Sukarno-Natsir,
Parkindo-Masyumi-Soekiman: Hari-hari indah Persatuan Nasional Lukman
Hakiem : Penulis Soal Sejarah Tokoh Islam dan
Mantan Anggota DPR RI |
REPUBLIKA, 27 Juli 2022
Setelah diinterupsi oleh
stroke yang menyebabkan saya harus beristirahat total selama tiga bulan,
alhamdulillah buku ini selesai ditulis dan sekarang sudah dihadapkan pada
pembaca yang Budiman. Ketika tangan kiri tidak
bisa digerakkan, saya sudah pesimis apakah penulisan buku ini dapat
diselesaikan. Untuk hal ini saya harus menyebut sebuah nama, kawan karib :
Dr. Ir. Sabar Sitanggang. Suatu senja, Bung Sitanggang menelepon saya,
bertanya kabar dan perkembangan Kesehatan saya, “Alhamdulillah”, jawab saya.
“Berangsur pulih hanya tangan kiri belum bisa digerakkan. Padahal saya masih
punya PR menyelesaikan Biografi Dr. Soekiman Wirjosandjojo”, ujar saya
pesimis. Dengan semangat seperi
biasanya, Bung Sitanggang menyemangati dan membesarkan hati saya. “Abang” demikian
Bung Sitanggang menyapa saya. “Jangan berkecil hati. Abang masih ingat senior
kita Dr. Kuntowijoyo? Beliau sakit hingga tidak menggerakkan seluruh
tubuhnya. Tapi, dalam ketidakberdayaannya pak Kuntowijoyo makin produktif,
tulisan-tulisannya makin jernih dan bermutu. Saya do’akan abang bisa
mengikuti jejak Dr. Kuntowijoyo. Nasihat Bung Sitanggang sungguh-sungguh
membangkitkan semangat saya. Segera saya kumpulkan
buku-buku yang beberapa saya tulis, lalu saya minta anak-anak saya untuk
membaca bahan-bahan itu dan mengetik. Tidak Cuma anak, cucu sekaligus asisten
kecil saya, Alizha Wardatunnisa Hakiem (13 tahun) kebagian tugas. Cucu
pertama yang secara otodidak relatif bisa berbahasa Inggris lisan dan
tulisan, saya minta menerjemahkan penggalan pendapat Dr. Abu Hanifah.
Hasilnya dapat dibaca ditulisan pertama buku ini pada bagian kedua : Seranai
Apresiasi. Mohon do’a agar Alizha
yang pada 22 Juli 2022 mulai memasuki jenjang Pendidikan Sekolah Menengah
Pertama di Pondok Pesantren Darul Ulum Lido mendapat ridho, bimbingan dan
perlindungan Allah SWT dalam meraih cita-citanya. Mengapa Soekiman? Soekiman adalah fenomena.
Mersipun tidak mengkategorikan aktivis Partai Syarikat Islam sebagai santri,
tetapi peserta Kongres Ummat Islam Indonesia pada awal November 1945 dengan
bersemangat menaruh Soekiman dengan mendudukkannya di kursi Ketua Umum
Pengurus Besar Masyumi. Partai yang mewarisi perjuangan ummat Islam
Indonesia. Soekiman yang
dikategorikan sebagai priyayi ternyata sukses memimpin Masyumi. Dibawah kepemimpinannya,
Masyumi bukan saja bertambah besar secara kuantitatif, tetapi juga disegani
lawan dan dihormati lawan lantaran sikap politiknya yang tegas menolak
berunding dengan Belanda dalam hal dasar pengakuan Kedaulatan RI. Soekiman yang priyayi
tetapi sangat prokepentingan nasional ini yang pada saatnya kelak mendapat
dukungan dari hampir seluruh tokoh politik di tanah air, kecuali PKI dan
golongan kiri untuk menjadi Perdana Menteri NKRI (berdaulat). Soekiman menjadi Perdana
Menteri NKRI tidak hanya didukung oleh Masyumi, tetapi juga oleh PNI yang
dengan menjadikan Ketua Umumnya, Mr. Soewirjo untuk menjadi Wakil Perdana
Menteri mendampingi Perdana Menteri Soekiman. Selain itu, Soekiman
didukung oleh Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik dan Fraksi
Demokrat. Ini jelas fenomena politik
yang sangat menarik. Seorang pemimpin Partai Islam ideologis didukung oleh
hampir semua kekuatan politik di Indonesia. Yang lebih menarik,
Soekiman mampu mempertahankan dukungan dengan keutuhan kabinetnya hingga
akhir masa jabatan. Kemampuan Soekiman menjaga keutuhan pemerintahannya
menjadi penting, karena kelak Soekiman mampu menjadikan soliditas itu sebagai
modal untuk menyatukan sikap politik yang apa adanya. Ketika pecah pergolakan
daerah, Soekiman mampu menyatukan pendapat para pemimpin Partai Politik bahwa
“PRRI inkonstitusional, pembentukan Kabinet Djuanda oleh Dr. Ir. Soekarno
juga inkonstitusional.” Hanya mereka yang telah
selesai dengan dirinya mampu berkata jujur didepan penguasa yang sedang sedang
sangat kuat. Tokoh yang sudah selesai
dengan dirinya yang dengan tegar menolak penunjukkan dirinya menjadi Anggota
DPR Gotong Royong atas dasar solidaritas yang perwira. Bagaimana Dengan Natsir? Membicarakan Soekiman,
tentu tidak lengkap jika tidak menyinggung M. Natsir, Ketua Umum Masyumi
sesudah Soekiman. Jika Soekiman surplus dukungan dari berbagai kekuatan
politik, Natsir justru surplus dukungan dari kekuatan politik utama Tanah
Air, yaitu Presiden Soekarno. Ketika ditunjuk oleh
Presiden Soekarno untuk menjadi formatur kabinet, Natsir berpendapat jika
ingin kuat, kabinetnya harus didukung oleh Masyumi dan PNI. Saat Natsir sulit
mendapat dukungan PNI, dia menganggap tugasnya sudah gagal. Karena itu dia
menghadap Presiden Soekarno untuk mengembalikan mandat. Dua kali Natsir menghadap
Presiden, dua kali pula Presiden menolak pengembalian mandate : “terus saja,”
kata Bung Karno. “Tanpa PNI?” tanya Natsir. “Ya, tanpa PNI,” jawab Presiden
tegas. Itulah untuk pertama kalinya Bung Karno meninggalkan PNI yang
didirikannya pada 1927. Kepada juru bicara
Masyumi, Anwar Harjono, Natsir mengeluh : “apa dosa saya kepada PNI, hingga
mereka tidak mau mendukung saya?” Keluhan yang wajar, karena
dibujuk dan diyakinkan oleh Presiden Soekarnopun, PNI dan partai-partai lain
tetap tidak mau mendukung Natsir. Keluhan Natsir adalah misteri sejarah yang
suatu saat harus dikenang untuk diambil pelajaran darinya. Terbitnya buku ini
melengkapi dua karya saya sebelumnya tentang M. Natsir dan Prawoto
Mangkusasmito. Dengan buku ini, tuntaslah
“tugas” saya menulis dan menyunting biografi tiga Ketua Umum Masyumi – Partai
Poiltik yang hanya berusia 15 tahun, yang keharumannya melampaui usianya. Insya Allah buku ini
bermanfaat untuk menjadi modal mewujudkan sila “Persatuan Indonesia.” ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar