raihan SBY-Boediono sebagai petahana pendahulunya, yang berhasil meraih suara 60,8% atau berjumlah hampir 22% lebih tinggi dibanding dua kandidat lain sebagai rival.

 

Sekalipun faktanya lebih tinggi, ternyata selisih besar kemenangan SBY dibanding rival-rivalnya itu berakhir luluh-lantak setelah sepuluh tahun ia menjadi presiden, atau tepatnya setelah dua periode ia berkuasa. Partai Demokrat, yang meraih 150 kursi (26,4%) di DPR RI pun, kini hanya masuk urutan ketujuh dengan perolehan suara sebanyak 7,77%.

 

Banyak alasan teknis yang menjadi penyebab pengaruh SBY dan elektoral Partai Demokratnya tiba-tiba menurun. Yang paling mudah diingat adalah karena berbagai kebijakan tidak populis dari SBY, khususnya dalam soal ekonomi, ditambah isu lainya dalam penegakan hukum.

 

Sekalipun banyak dari pimpinan Partai Demokrat dan bahkan ada keluarga SBY yang diseret ke meja hijau, semua itu rupanya tidak mampu menghapus citra “tebang pilih” dan penegakkan hukum yang sarat rekayasa.

 

Namun, sesungguhnya ada faktor lain yang jauh lebih kuat dari pada itu, yaitu dorongan masyarakat yang ingin melakukan perubahan.

 

Selain sepuluh tahun dianggap sebagai batas waktu toleransi masyarakat dalam memberikan kesempatan pada penguasa, secara psikologis masyarakat pada waktu itu sudah merasa muak dan bosan dengan figur yang ada, yang dinilai begitu feodal dan elitis.

 

Maka, dendam masyarakat pun seolah “gayung bersambut” dengan munculnya sosok Jokowi yang merakyat, gemar blusukan, dan bertampang polos, yang menurut perasaan masyarakat pada saat itu dicitrai sebagai antitesa dari tokoh yang ada dan potensial prowong cilik.

 

Dapat kita simpulkan, bahwa di balik kemenangan Jokowi pada waktu itu, yang bersanding dengan JK dan memperoleh kemenangan 53,15% suara dalam Pemilu 2014 disebabkan oleh adanya dorongan kekuatan alamiah, yaitu tuntutan perubahan yang senantiasa ada dalam diri masyarakat tanpa bisa didikte oleh sorang penguasa siapapun.

 

Kondisi itu hanya merupakan gambaran satu siklus kekuasaan dalam waktu paling dekat dengan batasan satu dasawarsa. Namun, sesunggunya yang terjadi, seluruh pergantian kekuasaan dalam bingkai negara khususnya di Indonesia dari sejak NKRI Ini berdiri siklus itu selalu terjadi dan silih berganti.

 

Jika menengok ke belakang, setiap tokoh pengganti yang dipercaya masyarakat untuk melakukan perubahan itu nyatanya selalu orang yang berada di pihak yang kontra kekuasaan. Namun tanpa sadar namanya menjadi besar karena terprovokasi oleh ulah para penguasa sebelumnya.

 

Misalnya, Orde Lama yang gagal menciptakan kader pelanjut namun malah membesarkan nama Soeharto sebagai tokoh Orde Varu yang notabene adalah lawanya.

 

Megawati dengan tindakan emosional dirinya tanpa sadar telah membesarkan nama SBY dan begitupun Jokowi namanya besar karena tidak lepas dari apa yang diperbuat SBY.

 

Sampai di sini, saya akan mengajak kita menjawab bebrapa pertanyaan sebagai bahan renungan.

 

Apakah kondisi tersebut kini tidak sedang berulang? Saat ini kondisi terasa semakin berat bahkan dibanding sebelumnya, lalu masyarakat berharap bisa keluar dengan menuntut suatu perubahan kembali.

 

Dan apakah mungkin jika beratnya suatu tekanan ekonomi itu hanya dirasakan sebagain masyarakat yang tidak memilih Jokowi saat pemilu kemarin, sedangkan pengaruh sistemiknya sama sekali tidak berdampak pada masyarakat yang pro-Jokowi?

 

Saya hanya ingin mempersilahkan kita semua sebagai manusia yang memiliki akal dan rasa untuk merenungi pertanyaan-pertanyaan di atas secara jujur dan berdasar pada fakta yang ada!

 

Tantangan Anies Baswedan

 

Sedikitnya ada tiga catatan yang perlu diperhatikan, tentu dari sekian banyak kelemahan dan tantangan lainya.

 

Pertama, Anies Baswedan sering diposisikan sebagai lawan oligarki oleh para pendukungnya. Menurut saya, hal itu cukup berisiko.

 

Para pendukung yang senantiasa menabuh genderang perang, tidak sadar bahwa oligarki dalam sebuah negara bagaikan serigala yang wajib ada dalam hutan belantara. Sekalipun Anies adalah harimau Sumatra, namun ia baru saja lahir, tidak realistis jika sekarang malah terus dipertentangkan.

 

Dan, saya kira, Anies pun menyadari hal demikian. Di sisi lain kebencian masyarakat atas kemelaratan dan kesenjangan akibat ulah para oligarki memang tidak bisa disalahkan.

 

Di lain pihak, masyarakat pun wajib paham dan bersikap lebih realistis, bahwa keberadaan oligarki adalah konsekuensi yang pasti terjadi, dari sistem negara di mana pun di seluruh dunia ini.

 

Kedua, soal mengindentifikasi pontensi diri. Sejujurnya, prestasi Anies saat menjadi gubernur Jakarta adalah hal yang membanggakan. Namun. perbincangan soal itu menjadi ramai karena memang sengaja terus diwacanakan di tingkat elite, baik oleh yang pro ataupun yang kontra.

 

Adapun sikap masyarakat melihat keberhasilan Anies di Jakarta, sekalipun turut bangga namun tetap proporsional. Masyarakat tahu bahwa antara Jakarta dan NKRI itu sangatlah berbeda. Tupoksi gubernur dan presiden itu tidaklah sama.

 

Sementara simpati masyarakat pada Anies itu mulai tertanam secara alamiah semenjak ia mengikuti kontestasi Pilkada Jakarta. Jauh-jauh hari sebelum ia mampu membangun trotoar, JIS atau balapan mobil listrik serta seabrek prestasi lain yang ia torehkan di Jakarta.

 

Diperkuat dengan gaya Anies sebagai sosok yang dapat tampil secara natural, elegan serta konstitusional. Umumnya masyarakat mencitrainya sebagai sosok yang cerdas, berakhlak, religius, dan pandai berorasi. Citra tersebut sama sekali tidak bersifat kamuflase namun murni merupakan citra yang erat melekat pada dirinya. Dan, yang lebih penting, umumnya masyarakat memandang Anies Baswedan bukan sosok penjilat yang mudah tunduk pada keinginan kekuasaan.

 

Dan terakhir, tantangan mencari pendamping atau wakil presiden. Partai koalisi sebaiknya mampu bertindak bijaksana dan berbesar hati dalam mengajukan calon wakil presiden untuk Anies Baswedan.

 

Karena itu, pilihlah orang yang mampu menambah suara kemenangan. Menjadi bagian yang dapat menghentikan potensi kecurangan dan atau kelicikan, juga dapat menjadi lambang persatuan yang dapat menghentikan pembelahan atau polarisasi paca Pilpres yang lalu.

 

Jika sedikit menyoal polarisasi atau pembelahan bangsa, diakui atau tidak, sebenarnya polarisasi mulai semakin menjadi sejak kontestasi Pilkada Jakarta.

 

Memang bukanlah Anies yang melakukanya, apalagi jika ia dituduh sebagai pemicunya. Namun, Anies-Sandi merupakan pasangan yang dengan tidak sengaja telah diuntungkan dan presentase 57,96% suara atau 3.240.987 pemilih.

 

Karena itu, melalui Pilpres 2024 nanti, semua pihak, apalagi Anies harus memiliki komitmen untuk kembali merajut persatuan.

 

Sumber :   https://mediaindonesia.com/opini/540163/anies-baswedan-mungkinkah-jadi-pemenang

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar