Mewujudkan
Angkatan Udara yang Disegani Fadjar
Prasetyo: Kepala Staf TNI Angkatan Udara |
KOMPAS, 29 Juli 2022
Hari ini, 29
Juli, segenap prajurit dan PNS di satuan jajaran TNI AU seluruh Indonesia
kembali memperingati sebuah momen penting. Ada dua peristiwa yang secara
historis menjadi bukti peran dan bakti TNI AU dalam ikut mempertahankan
kemerdekaan RI dari cengkeraman penjajah Belanda. Peristiwa pertama pada pagi hari, berupa operasi
udara, yaitu serangan balas AURI terhadap markas Belanda di kota Semarang,
Salatiga, dan Ambarawa, Jawa Tengah. Peristiwa kedua pada sore hari, yaitu
gugurnya tiga tokoh AURI karena pesawat VT-CLA ditembak Belanda dan jatuh di
Ngoto, Bantul, Yogyakarta. Peristiwa 75 tahun silam itu kini setiap tahun
diperingati sebagai Hari Bakti TNI AU. Serangan berupa pengeboman dari udara oleh para
kadet muda pemberani yang dilancarkan pada 29 Juli 1947 dini hari bukan tanpa
alasan. Serangan balas dilakukan karena Belanda telah mengangkangi Perjanjian
Linggarjati, November 1946, dengan melakukan agresi militer secara sepihak.
Padahal, sesuai perjanjian yang dilaksanakan di Linggarjati, Cirebon, Jawa
Barat, itu kedua pihak sepakat untuk melakukan gencatan senjata. Serangan balas dilaksanakan oleh tiga kadet, yakni
Mulyono, Sutarjo Sigit, dan Suharnoko Harbani, bersama tiga air gunner,
Sutarjo, Kaput, dan Dulrahman. Atas instruksi Kepala Staf AU waktu itu,
Komodor Udara Rd Suryadi Suryadarma, ketiga kadet pemberani melakukan
serangan udara dengan satu pesawat Guntai dan dua Chureng. Setelah rencana operasi disusun Komodor Muda Udara
Halim Perdanakusuma, dan pesawat disiapkan para teknisi pimpinan Basyir
Surya, operasi udara dilaksanakan. Dari pangkalan udara Maguwo, Yogyakarta,
tiga pesawat lepas landas menuju sasaran markas Belanda di Semarang,
Salatiga, dan Ambarawa. Meski para kadet belum memiliki pengalaman terbang
operasional, tetapi dengan perhitungan cermat, matang, dan keberanian serta
keikhlasan berkorban mempertahankan kemerdekaan Indonesia, elang- elang muda
TNI AU mampu menjalankan misi dengan sempurna. Mereka berhasil menghancurkan
markas Belanda, dan kembali mendarat di Maguwo dengan selamat. Heroisme ini sungguh mengagumkan karena telah
berdampak besar. Tak hanya menghancurkan kubu-kubu pertahanan Belanda, tetapi
secara psikologis juga menurunkan mental dan semangat tempur pasukan Belanda.
Sebaliknya, bagi para pejuang Indonesia, serangan udara itu mampu
meningkatkan tekad, semangat juang, dan memperkuat keyakinan terhadap
kekuatan serta kemampuan bangsa Indonesia. Bahkan, secara politis, telah melemahkan posisi
Belanda di forum internasional. Fakta tersebut juga makin memperkuat posisi
Indonesia, yang ditunjukkan dengan tingginya dukungan politik terhadap
perjuangan Indonesia di PBB. Kebanggaan memang tak berlangsung lama. Karena pada
sore harinya keluarga besar AURI dan seluruh bangsa Indonesia diliputi
kesedihan mendalam. Tiga pelopor AURI, yaitu Komodor Muda Udara Adisutjipto,
Komodor Muda Udara Prof Dr Abdulrachman Saleh, dan Opsir Muda Udara I Adi
Soemarmo Wirjokusumo, gugur. Ketiga tokoh AURI ini gugur saat menjalankan misi
kemanusiaan membawa obat-obatan bantuan dari Palang Merah Malaya untuk
Indonesia. Pesawat Dakota VT-CLA (tanpa dipersenjatai) yang mereka tumpangi
dari Singapura, sesaat akan mendarat di Maguwo, ditembak dua pesawat Kitty
Hawk Belanda, dan jatuh di daerah Ngoto, Bantul. Ketiga tokoh gugur sebagai
pejuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sarat makna Menyimak dua peristiwa bersejarah di atas, dikaitkan
dengan konteks sekarang, khususnya dengan pembangunan TNI AU, ada sejumlah
nilai yang perlu digarisbawahi. Meski peristiwanya sudah berlangsung 75 tahun silam,
kejadian 29 Juli 1947 telah memberi banyak pelajaran dan nilai-nilai sejarah
sarat makna. Betapa kita sebagai generasi penerus telah dicontohkan para
pendahulu dan pelopor TNI AU, bahwa tantangan seberat apa pun akan dapat
diatasi. Maknanya, seterjal apa pun medan yang menghadang, akan selalu ada
jalan jika dihadapi dengan tekad kuat, perhitungan cermat dan tepat, berani,
dan ikhlas berkorban. Seperti yang dicontohkan oleh ketiga kadet dan air
gunner. Meskipun dihadapkan pada berbagai keterbatasan alutsista,
persenjataan, dan pengalaman, mereka mampu melaksanakan misi yang tak ringan.
Demikian juga ketiga tokoh AURI—Adisutjipto, Abdulrachman Saleh, dan Adi
Soemarmo—demi tugas negara, demi kemanusiaan, mereka berani menembus blokade
udara Belanda, mereka tulus ikhlas berjuang, meski risikonya adalah maut. Maknanya,
seterjal apa pun medan yang menghadang, akan selalu ada jalan jika dihadapi
dengan tekad kuat, perhitungan cermat dan tepat, berani, dan ikhlas
berkorban. Sikap kesatria, pantang menyerah, berani, rela
berkoban, dan ikhlas berjuang menjadi kunci keberhasilan sebuah misi. Pada
akhirnya, kita perlu mencontoh sikap yang telah ditunjukkan para pendahulu
AURI. Sebagai generasi penerus, para prajurit TNI AU saat ini, selain wajib
meneladani, yang jauh tidak kalah penting adalah mampu mengaplikasikannya
dalam setiap pelaksanaan tugas. Sikap itu sangat penting dan dibutuhkan, ketika saat
ini TNI AU masih dihadapkan pada keterbatasan dan berbagai tantangan tugas
yang tak ringan. Organisasi adaptif Saat ini, TNI AU sedang dan terus melakukan
peningkatan kualitas, baik pada aspek SDM, alutsista, maupun organisasi. Pada aspek SDM, TNI AU sedang meningkatkan kualitas
prajuritnya melalui berbagai pendidikan dan pelatihan, di dalam maupun di
luar negeri. Pada sektor teknologi dan alutsista, TNI AU secara bertahap
terus melakukan akuisisi teknologi dengan pendekatan berbasis kemampuan, melalui
akuisisi sejumlah sistem persenjataan yang lebih modern dan berorientasi pada
sistem. Inovasi-inovasi ini diharapkan dapat
mentransformasikan kesiapan operasional TNI AU sebagai instrumen strategis
negara dalam menjaga dan mengamankan kepentingan nasional. Demikian juga di
sisi organisasi, TNI AU terus mengembangkan struktur organisasi yang lebih
adaptif, efektif, dan efisien. Upaya-upaya ini relevan dengan pembangunan postur
TNI AU ke depan. Dalam kerangka ini, merancang organisasi yang adaptif dan modern
perlu kehadiran prajurit-prajurit yang memiliki sikap yang terkandung dalam
peristiwa 29 Juli 1947. Sikap kesatria, pantang menyerah, berani, rela
berkoban, dan ikhlas berjuang menjadi modal penting sehingga upaya-upaya
bersama dalam membangun dan mewujudkan TNI AU yang disegani di kawasan dapat
terwujud. Disegani berarti dari aspek SDM, teknologi, dan organisasi sejajar
dengan AU negara-negara di kawasan. Ancaman dan tantangan tak selalu berbentuk kekuatan
militer, tetapi bisa nonmiliter. Oleh karena itu, kita masih harus terus
mempersiapkan diri untuk menghadapi berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Selamat memperingati Hari Bakti TNI AU segenap
prajurit Swa Bhuwana Paksa. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/28/mewujudkan-angkatan-udara-yang-disegani |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar