”Gunung
Es” Kurikulum Merdeka Waode
Nurmuhaemin: Doktor Manajemen Pendidikan |
KOMPAS, 28 Juli 2022
Tanggal 14
April 2012, kapal Titanic yang digadang-gadang sebagai kapal pesiar termewah
dan teraman saat itu menabrak gunung es dalam pelayaran perdananya dari
Inggris ke New York, Amerika Serikat. Dunia seketika heboh, kapal yang
diklaim sangat aman harus berakhir tragis dan menelan korban 1.500 orang dari
2.220 penumpang. Sampai saat ini, kisah Kapal Titanic menjadi legenda
yang terus dikisahkan oleh banyak orang. Gunung es, itulah penyebab kapal itu
tenggelam. Tak ada yang memprediksi bahwa kapal itu akan tenggelam oleh
sesuatu yang tidak kelihatan, namun sangat membahayakan. Fenomena gunung es
kemudian menjadi sesuatu yang didefinisikan sebagai hal berbahaya yang tidak
terlihat di permukaan, namun siap menjadi hal berbahaya dalam suatu
peristiwa. Seperti juga kapal Titanic yang diklaim sangat aman,
Kurikulum Merdeka juga diklaim akan mampu menambal learning loss. Kurikulum
Merdeka juga diklaim akan membawa perubahan terhadap pendidikan Indonesia
yang sudah 20 tahun tidak menunjukkan perubahan berarti berdasarkan ranking
tes PISA. Selama 20 tahun Indonesia mengikuti tes Programme for International
Student Assessment (PISA), hasilnya konsisten di peringkat 10 terbawah. Pada tahun ajaran baru ini, 143. 265 satuan
pendidikan dari PAUD hingga SMA dan sederajat menerapkan Kurikulum Merdeka.
Kurikulum ini muaranya adalah terciptanya Profil Pelajar Pancasila. Masih
banyak guru yang bingung sampai hari ini. Banyak yang belum paham apa dan
bagaimana Kurikulum Merdeka itu, terlebih dalam teknik pelaksanaannya. Aplikasi Merdeka Mengajar nyatanya tidak banyak
memberikan kontribusi pemahamanan dalam pelaksaannya. Metode download tidak
serta-merta menyelesaikan masalah. Kemudian, banyak sekolah yang bertanya
kepada sekolah penggerak yang diklaim berhasil menerapkan kurikulum ini
setahun sebelumnya. Penjelasan guru di sekolah penggerak pun
bermacam-macam dan menimbulkan kebingungan. Ada guru yang memahami, dari 30
proyek pembelajaran dalam Kurikulum Merdeka, tidak semua harus dilaksanakan. Di sini terlihat jelas kebingungan guru yang belum
bisa membedakan dimensi Profil Pelajar Pancasila yang merupakan muara
Kurikulum Merdeka yang enam dimensi itu dan proyek 30 persen penguatan Profil
Pelajar Pancasila yang harus dilaksanakan oleh satuan pendidikan dengan
berdasarkan tujuh tema yang telah ditentukan pemerintah. Ini fenomena gunung
es yang pertama. Kompetensi guru Fenomena gunung es yang kedua adalah sebelum
pelajaran dimulai pada Kurikulum Merdeka ada tes asesmen diagnostik. Inti
dari Kurikulum Merdeka adalah bahwa siswa tidak lagi menjadi sekadar obyek.
Siswa harus diberi keleluasaan dalam belajar. Guru harus mengetahui level
kemampuan tiap siswa. Setiap siswa punya kemampuan dan kebiasaan belajar yang
berbeda. Di sinilah kompetensi guru diuji. Apa mampu guru
mengajar tiap siswa yang berbeda-beda kemampuan dengan metode dan cara yang
juga berbeda-beda? Pembelajaran berdiferensiasi istilahnya dalam Kurikulum
Merdeka, bahwa guru bisa mengajar dengan segala level kemampuan siswa.
Bagaimana kompetensi guru Indonesia? Jangan lupa, pada tes uji kompetensi guru yang
terakhir dilaksanakan di tahun 2015, nilai rata-rata guru Indonesia 53,02
dari nilai standar pemerintah 55. Saya belum mendapatkan data ada tes UKG
nasional sejak tahun 2015. Mengapa pemerintah begitu cuek terhadap kompetensi
guru dan tidak seriuh perhatian pemerintah terhadap perubahan kurikulum? Model Kurikulum Merdeka juga masih mirip K13
(Kurikulum 2013), hanya istilahnya yang diubah-ubah. Pada K13 juga ada
proyek, hanya belum semua guru mampu menerapkan. Bukan karena kurikulum itu
susah, namun belum mendapatkan pelatihan. Bahkan, K13 juga dirancang untuk
memenuhi tuntutan pembelajaran abad ke-21. Guru adalah eksekutor kebijakan pemerintah di
lapangan. Mau buat kurikulum apa pun, kalau kompetensi guru masih jalan di
tempat, itu adalah hal mubazir nan sia-sia. Perubahan kurikulum harus
diiringi dengan perubahan mindset guru. Apakah pihak Kemendikbudristek sudah mengadakan
survei sikap guru terhadap Kurikulum Merdeka? Tidak usah berpatokan kepada
sekolah penggerak yang katanya sudah berhasil menerapkan Kurikulum Merdeka.
Buktinya seperti apa juga tidak dipaparkan atau di-launching atau di-publish
biar semua bisa berkiblat ke sekolah-sekolah itu terhadap Kurikulum Merdeka.
Seharusnya pihak Kemendikbudristek merilis nama-nama sekolah penggerak yang
sudah berhasil menerapkan Kurikulum Merdeka beserta bukti bahwa siswa-siswa
di sekolah-sekolah tersebut lebih baik pencapainya dalam hal sains,
matematika, dan juga literasi. Pembelajaran terdiferensiasi Pembelajaran berdiferensiasi adalah inti dari
Kurikulum Merdeka. Jika pembelajaran berdiferensiasi tidak tercapai, apa yang
diharapkan dari Kurikulum Merdeka? Apa bedanya dengan K13? Apakah bisa
terlaksana di kelas yang siswanya 40 orang? Perlu energi dan kemampuan yang
tinggi bagi guru untuk bisa melaksanakannya. Negara-negara maju, seperti Singapura, sangat
memperhatiakan kompetensi guru. Bahkan, Kementerian Pendidikan Singapura pada
tahun 2016-2019 melaksanakan satu kegiatan atau proyek yang diinisiasi
Kementerian Pendidikan berjudul ”Exploring the Desingning of a Growth Midset
Curriculum in a Singaporesan School”. Proyek ini bertujuan untuk melihat
bagaimana kurikulum yang berbasiskan growth mindset diterapkan di sekolah
Singapura. Hal itu sejalan dengan saran-saran OEDC pada tes
2018. OECD sebagai penyelenggara tes PISA selama bertahun-tahun melihat satu
fenomena, yaitu bahwa negara-negara yang peringkatnya rendah diduduki oleh
negara-negara itu-itu saja dan semikian juga negara-negara yang peringkatnya
tinggi. OECD kemudian berhipotesis bahwa siswa–siswa di negara yang
peringkatnya tinggi memiliki growth mindset dan para siswa di negara-negara
yang peringkatnya selalu rendah memiliki fix mindset. OECD kemudian menyelipkan satu suplemen pertanyaan
yang juga menyasar kemampuan guru dengan memberikan pertanyaan-pertayaan yang
berkaitan dengan kompetensi guru mengajar berdasarkan penilaian siswa.
Hasilnya adalah guru-guru Indonesia masih memiliki kemampuan mengajar yang
belum maksimal. Mengapa Kemendikbudristek tidak kemudian memperhatikan
saran-saran OECD untuk memperhatikan kompetensi guru? Kurikulum Merdeka memang secara teori dipaksakan
untuk terlihat sederhana. Di mana sederhananya? Guru yang tadinya hanya buat
RPP harus membuat modul, modul proyek, pelaksanaan proyek, dan lain-lain.
Rapor juga menjadi rapor reguler dan rapor proyek. Guru-guru saat ini lebih
banyak mengurus administrasi perangkat mengajar ketimbang saat melaksanakan
K13. Jadi, merdekanya di mana? Saya justru melihat mindset para guru belum berubah.
Belum memahami apa dan bagaimana Kurikulum Merdeka. Mereka belum bisa
mendapatkan roh Kurikulum Merdeka. Model copy paste masih terbawa-bawa. Hanya
meng-copy modul-modul yang beredar dan disamakan dengan pelajaran
masing-masing. Tentu saja ini terjadi akibat kurikulum itu
dipaksakan untuk dipahami sendiri oleh guru dari platform dan minimnya
pelatihan serta sosialisasi. Kalau mau kurikulum ini berhasil, mindset guru
dulu yang diubah untuk melebur dalam roh Kurikulum Merdeka. Sudah seharusnya dan selayaknya pemerintah
memfokuskan perubahan pendidikan Indonesia di faktor-faktor kunci yang bisa
menjawab mengapa pendidikan kita masih saja semrawut. Pertama yang perlu
dilihat adalah pola rekrutmen guru. Sudahkah yang jadi guru adalah mereka
yang betul-betul memiliki passion guru atau sekadar memburu sertifikasi?
Apakah guru-guru kita memiliki growth mindset untuk selalu berkembang? Saya
banyak melihat guru-guru bahkan tidak memiliki minat baca. Padahal, mereka
adalah role model literasi di sekolah. Bagimana lembaga pendidikan tenaga kependidikan
(LPTK) penyelenggara pendidikan guru? Finlandia, Singapura, bahkan Malaysia
sangat ketat menyelenggarakan pendidikan guru. Tidak semua kampus bisa
membuka sekolah guru dan tidak semua orang bisa jadi guru. Yang kedua yang perlu diperhatikan adalah
infrastruktur sekolah. Masih ada ratusan ruang kelas yang rusak, bagaimana
bisa menerapkan Kurikulum Merdeka di tengah-tengah paceklik fasiltas. Ini
patut dipertanyakan. Yang ketiga, sekali lagi tata kelola guru.
Penempatan guru di Indonesia masih sangat jomplang. Satu sekolah bahkan ada
yang hanya punya satu-dua guru PNS. Sementara sekolah–sekolah lain yang bagus
dan terletak di kota-kota besar memiliki guru berlebih. Bahkan di
daerah-daerah 3T hanya ada guru-guru honorer yang digaji Rp 400.000 sebulan
sebagai napas penggerak di sekolah. Euforia Kurikulum Merdeka sesungguhnya tidak akan
lama kalau di lapangan banyak masalah yang belum terpecahkan dengan hal-hal
krusial yang menghantui pendidikan Indonesia selama ini. Sesungguhnya,
kompetensi guru, tata kelola guru, kelas-kelas rusak adalah gunung es yang
akan menenggelamkan Kurikulum Merdeka.. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/26/gunung-es-kurikulum-merdeka |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar