Demokrasi,
Hukum, dan Penjabat Kepala Daerah Azyumardi
Azra: akademisi Muslim |
KOMPAS, 28 Juli 2022
Bahwa demokrasi Indonesia mengalami kemunduran atau
regresi dalam beberapa tahun terakhir agaknya tak perlu diskusi dan argumen
panjang lebar lagi. Ini adalah ”kesimpulan” banyak institusi advokasi
demokrasi dan lembaga survei beserta pengamat dalam dan luar negeri. Regresi
itu terutama terkait dengan semakin menguatnya oligarki politik, oligarki
bisnis, dan otokratisme pemerintah menetapkan langkah politik, pemerintahan,
dan legislasi. Selain itu, terkait pula dengan menyempitnya kebebasan
berpendapat dan marjinalisasi masyarakat sipil. Kini, Indonesia berada di tubir demokrasi cacat
(flawed democracy) dan demokrasi restriktif (illiberal democracy). Demokrasi
Indonesia yang cacat bertambah buruk dengan pengangkatan penjabat kepala
daerah untuk menggantikan gubernur, bupati, dan wali kota yang habis masa
jabatannya. Pengangkatan penjabat telah berlangsung sejak 12 Mei 2022. Sampai
akhir Juli ini, sudah 57 penjabat gubernur, bupati, dan wali kota dilantik. Pengangkatan penjabat kepala daerah bakal terus
berlanjut sepanjang 2022 yang mencakup 7 penjabat gubernur, 76 penjabat
bupati, dan 18 penjabat wali kota. Pada 2023, akan ada pengangkatan 17
penjabat gubernur, 115 penjabat bupati, dan 38 penjabat wali kota. Walhasil,
total 271 (50,9 persen) kepala daerah pilihan rakyat dalam pilkada diganti
penjabat. Artinya, lebih dari separuh dari 541 kepala daerah, menjelang
pilkada pada 27 November 2024 memegang kuasa pemerintah pusat, menggusur
daulat rakyat. Pengangkatan 57 kepala daerah sejauh ini tidak
mengindahkan prinsip demokrasi tentang kedaulatan rakyat, ketentuan hukum
tentang pemilihan pejabat publik, serta kepatutan, fatsun politik, dan etika
publik. Pemerintah mengangkat pejabat kepala daerah tanpa transparansi; tidak
melibatkan pimpinan formal, wakil rakyat (DPRD), masyarakat sipil, dan
pemangku kepentingan otonomi daerah. Penjabat ditetapkan Kementerian Dalam
Negeri, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi,
Kementerian Sekretariat Negara, serta Badan Kepegawaian Negara dan Badan
Intelijen Negara. Dengan perilaku pemerintahan yang tidak sesuai nilai
demokrasi dan tatanan hukum, tidak heran Ombudsman RI (ORI) mendapatkan
beberapa temuan malaadministrasi dalam pengangkatan penjabat kepala daerah.
Menurut Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) ORI yang dirilis 19 Juli 2022,
malaadministrasi itu berupa penyimpangan prosedur dalam pengangkatan
penjabat; penyimpangan substantif dengan pengangkatan petinggi TNI aktif pada
jabatan yang hanya boleh diduduki pejabat sipil; serta keengganan Kemendagri
memberikan tanggapan dan informasi tentang pengangkatan penjabat kepala
daerah. ORI meminta Mendagri mengoreksi malaadministrasi itu
dalam 30 hari. Mendagri diminta segera memperbaiki proses pengangkatan yang
sebelumnya telah ”kebablasan” mengangkat petinggi TNI aktif pada jabatan yang
boleh diduduki hanya oleh ASN. ORI juga meminta Mendagri menyiapkan naskah
usulan pembentukan peraturan pemerintah (PP) terkait proses pengangkatan
penjabat kepala daerah; lingkup kewenangan, evaluasi kinerja, dan
pemberhentian. Selanjutnya, Mendagri diminta memberikan respons dengan
membalas surat pengaduan, komplain, serta keberatan publik terhadap penetapan
dan pengangkatan pejabat kepala daerah. Secara tipikal, Kemendagri tidak memberikan respons
positif pada LAHP ORI yang meminta pemerintah segera melakukan tindakan
koreksi. Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Benni Irwan menyatakan,
permintaan ORI hanya sebatas saran, khususnya menyangkut agar ada payung
hukum berupa PP untuk pengangkatan penjabat kepala daerah. ”Namanya juga
saran, bisa diterima, bisa tidak. Kalau baik sarannya dan tepat, kami
lakukan. Jika tidak, kami pertimbangkan yang lain merujuk pada aturan,”
katanya. Berbeda dengan permintaan ORI, aturan penunjukan penjabat kepala
daerah diputuskan dalam bentuk peraturan mendagri (permendagri) yang,
katanya, sedang dimintakan persetujuan kepada Presiden (Kompas, 22/7/2022). Penyiapan permendagri—bukan PP—memperpanjang saga
penolakan Mendagri pada ketentuan hukum lebih tinggi. Sebelumnya, Mendagri
mengabaikan putusan MK memerintahkan agar pemerintah menerbitkan PP tentang
pengisian kepala daerah. Kemendagri berdalih MK tidak ”mewajibkan” pembuatan
PP. Sebaliknya, hakim konstitusi yang juga Juru Bicara MK Enny Nurbaningsih
dan Sekjen MK Fajar Laksono menegaskan, putusan MK bukan sekadar rekomendasi,
melainkan juga final dan mengikat yang mesti ditindaklanjuti pemerintah
(Kompas, 18/5/2022). Pejabat pemerintah seharusnya menjadi contoh
kepatuhan pada demokrasi, hukum, regulasi, dan ketundukan pada etika
pemerintahan yang baik; tidak main terabas seraya mengemukakan dalih yang
sulit diterima. Hanya dengan ketundukan pada hukum, regulasi, dan fatsun
politik yang dapat diterima publik, demokrasi bisa tumbuh sehat dan
vibran. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/28/demokrasi-hukum-dan-penjabat-kepala-daerah |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar