Senin, 28 November 2022

 

Memanjatkan Doa

Fariz Alnizar : Munsyi di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Jakarta

KOMPAS, 22 November 2022

 

                                                

 

Mengapa puja-puji, rasa syukur, harapan, dan doa sering dirangkai dengan lema memanjatkan? Menurut perkiraan akademik, hal itu bertalian erat dengan akar kosmologi kepercayaan agama-agama kuno yang ada di Nusantara.

 

Rohman Budjianto (2010) mengatakan, kehadiran lema memanjatkan sesungguhnya berangkat dari tradisi beribadah agama Kapitayan. Agama ini memiliki akar kepercayaan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini memiliki roh dan kekuatan.

 

Agama ini sangat memedulikan kosmologi dan keseimbangan alam. Singkatnya, agama ini percaya bahwa pada benda-benda yang tinggi, besar, serta menjulang, kekuatan Tuhan bersemayam. Belakangan, sebagian pendapat mengatakan, agama Kapitayan ini lebih dikenal atau dipeyorasikan oleh kolonialisme sebagai agama animisme-dinamisme.

 

Agama Kapitayan memiliki tradisi beribadah dan menyembah kepada sesuatu yang paling tinggi di muka bumi ini. Apakah benda tertinggi di muka bumi ini?

 

Jawabannya bukan gunung, melainkan pohon. Sebab, setinggi apa pun gunung, ia pasti ditumbuhi pepohonan. Maka, yang tertinggi di muka bumi ini menurut keyakinan mereka adalah pohon. Pada pohon-pohon itulah mereka percaya ada kekuatan besar yang bersemayam di dalamnya.

 

Bermula dari sanalah tradisi memberikan sesaji dan berdoa lahir. Dari sana pula lahir lema memohon yang dekat dan erat sekali hubungannya dengan pohon. Secara filosofis, memohon itu muncul dari lema pohon.

 

Karena nenek moyang kita mengudarakan doanya kepada Tuhan melalui media pohon, besar kemungkinan alam imajinasi mereka gentayangan dan membayangkan bahwa doa, puja-puji, dan syukur itu merangkak naik kepada yang ”di atas” atau Tuhan dengan cara memanjat. Lema memanjat praktis berasal dari pertalian antara pohon dan memohon.

 

Hal itu terbukti dengan, misalnya, mengapa teknologi hari ini, yang kian hari kian canggih, tidak berhasil mengubah tata bahasa beragama masyarakat kita? Mengapa masyarakat kita bergeming untuk, misalnya, mengganti lema memanjatkan dengan melemparkan doa atau meluncurkan doa? Pertanyaan menarik untuk bisa ditelaah lebih lanjut.

 

Maka, jika ada yang menyimpulkan bahwa memanjatkan pada memanjatkan puji syukur itu berawal dari memunajatkan tidaklah sepenuhnya salah, tetapi juga tidak seratus persen benar. Pada aras inilah saya tidak sependapat dengan Damiri Mahmud (2017) yang menyebutkan bahwa doa yang dipanjatkan itu layaknya beruk yang merangkak memanjat pohon.

 

Saya juga menolak pendapat yang menautkan filosofi menanam sirih dengan memanjatkan doa. Menanam sirih memang memiliki irisan kesamaan dengan memanjatkan doa, yakni dibutuhkan kesungguhan dan kekhusyukan, tetapi irisan kesamaan itu tidak menyentuh ranah kosmologis-historis yang lebih erat pertaliannya dengan kemuculan memohon dan memanjatkan doa.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/11/11/memanjatkan-doa

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar