Bauran
Kebijakan Mengelola Inflasi Kristianus
Pramudito Isyunanda: Penasihat Hukum di Departemen
Hukum Bank Indonesia |
KOMPAS, 27 Juli 2022
John
Maynard Keynes, sang penggagas teori makroekonomi dunia, pernah menyatakan,
tugas ekonom tak bermakna apabila hanya mampu menjelaskan ”ketika badai telah
lama berlalu, lautan kembali datar”. Kita
tak dapat menafikan bahwa situasi global sedang kurang kondusif. Berbagai
tantangan menerpa, mulai dari pandemi Covid-19, ditambah tensi geopolitik
Rusia dan Ukraina yang turut berdampak negatif pada perekonomian global. Saat
ini, dunia menghadapi tekanan inflasi di tengah risiko serius perekonomian
stagnan, atau kerap dikenal dengan istilah ”stagflasi”. Tingkat
inflasi di Amerika Serikat (AS) masih terus melonjak, kembali menembus rekor
tertinggi dalam empat dekade dengan angka tahunan mencapai 9,1 persen per
Juni 2022. Inflasi juga mulai merangkak naik di sejumlah negara, termasuk
Indonesia yang mencatatkan inflasi tahun ke tahun (year on year) sebesar 4,35
persen, Juni 2022. Jika
dibedah, sumber inflasi global didominasi oleh disrupsi rantai pasok akibat
kebijakan zero Covid-19 di China dan berlanjutnya ketegangan Rusia-Ukraina.
Prakiraan pertumbuhan perekonomian global pun terkoreksi sebagai buntut
pengetatan kebijakan moneter yang makin agresif demi memangkas inflasi di
sejumlah negara, termasuk AS. Efektivitas
bunga acuan Komentar
menarik datang dari salah satu anggota Kongres AS, Ayanna Pressley. Ia
menyatakan, inflasi bersumber dari tekanan suplai yang berada di luar kontrol
bank sentral. Kenaikan
bunga acuan yang agresif dapat mengerem laju perekonomian domestik dari
berbagai jalur transmisi, termasuk lapangan kerja. Bagi negara berkembang,
terdapat risiko yang menular melalui tekanan eksternal berupa pelarian modal
(capital flight). Kenaikan
bunga acuan memang menjadi pedoman teoretis pengelolaan ekspektasi inflasi,
terutama dalam kerangka target inflasi (inflation targeting framework).
Instrumen tersebut manjur dalam memangkas inflasi inti berkaitan dengan keseimbangan
permintaan. Di
tengah risiko stagflasi dan tekanan multidimensional yang dihadapi dunia hari
ini, bunga acuan memang tidak dapat menjadi satu-satunya instrumen dalam
menyelesaikan problematika ekonomi. Diperlukan pendekatan komprehensif dan instrumen
mutakhir yang pamungkas memulihkan ekonomi sekaligus menekan laju inflasi. Bauran
kebijakan Bank
Indonesia (BI) terus mengawal pemulihan ekonomi serta menjaga kestabilan
domestik dan sektor eksternal melalui pendekatan bauran kebijakan (policy mix).
Resiliensi bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan stabilitas sistem
pembayaran terbukti dalam menghadapi siklus ekonomi secara kontrasiklikal. Dalam
menghadapi tekanan inflasi, instrumen bunga acuan pun harus dilengkapi
kebijakan makro lainnya. BI melakukan normalisasi kebijakan likuiditas
melalui kenaikan bertahap giro wajib minimum. Penyerapan
likuiditas terkalibrasi dengan kebijakan makroprudensial guna menjaga
keseimbangan intermediasi dan pembiayaan inklusif. BI pun memperkuat operasi
moneter melalui kenaikan struktur suku bunga di pasar uang untuk tenor di
atas satu minggu sebagai langkah preemptif pengendalian inflasi inti. Di sisi
pembayaran, digitalisasi terus berlanjut, bahkan semakin meluas melalui
dobrakan inovasi pembayaran lintas batas negara. Kebijakan
moneter dan fiskal pun perlu diselaraskan secara baik. Pada saat pengetatan
kebijakan moneter harus ditempuh demi memangkas inflasi, kebijakan fiskal
perlu menyediakan bantalan bagi pengetatan moneter. BI dan pemerintah perlu
bekerja bersama secara integral meskipun dengan pendekatan yang berbeda. Di
sisi lain, kebijakan struktural juga perlu menjadi fokus pertimbangan guna
menjamin kelancaran rantai pasok. Antisipasi
gejolak Melonjaknya
kembali inflasi AS dapat berkonsekuensi pada naiknya bunga acuan Federal
Reserve (The Fed) yang makin agresif. Berbagai
sumber memprediksi pengetatan di kisaran 75 basis poin hingga 1 persen penuh.
Segala skenario patut diantisipasi. Risiko nilai tukar perlu dikelola dengan
melanjutkan pendekatan triple intervention secara konsisten, yang semasa awal
pandemi terbukti berhasil meredam gejolak nilai tukar dengan memberikan
confidence pasar dan menggiring permintaan dollar AS ke tenor yang lebih
panjang. Bauran
kebijakan makroekonomi pun seyogianya mampu menjaga kestabilan dan di saat
sama tetap mendukung pertumbuhan, di mana keduanya secara implisit mengandung
efek bertolak belakang. Kolaborasi
global Pendekatan
bauran kebijakan makroekonomi juga menjadi fokus dalam forum G20 jalur
keuangan. Gubernur BI, Menteri Keuangan Indonesia, dan juga Menteri Keuangan
AS serta Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) mengamini
pentingnya pendekatan holistik atas kebijakan makroekonomi guna menghadapi
tantangan ke depan. Solusi
kolektif dengan semangat kolaborasi pada skala global pun patut diupayakan
secara intens agar tercipta perekonomian dunia yang kondusif. Indonesia
memiliki kredibilitas struktur institusional makro yang kuat. Perjalanan
panjang transformasi ekonomi membentuk ketahanan institusional yang kokoh
setelah melewati krisis-krisis sebelumnya. Pengalaman
pandemi dengan karakteristik unik pun mematangkan kerangka bauran kebijakan
makroekonomi Indonesia. Bak ungkapan ”a smooth sea never made a skillful
sailor”, gejolak ekonomi membentuk kualitas para pengambil kebijakan. Kita
patut optimistis bahwa BI dan pemerintah mampu mengawal situasi yang tidak
mudah saat ini. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/26/bauran-kebijakan-mengelola-inflasi |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar