Senin, 28 November 2022

 

Reforma Agraria untuk Keadilan Sosial

Abdul Muhaimin Iskandar : Wakil Ketua DPR

KOMPAS, 24 November 2022

 

                                                

 

Kita masih punya pekerjaan rumah di sektor agraria, yakni bagaimana menata pemilikan dan penguasaan tanah serta pengelolaan kekayaan alam secara berkeadilan. Ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah dan kekayaan alam telah lama berlangsung tanpa ada perombakan secara fundamental. Akibatnya, ketidakadilan agraria mewarnai kehidupan rumah tangga pertanian Indonesia.

 

Badan Pusat Statistik (2013) menyebutkan bahwa rumah tangga petani gurem mencapai 14,25 juta rumah tangga atau sebesar 55,35 persen dari rumah tangga pertanian pengguna lahan, dengan rata-rata penguasaan hanya mencapai 0,89 hektar. Selain petani gurem, ketimpangan penguasaan tanah juga melahirkan petani tunakisma yang menjadi lapisan paling bawah dalam strata sosial masyarakat perdesaan. Petani tunakisma inilah yang menjadi petani penyakap, buruh tani, bahkan sebagian dari mereka menjadi pengemis.

 

Jika ditelusuri lebih dalam, ketimpangan penguasaan tanah juga menjadi akar dari masalah kemiskinan perdesaan. Dalam kondisi tanah dikuasai secara tidak adil, tercipta penghasilan yang tidak merata antara tuan tanah dan petani penggarap. Para petani penggarap akan bekerja lebih keras (overwork) dan menanggung risiko usaha yang lebih besar dengan marjin penghasilan usaha yang tidak sebanding. Akibatnya, mereka secara terus-menerus berada dalam ekonomi subsistem dengan daya beli sangat rendah (underconsumption).

 

Dari perspektif ekonomi, membiarkan mayoritas populasi masyarakat perdesaan dalam kondisi underconsumption tentu tidak baik karena membuat siklus produksi-distribusi-konsumsi menjadi macet dan tidak menghasilkan produktivitas yang optimal untuk mendorong industrialisasi perdesaan. Padahal, industrialisasi perdesaan dibutuhkan untuk memperkuat fondasi ekonomi nasional.

 

Dengan industrialisasi perdesaan, tercipta sumber pendapatan bagi masyarakat desa, kesempatan kerja dan usaha baru, mengendalikan urbanisasi dan mengurangi kemiskinan perdesaan. Dari kacamata ”etik” kemiskinan yang diakibatkan oleh ketimpangan ini mencerminkan ketidakadilan sosial.

 

Ketimpangan penguasaan tanah juga melahirkan ribuan konflik agraria antarpetani dan badan-badan usaha, baik swasta maupun badan usaha milik negara. Data Konsorsium Pembaruan Agraria menyebutkan bahwa kejadian konflik agraria pada 2021 sebanyak 207 kasus dan didominasi konflik agraria di areal perkebunan sawit. Artinya bahwa ekpansi modal untuk penguasaan lahan skala luas menjadi sumber konflik.

 

Menciptakan keadilan sosial

 

Fakta-fakta di atas menuntun kita kepada satu kesadaran historis dan ideologis bahwa pelaksanaan reforma agraria adalah satu keniscayaan. Makna reforma agraria yang saya maksudkan tidak sekadar bagi-bagi tanah atau hanya sebatas menerbitkan dan membagi sertifikat tanah. Yang harus kita tuju adalah reforma agraria yang menciptakan keadilan sosial yang ditandai dengan adanya keadilan agraria, peningkatan produktivitas dan kesejahteraan rakyat, serta perbaikan akses masyarakat terhadap sumber-sumber ekonomi terutama tanah.

 

Untuk mewujudkan keadilan agraria, maka agenda mendasar dan terlebih dahulu harus dilakukan adalah menata kembali penguasaan, pemilikan, dan penggunaan tanah dan kekayaan alam. Agenda reform ini dilakukan secara sistematik, terencana, serta mempunyai jangka waktu tertentu dan terbatas.

 

Mengingat dalamnya ketimpangan yang terjadi saat ini, maka kita membutuhkan waktu 10-15 tahun untuk menata ulang melalui program distribusi dan redistribusi lahan kepada mereka yang berhak. Secara berbarengan juga diperlukan kebijakan pembatasan penguasaan tanah.

 

Reforma agraria juga merupakan jalan transformasi sosial ekonomi dan politik. Reforma agraria yang sukses menjadi basis pembangunan nasional, khususnya pembangunan pertanian. Semakin menguatkan kedaulatan pangan nasional. Dan yang harus juga diketahui bahwa reforma agraria juga mendorong proses demokratisasi yang inklusif di perdesaan.

 

Untuk itu, keberhasil reforma agraria sangat ditentukan oleh sejauh mana komitmen politik yang kuat dari pemerintah. Komitmen politik yang kuat ditandai dengan dukungan dari birokrat yang jujur, berani dan berintegritas dari level pusat hingga daerah. Birokrat harus menjadi kekuatan pro-reform bukan anti-reform.

 

Dukungan ketersediaan data yang lengkap dan akurat terkait dengan obyek dan subyek reforma agraria menjadi prasyarat penting. Dalam hal ini, proses pendataan subyek dan obyek reforma agraria harus dilakukan secara transparan dan partisipatif dengan melibatkan serikat-serikat tani, nelayan, dan komunitas masyarakat adat.

 

Luas lahan yang dialokasikan sebagai obyek reforma agraria harus sesuai dengan jumlah subyek penerima reforma agraria. Lahan yang akan didistribusi haruslah lahan-lahan yang subur untuk pengembangan produktivitas ekonomi pertanian.

 

Subyek penerima reforma agraria juga harus dipastikan adalah petani gurem, petani tunakisma, buruh tani, nelayan, masyarakat adat baik yang ada dipingir maupun dalam kawasan hutan. Untuk kepentingan regenerasi petani, maka redistribusi lahan diprioritaskan kepada petani berusia muda dari dalam keluarga subyek penerima reforma agraria.

 

Program pendukung

 

Agar hasil pelaksanaan reforma agraria berkesinambungan, maka redistribusi lahan harus disertai dengan program pendukung kepada masyarakat penerima tanah obyek reforma agraria. Dukungan itu harus konkret, mulai dari pengembangan sumber daya manusia, menyediakan bibit dan pupuk, pengembangan saranan dan prasarana pertanian, pendanaan, jaminan pasar, infrastruktur pertanian serta dukungan informasi dan teknologi.

 

Kita menyadari sepenuhnya bahwa merombak ketimpangan agraria akan berhadapan dengan kekuatan anti-reform. Karena itu, diperlukan komitmen politik yang kuat untuk perubahan fundamental ini. Selain kekuatan dari serikat-serikat tani dan organisasi masyarkat sipil, partai politik harus menjadikan reforma agraria sebagai platform perjuangannya. Melakukan pendidikan untuk menciptakan kader-kader yang ideologis dan berkomitmen kuat untuk melaksanakan reform agraria.

 

Reforma agraria adalah salah satu tonggak dari sejarah Indonesia membebaskan dirinya dari bayang-bayang kolonialisme dan kapitalisme. Presiden Soekarno sangat mengandalkan program reforma agraria ini sebagai tahapan penting dari revolusi Indonesia.

 

Presiden Soekarno berkata, ”Revolusi Indonesia tanpa landreform adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi. Melaksanakan landreform berarti melaksanakan satu bagian yang mutlak dari revolusi Indonesia. Gembar-gembor tentang revolusi, sosialisme Indonesia, masyarakat adil makmur, amanat penderitaan rakyat, tanpa melaksanakan landreform adalah gambar-gembornya tukang penjual obat di Pasar Tanah Abang atau Pasar Senen.”

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/11/22/reforma-agraria-untuk-keadilan-sosial-1

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar