Senin, 28 November 2022

 

”Political Recalling”

Budiman Tanuredjo : Wartawan Senior Kompas

KOMPAS, 26 November 2022

 

                                                

 

”This is not the rule of law, but the rule by law. Hukum hanya dijadikan alat kekuasaan saja.” Hari Selasa, 22 November 2022, saya menerima pesan dari salah satu ahli konstitusi dan ahli hukum tata negara serta desainer Mahkamah Konstitusi. Ia menanggapi pemberhentian Aswanto oleh DPR dan diganti Sekjen Mahkamah Konstitusi Guntur Hamzah. Guru besar itu melampirkan undangan pelantikan Guntur Hamzah, Rabu, 23 November 2022, di Istana Negara.

 

Saya meresponsnya pendek: terus mau bagaimana. Ia merespons: ”Masukan sudah disampaikan. Daya rusaknya akan tercatat dalam sejarah. Silakan,” tulisnya. Terasa ada nuansa kepasrahan terhadap langkah politik DPR ”memecat” Aswanto. Aswanto, Guru Besar Hukum Pidana dan Hak Asasi Manusia Universitas Hasanuddin, dianggap ”berdosa” oleh DPR. Komisi III DPR menganggap Aswanto sebagai ”anak nakal” yang kerap membatalkan undang-undang yang dibuat DPR dan pemerintah. Komisi III DPR menganalogikan hakim konstitusi adalah direktur perusahaan dan DPR adalah pemilik perusahaan. Ketika direktur tidak mengikuti kebijakan pemilik, terjadilah pemberhentian itu.

 

Aswanto resmi diberhentikan. Guntur Hamzah telah mengucap sumpah sebagai hakim konstitusi, disaksikan Presiden Jokowi pada Rabu, 23 November 2022. Pihak Istana mengatakan, Presiden tidak bisa mengoreksi putusan DPR yang mengganti Aswanto. Presiden hanya menjalankan fungsi administrasi menerbitkan keputusan presiden untuk melantik Guntur Hamzah.

 

Enam jam setelah pelantikan Guntur, MK mengeluarkan putusan uji materi. Di bagian pertimbangan, MK mengatakan, ”Pemberhentian hakim konstitusi di luar Pasal 23 UU MK tidak konstitusional. Pemberhentian hakim konstitusi dalam masa jabatannya harus ada surat dari Ketua MK.” Putusan MK itu bisa dipastikan hanyalah kertas yang tak punya makna, selain menjadi catatan sejarah hitam bagaimana kekuasaan politik bermain. Cerita itu hanya akan melengkapi sejarah robohnya pilar kemandirian kekuasaan kehakiman yang dirancang MPR yang mengubah konstitusi dan melahirkan Mahkamah Konstitusi. Eksistensi hakim konstitusi yang dikonstruksikan sebagai negarawan yang menguasai konstitusi telah berubah menjadi sekadar ”petugas DPR”.

 

Aswanto diberhentikan. Guntur Hamzah tetap sebagai hakim konstitusi. Itu sesuai dengan prinsip hukum Presumptio iustae causa. Setiap keputusan tata usaha negara harus dianggap sah sebelum dibuktikan sebaliknya. Selamat bekerja Prof Guntur Hamzah. Rabu siang, 23 November 2022, saya mengobrol dengan Aswanto di Youtube ”Backtobdm.” Pertemuan dengan Aswanto sekaligus untuk menguji apakah ia memenuhi syarat diberhentikan dengan hormat. Aswanto belum berusia 70 tahun.

 

Aswanto tidak mengundurkan diri meski ia sempat berpikir untuk mundur. Aswanto masih segar bugar tidak sakit dan tetap bisa bekerja. Aswanto juga tidak melanggar etik atau melakukan pidana yang bisa diberhentikan dengan hormat atau tidak dengan hormat. Artinya, pemberhentian Aswanto tidak memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 23 UU MK. Alasan DPR kecewa karena Aswanto kerap membatalkan undang-undang tidak ditemukan dalam persyaratan pemberhentian hakim konstitusi. Langkah DPR semacam political recalling. Sebuah langkah politik untuk menjinakkan kekuasaan kehakiman yang juga tidak punya dasar konstitusional.

 

Aswanto mengaku tidak pernah menerima pemberitahuan resmi apa pun dari DPR soal pemberhentiannya. Aswanto juga belum menerima keppres pemberhentiannya. ”Saya mendengar dari berita-berita,” katanya.

 

Aswanto tidak ingin mempersoalkan pemberhentiannya. ”Saya sedang mencari jalan bertemu dengan DPR untuk pamitan. Dua kali saya menjalani fit and proper test sebagai hakim konstitusi dan diberi kesempatan delapan tahun sebagai hakim MK. Saya datang tampak muka, saya ingin pamitan tampak punggung,” ucap Aswanto.

 

Problem di MK, bukan problem Aswanto sebagai pribadi. Masalah yang terjadi di MK adalah soal eksistensi negara hukum Indonesia sesuai dengan teks UUD 1945, Indonesia adalah negara hukum. ”Persyaratan negara hukum menuntut kemandirian kekuasaan kehakiman. Pilar negara hukum sedang goyah. Boleh jadi, kini bangsa ini sedang berada di simpang jalan: menjadi negara hukum atau negara kekuasaan? Indonesia negara hukum punya makna mendalam bahwa konstitusi dan undang-undang adalah kompas penyelenggaraan negara. Bagaimana persyaratan anggota DPR dipilih dan diberhentikan, bagaimana presiden dipilih, persyaratan gubernur dan bupati dipilih dan diberhentikan, hakim agung dipilih dan diberhentikan, bagaimana hakim konstitusi dipilih dan diberhentikan. Semua itu ada aturannya. Tak bisa semaunya. Aturan itu dibuat DPR dan pemerintah. Jika semua aturan yang disepakati itu dilanggar, bisa terjadi anarki. Demokrasi harus diimbangi dengan nomokrasi atau kedaulatan hukum.

 

MK dibangun oleh gerakan reformasi 1998. Gerakan untuk menguatkan prinsip konstitusionalisme dalam negara demokratis konstitusional.

 

Sejarah MK pasang surut

 

Pernah menjadi penyelamat bangsa dari kebuntuan konstitusi, pernah menjadi penentu kemenangan sengketa pemilu, pernah mengamini keinginan DPR dan pemerintah menempatkan KPK sebagai cabang kekuasaan eksekutif, pernah juga mengoreksi UU produk DPR dan pemerintah. Namun, pernah juga terpuruk ketika Ketua MK dan hakim konstitusi masuk penjara karena korupsi. Mau ke mana MK sekarang? Berpulang kepada hakim konstitusi sebagai ”negarawan yang menguasai konstitusi” bagaimana mau menyikapinya.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/polhuk/2022/11/25/political-recalling

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar