Senin, 28 November 2022

 

Jakarta Kini dan Nanti

Heru Budi Hartono : Kasetpres RI dan Pj Gubernur DKI Jakarta

KOMPAS, 21 November 2022

 

                                                

 

Jakarta segera akan berganti status, tidak lagi sebagai ibu kota. Status ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia akan beralih dari Jakarta ke Nusantara. Mungkin banyak yang bertanya, seperti apa visi dan arah Jakarta ke depan?

 

Sebagai praktisi di pemerintah pusat yang juga dipercaya mengemban jabatan di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, penulis membaca Jakarta ke depan sebagai metropolitan yang menjadi pusat bisnis, sebuah kota global berketahanan, berbasis transit dan digital.

 

Tulisan ini hendak mengurai fakta dan data yang kemudian memungkinkan persiapan Jakarta menyongsong status baru yang bisa disebut sementara sebagai kawasan strategis nasional.

 

Jakarta sebagai poros ekonomi

 

Jakarta yang multidimensional telah tumbuh menjadi pusat bisnis nasional dan global. Jakarta hadir sebagai provinsi terpadat dengan lebih dari 10 juta penduduk yang menetap dan di saat yang sama mendukung dan menyokong lebih kurang 20 juta penduduk Bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) yang bekerja di Jakarta.

 

Ini bukan angka yang sedikit. Tidak mengherankan hari-hari kerja di Jakarta dibanjiri oleh jutaan manusia yang datang dan pergi bekerja di wilayah Jakarta. Hal ini mensyaratkan ketersediaan sarana transportasi publik yang menyokong sekaligus nyaman untuk masyarakat dalam mobilisasi.

 

Kepadatan dan kesibukan Jakarta menjadi dapat dimengerti karena lebih dari 100 juta perjalanan (trip) yang terjadi setiap hari di Jakarta. Ini tentu juga membutuhkan solusi, terutama terkait penanganan kemacetan di Jakarta.

 

Namun, di sini pembahasan difokuskan pada sumbangan Jakarta untuk ekonomi Indonesia. Karena tingginya gairah ekonomi akibat mobilisasi itu, tidaklah mengherankan Jakarta berkontribusi sebanyak 17 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional dari akumulasi 25 persen kontribusi Jabodetabek terhadap PDB nasional. Dengan kata lain, seperempat pendapatan negara bergulir di Jabodetabek.

 

Tidak berhenti sampai di situ dalam upaya mendongkrak roda ekonomi, sebelum pandemi Covid-19, Jakarta telah menyumbang 5-6 persen pertumbuhan ekonomi nasional dan sebesar 60-70 persen penerimaan pajak nasional.

 

Pertimbangan dan pembelajaran

 

Jakarta hanya berganti sebagai kota yang tidak lagi menyandang status ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akan tetapi, Jakarta akan terus menjadi pusat bisnis dan kota global.

 

Bagaimana kemudian mengelola dan mengembangkannya? Jawabannya ialah Jakarta sebagai poros ekonomi yang berketahanan, berbasis transit dan digital. Jakarta menyadari dengan sungguh peran penting dan sumbangsihnya terhadap perekonomian nasional dan daerah-daerah di sekitarnya.

 

Maka, tentu saja tetap diperlukan dukungan pemerintah pusat terhadap repositioning Jakarta ke depan.

 

Menempat-ulangkan Jakarta sebagai bukan lagi ibu kota menjadi kajian tersendiri. Optimalisasi lahan eks kementerian dan eks badan usaha milik negara sebagai sumber pendanaan kiranya menjadi pemikiran setelah kantor-kantor administratif pemerintah pusat dipindahkan secara bertahap, tetapi akan definitif, ke Ibu Kota Nusantara.

 

Kota Sejong, Korea Selatan, dapat menjadi percontohan terkait proyek pemindahan ibu kota. Pada 2005, Sejong ditetapkan melalui undang-undang khusus yang bertujuan untuk merelokasi dua pertiga instansi pemerintahan dari kota Seoul. Selama empat tahun, dari 2007 sampai 2011, pembangunan dimulai dan proyek konstruksi dilaksanakan.

 

Pada 2012, Pemerintah Korea Selatan mulai memindahkan instansi dan penduduk secara bertahap. Baru di tahun 2015 fungsi administratif pemerintah beroperasi di Sejong. Akibatnya, Sejong menampung total penduduk sejumlah 250.000 jiwa di tahun 2016 dan ditargetkan mencapai populasi sebanyak 500.000 jiwa pada 2030.

 

Berkaca dari pengalaman Korea Selatan ini, pemindahan ibu kota tidaklah instan. Ada proses bertahap, membutuhkan waktu dan perencanaan yang matang serta dilakukan dengan lembut (smooth) terkait pemindahan ibu kota.

 

Menatap Jakarta ke depan

 

Menatap (visioning) Jakarta setelah pemindahan ibu kota negara setidaknya melibatkan tiga hal, yaitu fondasi, pilar, dan tujuan pengembangan Jakarta ke depan.

 

Pertama, fondasi yang tentunya kuat untuk terus mengembangkan Jakarta ialah membentuk pemerintahan Jakarta yang adaptif terhadap perkembangan nasional dan global, inovatif terkait perubahan dan tantangan yang ada, serta adanya sinergisitas dalam membentuk ketahanan ekonomi.

 

Moto ”Greater Jakarta” tentunya berkesinambungan dan diupayakan dalam keseluruhan konstelasi kehidupan multiaspeknya. Hal ini menuntut pula kapasitas fiskal yang kuat untuk terus mendorong pengembangan.

 

Kedua, setidaknya ada lima pilar yang berdiri di atas fondasi di atas, yang menyokong Jakarta ke depan, yaitu tetap menjadi kontributor utama perekonomian nasional berbasis kota sebagai pilar pertama.

 

Pilar lainnya adalah memberikan kesejahteraan dan kemajuan bagi warga lokal dan global yang ada dan bekerja di Jakarta; ruang kota yang kompak, lestari, dan berkeadilan terkait tata ruang; mobilitas orang dan barang yang efisien dan efektif demi ekonomi yang lancar; serta Jakarta sebagai kota tumbuhnya bisnis dan ekosistem digital.

 

Fondasi dan pilar ini akhirnya bertujuan untuk mewujudkan Jakarta sebagai kota bisnis dan pusat perekonomian nasional berskala regional dan global yang lestari, berbudaya, yang menjunjung tinggi keadilan dan kesejahteraan. Inilah yang kiranya penting untuk menatap Jakarta ke depan.

 

Peran dan isu strategis Jakarta

 

Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional menyebutkan bahwa Jakarta adalah bagian dari kawasan strategis nasional bersama dengan kota Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabekpunjur).

 

Jakarta berinteraksi secara intensif dengan kota-kota sekitar dan semakin meluas melampaui batas-batas administrasi. Diperlukan tata ruang kolaboratif antara Jakarta dan kota-kota itu.

 

Jabodetabekpunjur akan menjadi kawasan yang terus berkembang dengan isu-isu seperti kebutuhan lahan penataan pantai utara, sampah dan sanitasi, kemacetan, ketersediaan air bersih, permukiman kumuh, dan banjir. Maka, peningkatan layanan transportasi untuk integrasi logistik (pelabuhan dan bandara) dan integrasi trayek angkutan umum dari dan ke Jakarta di wilayah Jabodetabek menjadi penting.

 

Setidaknya ada lima hal terkait, yaitu pengembangan transportasi massal berbasis rel dan basis jalan raya bekerja sama dengan PT KAI, pengembangan park and ride, revitalisasi stasiun dan terminal, pembangunan MRT East-West dan MRT Fase 4 (Fatmawati-Taman Mini), serta pembangunan LRT (Manggarai-Velodrome).

 

Selain upaya-upaya di atas, pemberian bantuan kepada kota-kota sekitar senantiasa diupayakan. Penyediaan, perencanaan, dan pengendalian jaringan prasarana berupa Sistem Pengelolaan Air Minum Jatiluhur dan Karian, persampahan berupa Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantar Gebang, serta penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau terus dikembangkan dalam keseluruhan kerja untuk Jakarta.

 

Dari uraian di atas, kiranya menjadi jelas arah Jakarta ke depan sebagai bagian dari kawasan strategis nasional. Dengan upaya-upaya pengembangan dan terobosan baru di segala bidang, Jakarta tetap akan berkembang menjadi kota global kendati status ibu kota tidak lagi melekat padanya.

 

Kota Jakarta memiliki arah ke mana seharusnya menuju, yaitu menjadi kota yang berketahanan, tetap menjadi persinggahan dan mobilitas jutaan orang, serta menjadi sentra bisnis yang terbuka terhadap perkembangan teknologi. Dengan sinergi dan integrasi di segala bidang, Jakarta optimistis menghadapi tantangan dan peluang di masa depan.

 

Sukses Jakarta untuk Indonesia!

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/11/20/jakarta-kini-dan-nanti

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar