Citayam,
Bukan Sekadar "Fashion" Jalanan Sonny
Eli Zaluchu: Mahasiswa program doktoral sosiologi agama Universitas
Kristen Satya Wacana Salatiga |
KOMPAS, 29 Juli 2022
Fenomena
sosial perkotaan "Citayam Fashion Week" (CFW) di kawasan Sudirman,
Jakarta, adalah kejadian unik, yang menarik untuk dicermati. Fenomena ini
sekaligus juga gugatan terhadap masalah sosial yang selama ini ada di
masyarakat. Sepintas, CFW dapat dilihat dari dua hal. Pertama,
ide menyelenggarakan CFW tersebut digagas dan digulirkan oleh anak-anak muda
yang notabene berasal dari daerah pinggir penyangga Jakarta seperti Depok,
Bojong Gede, Bogor dan Citayam sendiri. Kedua, aktivitas yang ditampilkan para anak muda ini
dianggap nyeleneh, unik. Bahkan, sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS)
Surakarta Dr Drajat Tri Kartono, menyebutnya sebagai “subversif” (Kompas.com
18/7/2022), tentunya dalam konteks non-agresif. Semakin menyita perhatian ketika ajang kumpul-kumpul
ini kemudian dimasuki oleh para pesohor politik, artis dan penggiat media
sosial. Media kemudian ramai-ramai mengangkat “fashion street” ini. Fenomena CFW seharusnya memiliki penjelasan yang
melampaui fenomena di atas. Penulis akan mengkajinya dari dua sudut aspek
yang saling berkaitan. Perubahan sosial Dari sudut pandang sosiologis, CFW adalah hasil dari
berlangsungnya proses perubahan sosial di tengah masyarakat. Hanya saja,
perubahan itu tidak dipimpin oleh para aktor politik atau pelaku ekonomi,
bahkan bukan pula oleh elite yang ada di masyarakat. Para aktor CFW justru
datang dari pinggiran kota, rata-rata putus sekolah dan tidak memiliki sumber
daya ekonomi. Dalam stratifikasi sosial, kelompok penggiat CFW
justru adalah anak-anak muda kelas bawah. Mereka selama ini mungkin tersisih
oleh elite perkotaan karena tidak memiliki daya saing atau keunggulan
komparatif. Mereka sangat jauh berbeda dibandingkan anak-anak muda kota
Jakarta yang identik dengan identitas milenial seperti teknologi, pendidikan
dan gaya hidup papan atas. CFW justru dimotori oleh agen-agen pinggiran yang
melakuan blitzkrieg ke dalam pusat tatanan sosial masyarakat metropolitan.
Mereka hanya bermodalkan solidaritas kelompok, keberanian dan pola pikir
terminal. Tetapi ketika mereka mewujudkannya, agen-agen sosial ini ternyata
mampu mengguncang masyarakat dan menciptakan sebuah panggung sosial yang
sangat asli. Anak anak muda Citayam ini turun ke jalan,
mengekspresikan kebebasan, dan mendobrak tatanan dengan cara yang elegan,
menghasilkan tatanan baru yang bebas dari formalitas, tanpa campur tangan
elite politik-ekonomi, bahkan tradisi. Sebagaimana kita baca di berbagai
media, pemain utamanya adalah Bonge dan kawan-kawannya. Strategi perubahan sosial yang diusung kelompok ini
adalah menciptakan panggung baru melalui usaha rekonstruksi ulang
stratifikasi sosial. Anak-anak muda yang semula berada di level terendah,
bergerak menohok ke lapisan paling atas, dan kemudian menjadi trend setter.
Mereka berhasil. Buktinya para pembuat konten (content creator), pesohor,
politikus, dan YouTuber, berlomba-lomba hadir, “turun” dari posisi mereka,
masuk ke dalam panggung buatan anak-anak muda tersebut. Mereka menyesuaikan diri ke dalam fenomena CFW, yang
awalnya sebenarnya tidak diciptakan oleh mereka. Bahkan para pelaku ekonomi
kini mulai ramai menggunakan agen-agen CFW ini menjadi pelaku endorsement
produk yang murah meriah. Mengapa hal ini bisa terjadi? Jika dilihat dari
perspektif sosiologis, perubahan sosial merupakan hal yang wajar terjadi di
dalam sebuah masyarakat, di semua tingkat kompleksitas internalnya. Pada aras makro, misalnya, perubahan dapat terjadi
dalam konteks kebijakan ekonomi, politik dan budaya. Di tingkat mezo,
perubahan tersebut terjadi pada tingkat kelompok-kelompok, komunitas dan
organisasi-organisasi. Sedangkan pada level mikro, perubahan sosial pun dapat
terjadi melalui individu dan melibatkan interaksi antar-individu. Mengacu pada teori yang disusun oleh Sztompka
(2017), semua hal tersebut terjadi karena masyarakat tidak statis, tetapi
sebaliknya, melakukan respons atas situasinya. Mereka berikhtiar melahirkan
cara-cara baru, dan membuang tradisi-tradisi lama. Dari konsep inilah maka kita mengerti bahwa
pola-pola baru ala CFW lahir dan menjadi respons atas agen-agen sosial di
masyarakat. Ia tidak tercipta atau berkembang dengan sendirinya secara bebas,
tetapi diciptakan, diciptakan ulang, dan dikonstruksikan oleh masyarakat itu
sendiri melalui sejumlah agen. Hasilnya, tren sosial baru hadir di tengah
masyarakat, yang muncul tiba-tiba dan membuat kita bertanya-tanya, “Ada apa
di Sudirman?”. Lalu apa yang memicu agen-agen sosial tadi? Sejumlah
hal dapat kita daftarkan sebagai alasannya. Bisa jadi ada kejenuhan di tengah
masyarakat yang lelah menghadapi isolasi dan gelombang pandemi Covid-19 yang
terus menerus datang dengan berbagai varian terbaru. Juga termasuk di dalamnya situasi politik yang mulai
memanas dan memperlihatkan bagaimana kekuasaan diperebutkan menjelang pemilu
yang makin mendekat. Bahkan isu-isu sosial dan kontroversial di tengah
masyarakat —seperti aksi pelecehan seksual di ruang publik, perbuatan mesum
tokoh agama, kontroversi kasus pembunuhan yang melibatkan aparat keamanan,
isu-isu kenaikan harga BBM, naiknya harga bahan makanan, soal pajak, dan
sebagainya. Itu semua merupakan faktor internal. dengan busananya ini memunculkan istilah Citayam
Fashion Week. Bagaimana dengan faktor eksternal? Angin resesi
global yang mulai bertiup telah memunculkan kekuatiran atas situasi ekonomi
Indonesia. Kasus bangkrutnya negara seperti Sri Lanka dan kemungkinan
terulangnya kasus ini di negara-negara lain, telah menjadi isu sosial di
ruang publik. Bagaimana dengan Indonesia? Semua faktor tersebut
telah menjadi variabel yang berpengaruh langsung dan tidak langsung dalam
menciptakan beban bagi masyarakat. Terjadi kebuntuan atas persoalan-persoalan
kehidupan keseharian, yang kemudian menciptakan perilaku ekspresif di ruang
publik, sebagaimana CFW di kawasan Sudirman. Revolusi sosial Dalam bukunya yang terkenal, Political Order in
Changing Societies (1968) Samuel P Huntington menjelaskan bahwa ketika
terjadi sebuah perubahan tiba-tiba secara domestik di tengah masyarakat, dan
melibatkan perubahan transformatif terhadap nilai-nilai dominan dan mitos
dalam masyarakat itu, termasuk di dalamnya perubahan dalam struktur sosial,
maka dapat dipastikan bahwa di dalam masyarakat itu sedang berlangsung
revolusi sosial. Revolusi selalu bermula dari berbagai gejolak di
tengah masyarakat yang tidak terselesaikan. Masalah-masalah ketimpangan
sosial, stratifikasi antar kelompok yang tajam, pembiaran masalah sosial dan
ketidakadilan hukum, kelas pekerja yang selalu menjadi korban para pemilik
modal, para pemimpin yang oportunis, aspirasi yang tak tersalurkan, adalah
pemicu alami kehadiran krisis kepercayaan di tengah masyarakat. Pandangan Huntington di atas membuat kita harus
melihat CFW dari sudut pandang yang “tidak biasa”. CFW justru adalah sebuah
peringatan. Di atas kertas, CFW adalah sebuah fenomena unik. Kreatif. Tetapi
menggunakan analisis Huntington, CFW adalah sebuah produk revolusi sosial
yang mencoba melawan kemapanan melalui jalur alternatif dengan memilih pentas
jalanan sebagai ‘medan pertempuran’, menabrak ide mengenai panggung yang
selama ini kita kenal, serta sangat anti-elitis. CFW melawan raksasa-raksasa ekonomi yang selama ini
mungkin telah memarjinalkan mereka dan orang-orang seperti mereka, mengisap
kekuatan ekonomi mereka, dan yang selama ini hanya menjadikan mereka kuli dan
pekerja rodi di dalam sistem kapitalisme. CFW juga terlihat melakukan perlawanan terhadap
ruang-ruang publik yang selama ini dijadikan komoditas mahal di Jakarta, yang
mustahil diakses jika hanya bermodal keringat. Dengan menjadikan jalanan
sebagai aset ekonomi, CFW melawan kemapanan tersebut. Dan CFW juga melawan pandangan elite yang selama ini
lebih suka mengkapitalisasi diri menggunakan berbagai macam cara untuk
menaikkan citra dan mempertahankan diri di papan atas Ibukota. Di jalanan
CFW, keaslian terlihat, terbuka, dan menjadi panggung baru bagi yang
beruntung. Kita tidak tahu seperti apa CFW ini akan berkembang
di masa depan. Para peneliti sosial dan pakar perilaku manusia seharusnya
bisa melakukan pendekatan-pendekatan yang spesifik untuk kemudian mengajukan
sebuah konsep yang lebih egaliter pada setiap orang, di level manapun mereka
berada. Jangan sampai fenomena CFW ini justru hanya sekadar
ditunggangi oleh berbagai macam kepentingan, tanpa merespons motif sosial dan
suara revolusi yang sedang disampaikan dengan cara yang unik oleh para agen
sosialnya. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/28/citayam-bukan-sekadar-fashion-jalanan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar