Hoaks dan Konspirasi
dalam Fenomena Penghakiman Publiks
Vici Sofianna Putera : Dosen Fakultas Psikologi Universitas Islam
Bandung
SINDONEWS, 26
Juli
2022
TANPA
basa-basi, tujuan tulisan saya ini adalah untuk membahas kasus penembakan di
Duren Tiga dari perspektif psikologi sosial. Ramai narasi di media sosial
mengenai alternatif narasi kejadian penembakan yang dianggap lebih logis
dibandingkan dengan kronologis yang diberikan oleh kepolisian secara resmi. Ada yang
mengatakan, penembakan terjadi karena motif perselingkuhan ataupun motif
Brigadir J adalah orang yang memegang rahasia penting Irjen Ferdy Sambo
sehingga perlu disingkirkan oleh Irjen Ferdy Sambo. Hold your opinion, ini bisa
persekusi! Jangan terjebak perangkap ilusi kebenaran. Kenapa
persekusi? Karena narasi-narasi alternatif yang muncul di luar versi
kepolisian juga belum berdasarkan fakta ilmiah, ini baru opini tanpa data.
Pengacara keluarga Brigadir J menyatakan kejanggalan mengenai luka di tubuh
Brigadir J juga masih merupakan dugaan, bisa jadi benar, bisa jadi juga
salah. Namun
pernyataan pengacara tersebut bisa mendorong publik untuk berspekulasi karena
narasi yang bernuansa konspiratif lebih membuat orang tertarik dengan narasi
tersebut. Individu tertarik pada narasi konspirasi karena kebutuhan akan
pengetahuan dan kepastian dari suatu informasi, terlebih ketika peristiwa
besar terjadi, individu tentu ingin tahu mengapa hal tersebut itu terjadi. Mereka ingin penjelasan
dan mereka ingin tahu yang sebenarnya, tetapi mereka juga ingin merasa yakin
akan “kebenaran” itu (Douglas, 2017). Gencarnya pemberitaan dari media dan
juga narasi konspirasi dari akun-akun di media sosial dari kasus penembakan
di Duren Tiga menggiring opini Anda secara tidak langsung dan bertransformasi
menjadi sebuah aksi kolektif berupa penghakiman publik kepada keluarga Irjen
Sambo. Namanya
penghakiman pasti ada judgement, di sini menurut saya adalah letak
permasalahannya. Saya akan mencoba membedah fenomena ini dari perspektif
psikologi sosial. Paradigma
kognitif yang dapat mendorong collective action adalah beliefs in fake news
dan conspiratorial thinking (Mashuri et al, 2021). Fake news atau berita
palsu adalah informasi yang dibuat-buat, melanggar standar norma editorial
dan meniru konten media berita sedemikian rupa sehingga berita palsu tampak
tidak dapat dibedakan dari berita nyata (Lazer et al., 2018 ; Tandoc et al.,
2018). Berita palsu
terkait erat dengan era post-thruth yang didorong oleh masifnya penggunaan
media sosial saat ini. Berita palsu dianggap merusak legitimasi pengambilan
keputusan berbasis bukti pada berbagai isu sosial yang penting (Roozenbeek
& Van Der Linden, 2019). Politik
post-truth adalah sebuah label yang ditandakan dengan fenomena umum bahwa
opini masyarakat tentang isu-isu sosial lebih banyak dibentuk oleh berita
palsu, termasuk hoax dan rumor, dibandingkan dengan bukti dan data yang
reliabel (Glăveanu, 2017). Terdapat
contoh dalam beberapa tahun terakhir yang menunjukkan bagaimana berita palsu
dapat dengan mudah memprovokasi aksi atau protes kolektif yang penuh
kekerasan. Misalnya, di Jerman, berita palsu yang dibagikan di media sosial
diakui sebagai faktor pemicu 'kerusuhan Chemnitz': yang melibatkan demonstrasi
besar-besaran oleh kelompok sayap kanan, termasuk pendukung Neo-Nazi, yang
menyerukan pemberantasan imigran Muslim (Dikov, 2018). Di India,
berita palsu penculikan anak dan pengambilan organ yang disebarkan melalui
pesan WhatsApp telah memicu hukuman mati tanpa pengadilan, yang mengakibatkan
tujuh orang terbunuh (Phartiyal et al., 2018). Contoh lain baru-baru ini dari
Indonesia terjadi ketika berita palsu tentang komentar rasis seorang guru
sekolah menengah tentang seorang siswa memicu kerusuhan di Wamena, Papua
Barat, Indonesia, yang mengakibatkan kematian setidaknya dua puluh tujuh
orang. Seperti yang
dikatakan oleh Rocky Gerung di media massa, publik harus bisa memisahkan apa
yang faktual dan hal yang sensasional. Tantangannya adalah individu dalam memisahkan
kedua hal tersebut dibutuhkan kemampuan berpikir jernih dan kritis, sayangnya
individu sebagai manusia cenderung berpikir menggunakan cara yang heuristic
atau simplistic, sehingga wajar jika narasi konspirasi yang berkembang bisa
ditelan mentah-mentah dan dianggap sebuah kebenaran bagi mereka. Mengapa
penting untuk saya menulis ini? Karena bukan hanya publik secara umum yang
terpengaruh dengan berita bohong ataupun pemikiran konspiratif yang sangat
renyah, tapi para penyidik dan timsus di lapangan bisa menjadi tidak objektif
dalam menangani kasus ini. Khawatir terpapar informasi di media sosial,
penyidik dan timsus bisa menjadi bias dalam bekerja dan mengambil keputusan
semata untuk memuaskan keinginan publik. Jangan sampai
kasus ini menjadi sebuah paradoks bagi penegakan hukum di Indonesia. Biarkan
para penyidik dan timsus bekerja karena timsus ini terdiri dari pihak
eksternal yang kredibel seperti Komnas HAM. Tulisan saya
ini adalah cuplikan dari sebuah fenomena yang dibedah dengan dasar penelitian
sebelumnya dan teori yang kutip dalam tulisan ini. Tentu akan ada perspektif
lain yang bisa menjadi penjelasan fenomena yang saat ini sedang booming.
Namun pesan saya, kita sebagai publik baiknya menunggu dan jangan dulu
berasumsi, biarkan timsus bekerja secara objektif dan maksimal. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar