Senin, 28 November 2022

 

Gempa Cianjur dan Cerita Lara Para Korban

Linda Trianita :  Jurnalis Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 27 November 2022

 

 

                                                           

HASAN Basri tengah berzikir di Masjid Nurul Huda di Kampung Ciwaru, Desa Gasol, Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, bakda zuhur, Senin, 21 November lalu. Sesaat sebelumnya, tokoh agama Kampung Ciwaru itu baru rampung memimpin salat berjemaah. Ketika laki-laki 77 tahun itu khusyuk merapal doa, tiba-tiba atap dan tembok masjid berjatuhan dengan cepat. Detik itu, gempa Cianjur terjadi.

 

Tunggang-langgang Hasan menghambur ke luar masjid. Tongkat dan serban yang tertinggal di sana tak ia pikirkan lagi. Di luar masjid, Hasan menyaksikan debu mengepul. Rumah di depan, samping, dan belakang masjid roboh terlantak gempa. “Padahal gempanya tidak lama, paling lima detik,” ujar Hasan kepada Tempo, Kamis, 24 November lalu.

 

Mengiringi gempa berkekuatan magnitudo 5,6 yang telah rampung, jerit dan tangis anak-anak serta kaum ibu menggema di Ciwaru. Banyak penduduk meneriakkan kalimat tauhid dan takbir. Kepanikan muncul dari berbagai penjuru.

 

Hasan berlari ke rumahnya yang berjarak hanya sepuluh meter dari masjid. Griya itu runtuh sudah. Hasan berteriak-teriak memanggil istrinya, Siti Mastianah. Ia kira Mastianah terkubur di reruntuhan rumah. Mastianah membalas teriakan suaminya. Ia lantas menangis di pelukan Hasan. Sambil terisak, Mastianah mengatakan anak mereka, Abdul Rojak, ada di dalam rumah yang runtuh.

 

Kembalilah Hasan ke masjid. Dengan panik ia menabuh kentongan di depan masjid berkali-kali. Sebagian warga Ciwaru berkumpul. Belum sempat Hasan mengutarakan kondisi Rojak, seorang di antara mereka mengatakan istrinya tertimpa tembok di gang. Yang lain bersaksi serupa. “Kami putuskan menolong satu per satu,” kata Hasan.

 

Rojak ditemukan masih hidup. Namun kepalanya berdarah dan kaki kanannya patah. Hasan membawa putranya ke Rumah Sakit Umum Daerah Cimacan, melalui jalur alternatif. Saat itu, jalan utama terputus akibat tanah longsor. Hasan bersyukur anggota keluarganya tak ada yang meninggal. Tapi dia tak lagi memiliki tempat tinggal akibat lindu.

 

Kampung Ciwaru diperkirakan sebagai pusat pergeseran Sesar Cimandiri yang mengakibatkan gempa Cianjur. Ketua RT 1 RW 4, Ciwaru, Ujang Kamur, mengatakan gempa yang terjadi hari itu tak seperti sebelum-sebelumnya yang biasa dimulai dengan getaran kecil. “Gempanya seketika pisan. Ujug-ujug rumah ambruk,” ujar Kamur.

 

Nyaris tiada waktu bagi warga Ciwaru menyelamatkan diri. Setidaknya 15 orang menjemput ajal. Tak hanya di dalam rumah, mereka yang meninggal juga ditemukan di sejumlah gang. Tertimpa rumah di kanan-kiri jalan. Di antaranya, dua perempuan yang baru pulang dari warung. Kamur langsung meminta warga menyelamatkan para korban dengan peralatan seadanya.

 

Sekitar satu jam setelah gempa yang terjadi pada pukul 13.20 itu, Kamur bergegas ke kantor desa untuk mencari pertolongan. Sepanjang jalan, ia menyaksikan hampir semua bangunan rata dengan tanah. Bukan hanya rumah kecil, yang gedongan pun ikut roboh diamuk lindu. Di Desa Gasol, yang terdiri atas tiga dusun, sekitar 90 persen rumah rusak.

 

Hingga Sabtu sore, 26 November lalu, setidaknya 318 orang meninggal akibat gempa Cianjur. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Suharyanto mengatakan personel lembaganya bersama aparat Pemerintah Kabupaten Cianjur dan relawan akan terus mencari penduduk yang hilang. “Kami terus mengupayakan evakuasi,” tutur letnan jenderal Tentara Nasional Indonesia itu.

 

Lindu juga mengakibatkan 4.630 orang mengalami luka-luka dan membuat hampir 74 ribu jiwa menjadi pengungsi. BNPB mencatat 22 ribu rumah rusak berat, 22 ribu rusak sedang, dan hampir 12 ribu rusak ringan. Di 15 kecamatan di Cianjur, 124 tempat ibadah, 31 sekolah, 10 perkantoran, dan 3 pusat layanan kesehatan rusak terkena dampak gempa.

 

Pemerintah memastikan akan memberi bantuan untuk warga yang rumahnya rusak. Nilainya Rp 10 juta, Rp 25 juta, dan Rp 50 juta, dari kategori rusak ringan ke berat. “Pemerintah masih berfokus mencari dan mengevakuasi korban,” ujar Presiden Joko Widodo.

 

Salah satu kerusakan terhebat berlokasi di Jalan Raya Nasional Cugenang. Setidaknya delapan kendaraan tertimbun tanah longsor sepanjang 300 meter dan bertebal 30 meter. Puluhan rumah dan warung luluh-lantak. Ada 13 korban bisa dievakuasi dan 9 orang masih terjebak di kendaraan.

 

Ketika gempa Cianjur terjadi, Abdul Gofur, 40 tahun, sedang berada di pusat kota. Ia tak merasakan guncangan yang hebat. Gofur tak terlalu risau. Hingga istrinya mengabarkan bahwa rumah mereka di Kampung Ciherang, Kecamatan Pacet, roboh. Seketika Gofur panik. Bukan hanya kondisi rumah yang menjadi pikirannya, tapi juga keselamatan putranya, Fiziar Al-Fahrizi.

 

Kala itu Fiziar, 10 tahun, sedang mengikuti kegiatan mengaji di sekolahnya, Sekolah Dasar Tahfidz Khoiru Ummah. Gofur memacu sepeda motornya secepat mungkin menuju rumah. Dari tetangganya yang anaknya juga bersekolah di Tahfidz Khoiru Ummah, Gofur mendapat informasi bahwa Fiziar berada di rombongan murid yang pulang naik angkutan kota setelah mengaji. “Saya langsung panik,” katanya.

 

Ada dua angkot mengangkut murid SD Tahfidz Khoiru Ummah. Jalurnya melewati Jalan Raya Nasional Cugenang. Angkutan yang membawa rombongan murid perempuan berhasil lolos. Namun mobil yang mengangkut murid laki-laki, termasuk Fiziar yang duduk di kelas V, dan seorang guru tertimbun tanah longsor. “Istri saya menangis terus dan berdoa agar anak kami ditemukan,” ujar Gofur sembari menyeka air mata.

 

Sekitar dua jam setelah gempa, Gofur mendatangi kawasan tanah longsor di Jalan Raya Cugenang. Ketika itu petugas menyampaikan bahwa sudah ada lima korban dievakuasi, yaitu dua orang dewasa dan tiga anak-anak. Dari jumlah itu, empat orang meninggal dan satu anak lelaki masih hidup. Mereka dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah Cimacan.

 

Berharap anaknya masih hidup, Gofur bergegas menuju rumah sakit. Ia harus menempuh jalur memutar karena jalan utama tertutup tanah longsor. Begitu tiba di sana, ia langsung menuju instalasi gawat darurat. Namun Fiziar tak ada di sana. Kaki Gofur bagai lemas tak bertulang saat seorang petugas kesehatan menyarankannya pergi ke kamar jenazah.

 

Gofur menyaksikan delapan tubuh berjejer dalam kondisi kaku. Ia mengenali salah satunya sebagai guru mengaji Fiziar. Matanya lantas bergerak mengamati jenazah anak-anak. Kafan sudah menutupi tubuh mereka dan hanya menyisakan bagian kepala. Mata Gofur langsung tertuju pada jenazah yang dikenalinya. Ia meraung sembari menyebut asma Fiziar. Gempa Cianjur membuat separuh hidup Gofur dan istrinya hilang. ●

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/nasional/167513/gempa-cianjur-dan-cerita-lara-para-korban

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar