Senin, 28 November 2022

 

Haedar Nashir: Bangun Keadaban Publik

Kurnia Yunita Rahayu, Anita Yossihara, Nino Citra Anugrahanto : Wartawan Kompas

KOMPAS, 21 November 2022

 

                                                

 

Haedar Nashir mendapat kepercayaan untuk kembali menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2022-2027. Sederet agenda serta isu strategis keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal menjadi perhatian persyarikatan di bawah kepemimpinannya lima tahun ke depan. Tak hanya memperkuat basis massa di akar rumput, perubahan sosial pasca-reformasi, globalisasi, dan revolusi teknologi informasi juga menjadi sorotan.

 

Berikut petikan wawancara Kompas dengan Haedar Nashir di sela Muktamar Ke-48 Muhammadiyah dan Aisyiyah di Surakarta, Jawa Tengah, Minggu (20/11/2022).

 

Apa saja agenda prioritas Muhammadiyah selama lima tahun ke depan?

 

Pertama, memperkuat basis akar rumput komunitas. Ini tidak hanya untuk Muhammadiyah, tetapi untuk kepentingan bangsa. Di tengah perubahan sosial, baik pasca-reformasi maupun setelah globalisasi, ditambah dengan revolusi teknologi informasi, masyarakat kita ini sesungguhnya sedang berjuang agar tidak tercerabut dari akar budaya yang berbasis pada agama, tradisi luhur bangsa, dan dalam konteks bangsa tentu Pancasila. Perubahan ini dahsyat, sampai-sampai Microsoft mengumumkan masyarakat kita sebagai warga yang kurang beradab.

 

Kedua, kami menghasilkan risalah Islam berkemajuan sebagai pantulan dari gerakan Muhammadiyah. Sejak berdiri, itu sudah diimplementasikan, bukan sekadar teori. Itu terlihat dari bagaimana KH Ahmad Dahlan mereformasi pendidikan menjadi modern, lalu menerjemahkan surat Al Maun menjadi rumah sakit, rumah miskin, rumah yatim.

 

Kemudian yang tidak kalah revolusioner, mendirikan gerakan perempuan Aisyiyah tahun 1917 yang tidak hanya memiliki dimensi keagamaan, tetapi juga membongkar tatanan budaya patriarki yang mengerangkeng perempuan. Lalu mengubah cara berpikir keislaman yang selalu adaptif untuk menjawab tantangan zaman.

 

Tetapi itu, kan, Islam berkemajuan di generasi awal. Sekarang, di tengah modernisasi abad ke-21 yang orang sebut sebagai postmodern, Muhammadiyah dalam dimensi akhlak harus melahirkan keadaban publik. Keadaban publik itu, kan, inklusif, milik bersama. Contohnya, orang punya kesadaran seperti membuang sampah pada tempatnya, budaya hidup bersih, ya, yang sederhana saja. Kemudian tidak ada hate speech di media sosial ketika pandangan kita berbeda, apalagi sampai memicu kebencian antarkelompok.

 

Jadi, Islam berkemajuan itu harus menampilkan proses pelembagaan nilai-nilai Islam yang membawa persatuan, perdamaian, menjadi kohesi sosial, serta mampu melahirkan keadaban publik. Lebih jauh lagi, itu harus menjadi etos kemajuan bagi seluruh warga.

 

Bagaimana cara melembagakan nilai-nilai Islam untuk melahirkan keadaban publik?

 

Tentu masyarakat harus mandiri secara ekonomi agar bisa menjadi civil society yang kuat. Mewujudkan civil society yang kuat itu bukan hanya dengan membangun kesadaran politik dan kesadaran berdemokrasi, melainkan juga memperkuat ekonomi masyarakat. Karena, kalau kondisi ekonominya masih di bawah, ya, dia akan tetap menjadi obyek penderita dari segala macam bentuk struktur yang membelenggu.

 

Karena itu, Muhammadiyah mengintegrasikan amal usaha dan mengembangkan bisnis, ekonomi, serta kewirausahaan. Dulu, Muhammadiyah hadir di tengah masyarakat Islam perkotaan yang kuat secara ekonomi. Muhammadiyah hidup di pusat-pusat produksi batik, pabrik tekstil milik saudagar-saudagar pribumi. Tetapi pribumi yang dimaksud dalam konteks keindonesiaan ya, bukan sebagai entitas yang saling berlawanan.

 

Berikutnya, Muhammadiyah akan berupaya lebih dinamis mendorong bangsa ini dalam peran keumatan, kebangsaan, bahkan kemanusiaan universal yang lebih berkemajuan. Kita bisa tumbuh bersama sebagai sebuah masyarakat majemuk. Selama ini, kita, kan, stagnan. Masih banyak keributan yang kita buat bersama dan akhirnya kita juga menerima akibatnya, gitu, kan. Kalau seperti ini, ya tidak akan ada habisnya.

 

Untuk itu, ketika pemilu kami mengajak masyarakat dan elite untuk lebih rasional. Oke, ada latar belakang perbedaan ideologi, identitas, yang tidak terhindarkan. Namun, hal itu jangan sampai mengawetkan konflik politik menjadi berkepanjangan. Itu, kan, perlu ada rasionalitas, mengembangkan akal pikiran murni, yang dalam istilah Muhammadiyah itu berpikir obyektif keilmuan. Dengan rasionalitas, kita bisa paham bahwa konflik terus-menerus justru akan merugikan diri kita sendiri, tidak ada yang diuntungkan lho dengan konflik itu. Masyarakat kita harus diedukasi dan elite jangan bermain api untuk memanfaatkan itu.

 

Bagaimana Muhammadiyah memosisikan diri di tengah potensi konflik yang berpotensi muncul jelang Pemilu 2024?

 

Posisi Muhammadiyah tentu netral aktif untuk berperan dalam mengawal proses demokrasi pemilu. Tetapi, kami tetap menjaga jarak, tidak partisan karena kami memang bukan partai politik. Kami juga tidak dalam posisi mencalonkan, dan memang kami adalah ormas (organisasi kemasyarakatan) keagamaan dan dakwah. Jadi dalam konteks ini, Muhammadiyah posisinya netral aktif dan konstruktif.

 

Pemilu 2024 harus merupakan proses demokrasi yang bukan hanya luber jurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil) sebagaimana demokrasi prosedural. Kita harus memastikan pemilu sebagai proses yang terbuka, di mana semua pihak menjalankan peran sesuai dengan posisi masing-masing. Parpol, ya, jalankan tugas parpol.

 

Pemerintah sebagai milik bersama, ya, ketika menghadapi pemilu harus dalam posisi yang bijaksana, tidak terlibat dalam kontestasi. Sebab, kalau negara terlibat dalam kontestasi, apalagi memihak pada satu calon, nanti tidak bisa lagi menjadi adil. KPU (Komisi Pemilihan Umum) lebih-lebih sebagai penyelenggara harus lebih adil. itu yang disebut akuntabilitas dalam proses demokrasi yang transparan.

 

Selanjutnya, memastikan bahwa ada platform dan kesamaan visi dalam membingkai Pemilu 2024 sebagai proses transformasi kepemimpinan baru. Dalam konteks legislatif, yuk, kita bangun sebuah visi kebangsaan yang betul-betul diterjemahkan dari Pembukaan UUD 1945, agar tidak terlepas dari bingkai itu. Jadi, ada semacam visi kebangsaan yang menjadi komitmen bersama.

 

Dalam kontestasi yang semua orang ingin menang, saking ingin menangnya melakukan segala macam cara, sampai lupa pada prinsip demokrasi yang berpijak pada Pancasila, komitmen kita berbangsa. Maka, betapa pun ingin bersaing harus ada dialog antarkontestan dan antarparpol, supaya tidak terjadi permusuhan yang melampaui batas. Kalau masih saling curiga, ya, saling bertemu. Kami, Muhammadiyah, bisa jadi mediator.

 

Terakhir, memastikan bahwa para calon, baik di pilpres (pemilihan presiden), pilkada (pemilihan kepala daerah), maupun pileg (pemilihan anggota legislatif), memiliki jiwa kesatria Pancasila. Mereka harus sepakat meletakkan proses demokrasi berprinsip pada hikmah kebijaksanaan dan membuka ruang musyawarah. Jangan hanya menang-menangan. Kemudian, meletakkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongan.

 

Lalu hasilnya, bahwa siapa pun yang dipercaya oleh rakyat, dia harus mengembalikan kepercayaan itu untuk menyejahterakan rakyat dengan rasa cinta dan tanggung jawab. Jangan seperti kacang lupa kulitnya. Ketika ingin dapat dukungan, begitu mesra mencintai rakyat, setelah menang, ya, kemudian melupakan rakyat. Itu selain tidak sejalan dengan prinsip demokrasi, juga tidak disukai Tuhan YME.

 

Presiden Joko Widodo kemarin meminta Muhammadiyah terus mendukung pemerintah agar Indonesia bisa menjadi titik terang di tengah kesuraman. Bagaimana menerjemahkannya?

 

Itu seperti orangtua mendukung anaknya, terus memberi support. Tetapi pada saat yang sama, memberi warning ketika anak itu berdinamika. Anak itu, kan, macam-macam.

 

Artinya, Muhammadiyah sebagai kekuatan yang ikut mendirikan negara ini, di satu pihak akan selalu mendukung, mendorong, dan tentu bekerja sama, berkolaborasi dengan pemerintah untuk memajukan Indonesia. Tapi, kami juga akan menyampaikan masukan, kritik yang elegan dan berbasis pada obyektivitas. Juga memastikan tidak ada kebijakan-kebijakan yang terlalu bersemangat dalam hal tertentu, tapi kurang mempertimbangkan aspek-aspek dan dampak negatif dari kebijakan itu. Kalau ada yang seperti itu, ya, kami memberikan masukan.

 

Nah, ketika kami menyampaikan kritik dan masukan, jangan dianggap sebagai bentuk ketidaksukaan. Jangan dianggap sebagai bentuk oposisi. Jangan dianggap sebagai bentuk dari tidak mendukung. Justru ini bentuk cinta secara positif. Seperti manusia, Indonesia, kan, juga dibangun untuk menjadi dewasa. Manusia dewasa karena orangtuanya mengajarkan cinta dan disiplin. Kalau cuma cinta terus tanpa disiplin, itu nanti selain manja juga jadi tidak mandiri. Bangsa juga begitu.

 

Maka, ke depan akuntabilitas itu penting. Demokrasi kita ke depan juga harus membuka seluas mungkin kontrol publik yang tujuannya bagus, untuk checks and balances. Kita juga harus menjadi bangsa yang rasional, artinya bisa lugas. Kalau ada masalah jangan berputar-putar, karena akhirnya malah bisa semakin besar. Kita harus belajar untuk belajar untuk menyelesaikan masalah dengan cepat. Ya, seperti kopi manis dan pahit, kan, sama saja enaknya.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/polhuk/2022/11/20/haedar-nashir-bangun-keadaban-publik

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar