Senin, 28 November 2022

 

Muhammadiyah dan Politik: Dinamika

yang Kompleks

Ridho Al-Hamdi : Wakil Dekan Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta; Wakil Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah

MEDIA INDONESIA, 25 November 2022

 

                                                

 

MUKTAMAR Ke-48 Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah di Kota Surakarta sukses terlaksana secara damai dan bermartabat. Muktamar kali ini berbeda dari sebelum-sebelumnya, dilakukan hybrid dan bertahap (5/11 dan 18-20/11). Salah satu isu yang selalu muncul pada forum permusyawaratan tertinggi di Muhammadiyah ini ialah bagaimana posisi dan peran organisasi ini menghadapi Pemilu Serentak 2024?

 

Meski sudah jelas mengambil posisi menjaga jarak dari politik praktis (netral aktif), tetap saja pertanyaan itu muncul jelang pesta demokrasi. Tulisan ini mencoba menggali sejarah dinamika yang kompleks antara Muhammadiyah dan politik praktis, yang terbagi ke dalam dua fase: fase kesadaran individual dan fase kesadaran institusional.

 

Kesadaran individual

 

Periode 1912-1971 adalah tahap pembentukan kesadaran individual di kalangan elite, pengurus, aktivis, warga, dan simpatisan Muhammadiyah, yaitu proses pencarian jati diri dan pergulatan identitas dalam perjuangan politik. Kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah di awal abad ke-20 tidak bisa terlepas pada pijakan kesadaran pembebasan dari keterbelakangan, penjajahan, dan penetrasi Kristen. Ini periode pergulatan diri di tubuh Muhammadiyah, dengan mencoba terlibat dalam perjuangan politik dan bergabungnya sebagian elite ke Sarekat Islam (SI) sebagai jalur mengembangkan dakwah ke berbagai daerah.

 

Keterlibatan dalam perjuangan politik terus dilakukan dari tahun ke tahun. Meski sudah keluar dari SI saat terjadi konflik disiplin partai era 1920-an, sebagian elite Muhammadiyah mendirikan partai baru: Partai Islam Indonesia (PII), pada 1938. Lalu, terlibat juga dalam pendirian Gabungan Politik Indonesia (Gapi), Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), dan Masyumi Jepang selama era prakemerdekaan. Setelah kemerdekaan pun, Muhammadiyah tetap melibatkan diri dalam perjuangan politik dengan menjadi anggota istimewa Masyumi (1945-1958), juga terlibat dalam pendirian dan perkembangan Partai Muslimin Indonesia atau Parmusi (1968-1971).

 

Pada fase ini, kesadaran individual di Muhammadiyah untuk tidak berpolitik praktis sudah muncul di forum-forum kongres/muktamar maupun di berbagai pertemuan, bahkan sejak awal pendiriannya. Ahmad Dahlan menolak saran HOS Tjokroaminoto agar statuta awal Muhammadiyah diarahkan ke gerakan politik. Begitu pula penolakan Ahmad Dahlan terhadap permintaan Agus Salim, politisi SI, dalam sidang tahunan agar Muhammadiyah menjadi gerakan politik. Bahkan, ketika Presiden Soeharto meminta Muhammadiyah berubah menjadi parpol daripada merehabilitasi Masyumi, sejumlah elite justru menolak, hingga lahirlah Parmusi sebagai jalan tengah.

 

Mundurnya Fachrodin (murid Ahmad Dahlan) dari SI akibat dari disiplin partai, serta berjuang kembali di Muhammadiyah, adalah bentuk kesadaran kader untuk tidak berpolitik praktis dan menjadikan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam terutama bergerak di bidang pendidikan. Kesadaran individual ini terus muncul dari waktu ke waktu. Hanya, itu belum terlembagakan sehingga belum ada keputusan resmi organisasi untuk menarik diri dari panggung politik praktis selama fase ini.

 

Kesadaran institusional

 

Hampir enam dekade (1912-1971) Muhammadiyah bergulat dalam pergumulan politik praktis sebagai bagian dari proses pencarian identitas untuk menemukan jati diri. Ini bukan berarti Muhammadiyah tidak bergerak pada bidang yang lain. Situasi saat itu memang mengharuskan Muhammadiyah bersinggungan dengan politik praktis. Meski terkesan menceburkan diri dalam pertarungan politik, tidak berarti tidak ada kritik internal.

 

Adanya kritik terhadap keterlibatan Mas Mansur di PII, desakan terkait pencabutan status keanggotaan istimewa Muhammadiyah di Masyumi, dan penolakan awal Muhammadiyah untuk tidak menandatangani piagam kesepakatan pendirian Parmusi, menunjukkan bahwa dinamika kritik di internal tetap terjadi. Mundurnya sejumlah tokoh Muhammadiyah dari SI di era 1920-an dan era 1930-an ketika terjadi disiplin organisasi, semua itu menunjukkan ada kesadaran individual di kalangan anggota dan kader tentang tidak perlunya Muhammadiyah secara organisatoris berpolitik praktis. Hanya, kesadaran itu belum terlembagakan.

 

Pascaputusnya hubungan organisatoris antara Muhammadiyah dan Masyumi pada 1958, dan adanya kuliah Faqih Usman tentang Apa itu Muhammadiyah? pada Kursus Pimpinan Nasional Tahun 1960, adalah benih awal dari munculnya kesadaran institusional di Muhammadiyah, yang mengindikasikan kesadaran yang terlembagakan dan menjadi kesepakatan nasional.

 

Kesepakatan itulah yang harus diputuskan dalam muktamar sebagai forum permusyawaratan tertinggi di Muhammadiyah. Akan tetapi, situasi nasional era 1960-an belum memungkinkan untuk menyatakan secara tegas bahwa Muhammadiyah tidak berpolitik praktis. Apalagi, meletusnya Gestapu 1965 semakin mengharuskan Muhammadiyah berpolitik praktis sehingga memiliki fungsi yang sama dengan parpol sebagai kekuatan politik riil dan memiliki kedudukan di lembaga-lembaga pemerintahan dan parlemen.

 

Benih-benih kesadaran institusional diperkuat lagi dengan lahirnya Khittah Ponorogo 1969, yakni khittah perjuangan Muhammadiyah yang lahir dan diputuskan dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah 1969 di Kabupaten Ponorogo, Jatim. Secara bahasa, kata khittah bermakna garis, yang menunjukkan pemahaman tentang garis perjuangan dan garis kebijakan organisasi. Karena itu, Khittah Ponorogo 1969 dapat dipahami sebagai garis perjuangan dan garis kebijakan Muhammadiyah.

 

Salah satu intinya ialah keyakinan Muhammadiyah bahwa gerakan dakwah Islam dan amar ma’ruf nahi munkar dapat dilakukan melalui dua jalur, yaitu jalur politik kenegaraan (politik praktis) melalui organisasi politik (partai) dan jalur kemasyarakatan melalui organisasi nonpartai. Muhammadiyah menegaskan diri sebagai gerakan Islam yang bergerak di bidang kemasyarakatan. Adapun untuk perjuangan politik praktis, Muhammadiyah membentuk satu parpol di luar organisasi Muhammadiyah dan tidak memiliki hubungan organisatoris dengan partai itu. Hanya hubungan ideologis, serta tidak dibenarkan rangkap jabatan terutama jabatan pimpinan di antara keduanya demi tertib pembagian kerja (Suara Muhammadiyah, 1970).

 

Kendati demikian, Khittah Ponorogo belum bisa diklaim sebagai awal kesadaran institusional karena masih terlibatnya anggota Muhammadiyah dalam politik praktis di Parmusi. Meski, dalam perjalanannya, Muhammadiyah dan Parmusi mengalami konflik yakni kudeta Naroka Cs dan mengambil alih kepemimpinan Djarnawi Hadikusumo. Itulah yang membuat Haedar Nashir yakin bahwa pengalaman politik di Masyumi dan Parmusi memberi pelajaran berharga bahwa Muhammadiyah sejatinya memang tidak bisa bergandengan dengan kehidupan politik praktis.

 

Karena itu, muktamar di Ujung Pandang pada 1971 menegaskan jati diri dan identitas Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam yang tidak memiliki hubungan apa pun dengan kekuatan dan parpol mana pun. Inilah penegasan ikrar Muhammadiyah sebagai kesadaran institusional, yang pada perkembangan selanjutnya dipegang terus (diperkuat dengan Khittah Denpasar 2002) hingga muktamar ke-48 di Kota Surakarta pada 2022.

 

Atas dasar itulah, posisi Muhammadiyah tetap konsisten, tidak terlibat sebagai bagian dari politik partisan, baik partisan kepada parpol tertentu maupun kepada calon pemimpin eksekutif tertentu termasuk konglomerat. Di tengah kompleksitas relasi dan politik yang dinamis itu, Muhammadiyah senantiasa mendukung para kader dan anggotanya yang akan maju sebagai kandidat di eksekutif maupun legislatif, tanpa harus membawa simbol organisasi.

 

Sumber :   https://mediaindonesia.com/opini/539982/muhammadiyah-dan-politik-dinamika-yang-kompleks

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar