Polemik Aturan Kampanye di Lembaga
Pendidikan & Rumah Ibadah Andrian Pratama Taher : Jurnalis Tirto.id |
TIRTO.ID, 27 Juli 2022
Pernyataan
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asy’ari terkait kandidat
legislatif, kepala daerah hingga calon presiden boleh kampanye di lembaga
pendidikan dan tempat ibadah menuai polemik. Hasyim berdalih, yang tidak
diperbolehkan adalah menggunakan sarana dan prasarana kampus, pesantren dan
tempat ibadah, tapi tidak ada larangan kampanye. “Ingat ada
catatannya, jadi Undang-Undang Pemilu Nomor 7 tahun 2017 Pasal 280 ayat 1
huruf h yaitu larangan, pelaksana peserta dan tim kampanye untuk menggunakan
fasilitas pemerintah, tempat ibadah, tempat pendidikan, sehingga yang
dilarang itu fasilitasnya, bukan kampanyenya,” kata Hasyim di Gedung KPU RI,
Senin (25/7/2022). Dengan kata
lain, partai politik atau kandidat yang maju pada Pemilu 2024 harus
menyiapkan alat kampanye mereka sendiri. Mereka tidak diperkenankan memakai
alat atau fasilitas di tempat pendidikan maupun tempat ibadah. Kampanye pun
boleh dilakukan oleh individu atau lewat anggota tim kampanye. “Penjelasannya
disebutkan dalam pasal ini harus atas undangan dari tempat penyelenggara,
semisal itu di kampus harus dari undangan rektor, atau pimpinan
lembaga," jelasnya. Selain itu,
Hasyim meminta lembaga pendidikan bersikap adil kepada setiap kandidat,
sehingga keterbukaan sangat dijunjung dalam prinsip ini. Semua kandidat
memiliki hak yang sama untuk berkampanye. “Kalau capres
ada dua, ya diberikan kesempatan untuk semua. Kalau capresnya ada tiga, ya
diberikan kesempatan untuk ketiganya, bahkan kalau partainya ada 16, berikan
kesempatan kepada mereka semua. Perkara kesempatannya mau diambil atau tidak,
itu terserah kepada setiap calon,” kata dia. Akan tetapi,
Hasyim menegaskan, kewenangan pembolehan kampanye atau tidak ada pada
instansi pendidikan maupun tempat ibadah. Ia menilai ketentuan kampanye dan
protokol juga diserahkan kepada instansi tersebut. Sebaliknya,
Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran, Data, dan Informasi Bawaslu, Puadi
mengingatkan, kampanye di tempat ibadah dan lembaga pendidikan tidak
diperbolehkan. Namun, aturan ini berlaku bila sudah ada penetapan peserta
pemilu oleh KPU. “Larangan
kampanye di tempat ibadah dan tempat pendidikan mulai berlaku setelah ada
penetapan peserta pemilu oleh KPU," kata Puadi dalam rilis tertulis. Ia beralasan,
kegiatan politik yang bisa ditindak hanya saat kampanye dengan status
penetapan dari KPU. “Bagaimana misal jika ada seseorang atau partai politik
melakukan kegiatan politik di kampus atau di masjid sebelum ada penetapan
peserta? Maka secara hukum kegiatan politik tersebut tidak dapat
dikategorikan sebagai kampanye pemilu,” kata dia. Puadi menyampaikan
bahwa apa yang diungkapkan berdasarkan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017
tentang Pemilu, terdapat larangan melakukan kegiatan kampanye di tempat
ibadah atau tempat pendidikan. “Jika larangan
itu dilanggar, maka terdapat ancaman pidana paling lama 2 tahun dan denda
paling banyak 24 juta," terangnya. Puadi
mengatakan bahwa penetapan peserta partai politik berlangsung pada 14
Desember 2022, sementara peserta pemilu legislatif dan eksekutif pada 23
November 2023. Hal itu sesuai Peraturan KPU Nomor 3 tahun 2022. Ia pun
mengingatkan bahwa tidak semua tindakan pelanggaran kampanye ditangani
Bawaslu. Sebagai contoh, dosen berstatus aparatur sipil negara akan ditindak
Komisi Aparatur Sipil Negara, bukan Bawaslu. Respons Parpol Sejumlah
parpol pun merespons polemik kampanye di lembaga pendidikan dan rumah ibadah
secara beragam. Wakil Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN), Viva Yoga
Mauladi misal, sepakat dengan pandangan KPU. Ia menilai kampanye di tempat
ibadah dan pendidikan bisa dilakukan. “Pasal
tersebut melarang bagi pelaksana, peserta dan tim kampanye pemilu untuk
menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan, tetapi
tidak melarang berkampanye," kata Viva dalam rilis tertulis. Viva
mengingatkan kampanye di kampus dan lembaga diikuti sejumlah syarat. Pertama,
setiap kampus dan lembaga pendidikan yang mengundang peserta pemilu harus
membuat pakta integritas untuk bertindak adil dan jujur, menjunjung tinggi
muruah universitas sebagai lembaga pendidikan yang mengedepankan moralitas
akademi, objektif dan inklusif. Kedua, kata
Viva, tujuan peserta pemilu berkampanye di kampus atau lembaga pendidikan
sebagai upaya untuk meningkatkan partisipasi publik agar menjadi pemilih
cerdas, tidak skeptis dan golput. Ia berharap pembolehan
kampanye di kampus membuat para peserta memegang erat janji dan komitmen
kampanye. Viva juga menilai pelaksanaan kampanye di kampus jadi wadah kritik
dan masukan sehingga bisa amanah saat dilantik. Di sisi lain,
kata dia, PAN mulai menganalisa aturan tersebut agar ada evaluasi dan
perubahan dalam pandangan demokrasi. “PAN saat ini
sedang mengkaji bahan dan materi kampanye di kampus atau lembaga pendidikan
untuk mendekatkan diri dengan basis konstituen dan agar pelembagaan demokrasi
semakin berkualitas dengan terwujudnya pemilu yang berintegritas,” kata Viva. Sementara itu,
Sekjen DPP PDIP, Hasto Kristiyanto menyampaikan akan mengikuti setiap aturan
yang ditetapkan oleh KPU. Sehingga bila kampanye di kampus diizinkan, maka
mereka akan mengikuti. “PDIP, kita
ini sebagai peserta pemilu sehingga kami tunduk pada regulasi yang ditetapkan
oleh KPU. Karena selama ini kampus netral, sama seperti TNI dan Polri tidak
boleh kampanye, sama juga seperti tempat ibadah. Kami hormati, tapi
prinsipnya ikut KPU," kata Hasto. Kampanye di Lembaga Pendidikan & Rumah Ibadah Tak Boleh? Peneliti
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhani
menegaskan, pandangan boleh kampanye di institusi pendidikan maupun tempat
ibadah justru melanggar aturan. Sebab, kata dia, UU Pemilu sudah jelas-jelas
mengatur larangan tersebut. “Menurut saya
di tempat ibadah jelas tidak boleh dan ketentuannya saat ini di UU Pemilu
juga melarang itu. Larangan kampanye di lembaga pendidikan juga masih sama,
dilarang UU Pemilu,” kata Fadli saat dihubungi reporter Tirto, Selasa
(26/7/2022). Fadli
beranggapan, konsep kampanye kampus bisa menjadi perbincangan yang layak
didiskusikan. Ia beralasan, isu tersebut akan membuka ruang perdebatan ide
dan program politik secara rasional dan ilmiah. “Tapi problemnya untuk
[Pemilu] 2024 itu ngga bisa, karena UU Pemilu melarang kampanye di lembaga
pendidikan,” tegas Fadli. Fadli
mengingatkan ada pelanggaran UU Pemilu bila KPU tetap menafsirkan boleh
kampanye di lembaga pendidikan, termasuk pesantren dan tempat ibadah. “Ya itu
ranah tafsir ya. Sepanjang masih lisan, belum jadi kebijakan. Kalau KPU
serius, tuangkan saja di dalam Peraturan KPU soal kampanye,” kata Fadli. Namun, ia
menyarankan agar KPU tetap patuh aturan dengan melarang kampanye dalam
kampus. Kalau mau membolehkan itu, maka pemerintah dan DPR perlu merevisi UU
Pemilu. “Tapi kalau
ada ruang untuk merevisi UU Pemilu, gagasan kampanye di kampus boleh saja
dimasukkan. Tapi tanpa revisi UU Pemilu, itu akan jadi masalah pertentangan regulasi
nanti," kata Fadli. Peneliti KoDe
Inisiatif, Ihsan Maulana menilai wacana pembolehan kampanye di lembaga
pendidikan maupun di temat ibadah memang menjadi polemik. Jika merujuk pada
Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu, menyebutkan bahwa larangan kampanye
salah satunya dilakukan dengan menggunakan fasilitas pemerintah, tempat
ibadah, dan tempat pendidikan. Sanksi yang diberikan bahkan bisa sampai pada
diskualifikasi calon. “Larangan
kampanye ini cukup dilematis ya, satu sisi kampus sebagai ruang akademik
seharusnya bisa dimanfaatkan untuk kampanye sebagai sarana pendidikan politik
seperti melakukan debat terbuka untuk calon memaparkan visi, misi dan program
kerja. Namun di sisi lain, aturan Pasal 280 ayat (1) huruf h sudah secara
jelas diatur,” kata Ihsan kepada Tirto. Jika memang
aturan kampanye di kampus akan dilakukan, Ihsan menilai, maka Pasal 280 ayat
(1) huruf h harus direvisi. Sebab, kampanye di kampus sudah pasti menggunakan
fasilitas pendidikan yang dilarang, walaupun esensi larangan ini sebetulnya
untuk mendorong netralitas kampus. Namun, kampus
juga mestinya bisa menjadi ruang pendidikan politik melalui debat terbuka
soal visi, misi dan program kerja calon. “Jika kampanye tidak perbolehkan,
apa untuk acara debat untuk pasangan calon boleh diadakan di lingkungan
kampus? Debat pasangan calon merupakan bagian dari kampanye yang memang
dilarang di Pasal 280 ayat (1) huruf h,” kata Ihsan. Ia
menambahkan, “Artinya perlu ada regulasi dan mekanisme yang jelas bagaimana
kampanye di kampus tidak menggunakan fasilitas pendidikan. Jangan sampai, ini
membuka ruang permasalahan baru dan bisa berdampak pada meningkatnya
pelanggaran kampanye jika tidak disiapkan secara baik di regulasi dan
mekanisme teknis.” Terkait
perbedaan pandangan, Ihsan menilai, KPU dan Bawaslu perlu merumuskan bersama
bagaimana forum akademik tetap dapat berpartisipasi dalam menyukseskan debat
publik. Ia pun menilai situasi pendidikan akan sama dengan tempat ibadah
karena satu kesatuan. Ihsan
mendorong agar KPU merumuskan aturan kampanye di tempat pendidikan maupun
ibadah. Namun sebaiknya tidak dilakukan jika memicu masalah. “Idealnya jika
akan diperbolehkan, maka regulasi peraturan KPU-nya harus diatur dan
menyebutkan bahwa itu boleh dilakukan. Pengaturannya harus jelas, khususnya
soal batasan tidak menggunakan fasilitas pendidikan atau tempat ibadah,"
kata Ihsan. Namun jika
sulit, kata dia, maka sekalian saja dilarang agar tidak menimbulkan
perdebatan di ruang publik dan sesama penyelenggara. ● |
Sumber
: https://tirto.id/polemik-aturan-kampanye-di-lembaga-pendidikan-rumah-ibadah-guuv
Tidak ada komentar:
Posting Komentar