Papua
dalam Pusaran Pemekaran M
Addi Fauzani: Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi Universitas Islam
Inodnesia (PSHK UII) |
KOMPAS, 26 Juli 2022
Indonesia
secara formal yuridis, sejak 30 Juni 2022, memiliki 37 provinsi, bukan lagi
34 provinsi. Ini merupakan implikasi dari pengesahan tiga Rancangan
Undang-Undang tentang Pemekaran Papua. Tiga Daerah Otonomi Baru (DOB) yang
dimekarkan dari Provinsi Papua, yakni Provinsi Papua Selatan (empat
kebupaten), Provinsi Papua Tengah (delapan kabupaten), dan Provinsi Papua
Pegunungan (delapan kabupaten). Secara historis, Provinsi Papua telah beberapa kali
masuk dalam pusaran praktik pemekaran. Awal mula pemekaran dalam bentuk
afdeling (distrik) yang dilakukan oleh pemerintahan kolonial Belanda pada
1961. Pada waktu itu, Papua telah dibagi ke dalam Onderafdeling Bergland,
Afdeling Holandia, Afdeling Gelvinkbaai, Afdeling Centraal Nieuw Guinea,
Afdeling Zuid Nieuw Guinia, Afdeling Fakfak, dan Afdeling West Nieuw Gunia. Setelah penentuan pendapat rakyat pada 1969, dibentuk
satu provinsi dengan nama Provinsi Otonom Irian Barat. Pada 1999, dilakukan
pemekaran dengan membentuk Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat.
Akhirnya, aturan tersebut pada 2004 dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Pada 2008, rekognisi terhadap Provinsi Papua dan Papua Barat dilegalkan.
Kini, Papua memiliki lima provinsi, meliputi Papua, Papua Barat, Papua
Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan. Mekanisme pemekaran daerah Undang-Undang Pemerintahan Daerah mengatur secara
ketat ketentuan mengenai pemekaran suatu daerah. Walaupun banyak usulan dari
berbagai daerah untuk membentuk pemekaran daerah otonomi baru, pembentukannya
hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi syarat administratif, teknis,
dan fisik kewilayahan. Bagi provinsi, syarat administrasi yang wajib
dipenuhi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan bupati/wali kota
yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi bersangkutan, persetujuan DPRD
provinsi induk dan gubernur, serta rekomendasi dari menteri dalam negeri. Adapun syarat teknis adalah harus mempertimbangkan
(a) kemampuan ekonomi; (b) potensi daerah; (c) sosial budaya; (d)
kependudukan; (e) luas daerah; (f) pertahanan; (g) keamanan; dan (h) faktor
lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Terakhir, syarat
fisik kewilayahan, yakni harus meliputi paling sedikit lima kabupaten/kota
untuk pembentukan provini, lokasi calon ibu kota, serta sarana dan prasarana
pemerintahan. Adapun di UU Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua,
sebelum 2021, aturan mengenai pemekaran Provinsi Papua hanya dapat dilakukan
dengan mekanisme bottom up, yakni pemekaran hanya dapat dilakukan atas
persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Rakyat Papua (DPRP) setelah
memperhatikan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, kemampuan ekonomi,
dan perkembangan pada masa yang akan datang. Hal ini merupakan praktik
desentralisasi asimetris guna mengakui dan menghormati entitas rakyat Papua. Namun, pada 2021, secara yuridis melalui perubahan
UU Nomor 22 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua UU tentang Otonomi Khusus
Papua, pemekaran Provinsi Papua tidak hanya mengakomodir konsep bottom up,
tetapi juga top down. Konsep top down adalah inisiatif murni yang datang dari
pemerintah dan DPR. Berdasarkan ketentuan pemekaran daerah sebelumnya,
muncul beberap pertanyaan mendasar yang harus dijawab oleh pembentuk UU.
Pertama, melihat di satu sisi syarat dan mekanisme dalam pemekaran daerah
yang begitu rumit, tetapi di sisi lain proses pembentukan tiga RUU ini hanya
memakan waktu sembilan hari. Maka, apakah sejatinya pembentuk UU telah
menempuh semua mekanisme tersebut? Kedua, UU Pemerintahan Daerah mensyaratkan suatu
provinsi dapat dibentuk apabila memiliki paling sedikit lima kabupaten/kota,
sedangkan Provinsi Papua Selatan hanya memiliki empat kabupaten/kota. Apakah
syarat dalam UU Pemerintahan Daerah tidak berlaku bagi Otonomi Khusus
Provinsi Papua? Ketiga, perubahan mekanisme pemekaran daerah baru
diubah oleh pemerintah pusat pada 2021 sehingga mengakomodir mekanisme top
down, yakni tidak mempersyaratkan persetujuan MPRP dan DPRP, hanya cukup
inisiatif dari pemerintah pusat. Pada 2022, mekanisme tersebut langsung
diimplementasikan dan diujicobakan pada tiga provinsi baru di Papua. Apakah
pemekaran tiga Provinsi Papua memang kebutuhan rakyat Papua atau kepentingan
pemerintah pusat? Titik temu Beberapa kali produk undang-undang dinilai tidak
partisipatif, bahkan terakhir UU Cipta Kerja dinilai inkonstitusional
bersyarat oleh MK karena hal serupa. Sebagai UU yang vital dan sensitif, tiga
UU tentang Pemekaran Provinsi Papua sejatinya harus dibentuk dengan
menekankan aspek kultural kolegial, desentralisasi asimetris, dan bertujuan
untuk akselerasi pembangunan. Pertama, dalam aspek kultural kolegial, pembentukan
ini harus berkomunikasi dan melibatkan orang asli Papua (OAP), baik yang
terlembagakan secara resmi melalui MRP dan DPRP maupun yang tidak
terlembagakan secara resmi, seperti persatuan-persatuan hukum adat di Papua. Dalam pembentukannya, tiga UU tentang pemekaran
Provinsi Papua harus memenuhi prinsip meaningful participation, yakni
konsultasi publik secara partisipatif dan memperhatikan hak masyarakat,
khususnya rakyat Papua, untuk: didengarkan; dipertimbangkan; dan mendapatkan
penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan. Kedua, disebabkan karena pemekaran daerah dilakukan
di entitas daerah yang memiliki otonomi khusus, aspek desentralisasi
asimetris juga harus diperhatikan. Konsep ini didasarkan kepada kebutuhan
akan kerangka administrasi yang andal dalam mengelola keragaman di Provinsi
Papua. Secara filosofis, hal tersebut menunjukkan pengakuan dan penghormatan
bangsa Indonesia atas keragaman dan adanya kesadaran bahwa keragaman di
Provinsi Papua tersebut dipandang sebagai suatu ”energi sosial”. Ketiga, pembentukan tiga UU tentang pemekaran
Provinsi Papua harus benar-benar ditujukan untuk mengakselerasi pembangunan
daerah, khususnya rakyat Papua. Jangan sampai justru menjadi daerah otonom
yang gagal dikarenakan tidak ada masa persiapan bagi daerah untuk mandiri
secara finansial ataupun secara pemerintahan. Perlu dukungan pemerintah pusat, baik moril maupun
materil. Terlebih, Provinsi Papua telah beberapa kali terjebak dalam pusaran
pemekaran. Dengan demikian, dalam pembentukan UU Pemekaran Provinsi Papua,
diharapkan tidak memiliki napas trial and error, tetapi memang hasil dari
desain yang matang. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/23/papua-dalam-pusaran-pemekaran |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar