Senin, 28 November 2022

 

Korban Jiwa Karena Gempa, Sampai Kapan?

Gho Danny Wahyudi : Mahasiswa Pascasarjana National Taiwan

University of Science and Technology

KOMPAS, 24 November 2022

 

                                                

 

Indonesia kembali berduka, Pada 21 November 2022, gempa dengan skala M 5,6 melanda Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, mengakibatkan setidaknya 268 orang meninggal, 151 orang masih dalam pencarian, 1.083 orang luka-luka, dan 58.362 orang mengungsi.

 

Yang membuat sedih, semua ini sebenarnya bisa dihindari. Gempa dengan skala M 5,6 bukanlah suatu gempa besar. Di negara lain dengan standar bangunan yang baik, gempa dengan skala M 5,6 tak akan membuat barang jatuh dari meja. Standar desain dan konstruksi bangunan yang baik dapat menghindarkan mayoritas, atau bahkan semua, korban jiwa dari gempa 21 November lalu.

 

Belajar dari pengalaman

 

Bangsa kita tidak asing dengan gempa. Dalam 20 tahun terakhir ini setidaknya sudah terjadi empat kali gempa besar di Indonesia. Mulai dari gempa dan tsunami Aceh tahun 2004, gempa Yogyakarta tahun 2006, gempa Padang tahun 2009, dan gempa Palu tahun 2018.

 

Ingatan dari setiap gempa tersebut tertanam dalam memori bangsa kita lewat kisah pilu dari keluarga dan teman yang ditinggalkan para korban jiwa. Namun, pada saat yang sama, pengalaman dari gempa-gempa tersebut terlupakan.

 

Dari gempa-gempa itu, ditambah lagi pengalaman yang dibagikan komunitas internasional akan gempa di negara masing-masing, kita sudah mengerti bagaimana membuat bangunan ”tahan” gempa.

 

Yang dimaksudkan dengan tahan gempa bukanlah bangunan itu tak dapat hancur karena gempa. Namun, dalam gempa dengan ukuran moderat, sesuai dengan data dari peta gempa, bangunan itu masih akan layak fungsi, dan terhadap gempa berat bangunan itu tak akan roboh dan menelan korban.

 

Ilmu bangunan tahan gempa ini bukanlah suatu ilmu esoterik yang hanya bisa dilaksanakan oleh guru besar ataupun ilmuwan, tetapi sudah disarikan dan disederhanakan sehingga semua orang yang mau belajar bisa menerapkannya.

 

Dr Teddy Boen, salah satu pionir dan mahaguru bangunan tahan gempa Indonesia, telah menuliskan buku Membangun Rumah Tembokan Tahan Gempa yang di dalamnya tidak terdapat rumus matematika, tetapi diisi dengan panduan dan petunjuk berbasis visual sehingga semua dapat mengerti.

 

Secara dunia perteknikan, masalah gempa ini sudah bisa relatif diatasi, tetapi solusi perteknikan tidak bisa menyelesaikan permasalahan sosial.

 

Bukan sekadar soal teknis

 

Beberapa minggu sebelum gempa Cianjur, di Taipei ada dua konferensi teknik sipil internasional yang penulis hadiri. Dalam kedua konferensi, pengalaman membangun ketahanan akan gempa dari Meksiko dan Nepal, secara terpisah, dibagikan ke komunitas internasional. Kedua negara itu bisa dikatakan mirip dengan Indonesia, rawan gempa dan masih merupakan negara berkembang.

 

Problematika yang mereka alami pun kurang lebih sama. Penyebab utama mengapa bangunan tak didesain tahan gempa adalah karena warga merasa bahwa desain terhadap gempa tidaklah diperlukan, dan faktor ”pengalaman” mengalahkan keilmuan. Mem-parafrasa seminar Dr Ramesh Guragain dari Nepal, desain tahan gempa tak hanya masalah teknis, tetapi juga masalah sosial kesadaran gempa dan diseminasi iptek.

 

Secara umum, seharusnya pendidikan desain bangunan tahan gempa di perguruan tinggi di Indonesia sudah berlangsung dengan baik. Namun, fokus akan desain bangunan tahan gempa di dalam tembok kampus saja melupakan realitas bahwa di lapangan, pemilik bangunan dan pekerja lapanganlah yang memiliki andil penting, bahkan bisa lebih penting daripada insinyur yang mendesain.

 

Diseminasi teknik konstruksi tahan gempa dan kesadaran akan bahaya gempa harus menarget kedua pemangku kepentingan itu.

 

Para peneliti dan dosen perlu mengedukasi teknik-teknik konstruksi tahan gempa kepada pekerja lapangan secara langsung sehingga dari tingkat pelaksana lapangan ada kesadaran bahwa beberapa teknik konstruksi yang sekarang dipakai bisa mengakibatkan korban jiwa apabila terjadi gempa.

 

Pemberian kesadaran ini perlu diikuti juga dengan pelatihan konstruksi tahan gempa yang sifatnya praktis untuk lapangan.

 

Para pemilik bangunan pun perlu disadarkan bahwa upaya menghemat waktu ataupun biaya pada konstruksi bisa mengakibatkan bangunan rentan hancur dan menyebabkan korban jiwa pada saat gempa.

 

Meniru teknik yang sudah diterapkan di Meksiko ataupun Nepal, pendidikan itu dapat dilakukan lewat iklan layanan publik dalam bentuk animasi.

 

Dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan bahaya gempa, diharapkan pemilik bangunan masa depan tak akan terlalu memaksa menghemat, dan mempertimbangkan faktor keamanan bangunan.

 

Membangun masa depan

 

Apabila pendidikan di lapangan sudah dikuatkan dan bangunan-bangunan di masa depan sudah aman, pertanyaannya adalah bagaimana dengan bangunan yang sudah ada?

 

Mungkin sudah ada ratusan ribu, bahkan jutaan, bangunan yang sudah selesai dibangun, dan sangat rawan untuk kolaps ketika terjadi gempa. Perlu ada evaluasi massal akan kondisi bangunan-bangunan tersebut dan pelaksanaan penguatan bangunan, jika diperlukan.

 

Untuk melakukan evaluasi tersebut, tentu sumber daya pemerintah pusat dan daerah tidak lah cukup. Mengatasi hal ini, mahasiswa dapat turun dari kampus dan melakukan proses evaluasi keamanan bangunan sebagai tugas kuliah ataupun proyek pengabdian masyarakat. Selain membantu mengatasi ancaman bencana massal akibat bangunan tak aman, evaluasi bangunan ini bisa menjadi pelatihan yang baik bagi mahasiswa.

 

Prioritas evaluasi keamanan bangunan harus diberikan pada bangunan sekolah dan rumah sakit (RS). Di gempa Cianjur, tak sedikit anak-anak jadi korban jiwa akibat robohnya bangunan sekolah. Di gempa Sulawesi Barat, sebuah RS roboh. Robohnya fasilitas sekolah dan RS, selain mengakibatkan korban jiwa bagi anak-anak dan orang sakit yang paling membutuhkan pelindungan, juga mengakibatkan proses bantuan pascabencana menjadi lebih rumit.

 

Pascabencana, sekolah bisa menjadi tempat evakuasi bagi pengungsi dan RS memiliki fungsi penting untuk merawat korban jiwa. Kedua bangunan ini harus dibuat untuk bisa menghadapi gempa berat dengan tingkat kerusakan seringan mungkin.

 

Beberapa gempa dengan korban jiwa paling besar di abad ini terjadi di Indonesia, dan terkecuali dalam beberapa kondisi khusus, sebagian korban jiwa tersebut dapat dihindari.

 

Mengingat bahwa secara teknik jawaban dari permasalahan adalah desain bangunan tahan gempa, sampai kapan kita masih mau ”menerima” berita korban jiwa dengan jumlah besar setiap terjadi gempa?

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/11/23/korban-jiwa-karena-gempa-sampai-kapan

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar