Perlunya Kepemimpinan Akal Sehat di
PBNU Imam Jazuli : Pengasuh
Pondok Pesantren Bina Insan Mulia (Bima) Cirebon |
DISWAY, 27 Juli 2022
SUDAH
jamak diketahui, ketaatan pada hukum positif negara bagian dari ajaran Ahlus
Sunnah wal Jama'ah. Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi yang selama ini
mengajarkan jamaahnya untuk mendukung negara. Kepatuhan pada hukum yang
berlaku di tanah air ini adalah bentuk dari dukungan terhadap negara. Namun,
kini NU di bawah kepemimpinan yang baru seakan tidak lagi mempertahankan
idealisme itu. Kita
dapat melihat salah satu contohnya dari kasus masuknya nama bendahara umum
PBNU, Mardani H. Maming, ke dalam daftar pencarian orang (DPO). Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) berkordinasi dengan Mabes Polri untuk mengejar
tersangka, setelah Mardani H. Maming dianggap melawan praperadilan.
Penggerebekan ke salah satu rumah pengusaha muda batu bara itu gagal, orangnya
tidak ditemukan. Orang-orang
dari NU Kultural telah bersuara keras mengenai sikap PBNU yang
"seolah-olah" ingin pasang badan membela Mardani Maming melawan
hukum negara. Kita bisa lihat, salah satunya, Rifki Amin selaku Ketua Aliansi
Nahdliyin Jakarta meminta PBNU untuk memberhentikan Mardani H Maming sebagai
Bendahara Umum (Bendum) PBNU. Atau, Kita bisa lihat dari NU Struktural,
misalnya, Wakil Ketua PWNU Jawa Timur, KH Abdus Salam Shohib, yang juga
menilai PBNU lebih membela Bendum Mardani H Maming, padahal sudah menjadi
tersangka KPK. Namun,
suara-suara kritis dari NU Kultural maupun NU Struktural ini terhembas oleh
karang tajam keinginan PBNU di bawah nakhoda KH. Yahya Cholil Staquf (Gus
Yahya). Di sini, kita teringat oleh kata-kata Gus Yahya sendiri di Sambutan
Pembukaan Rakernas Cipasung kemarin, yang mengatakan: “pengurus Tanfidziyah
harus menunjukkan gestur-gestur tertentu, bahkan gestur tentang hal-hal
sepele.” Jika itu benar, maka gestur terkait pembelaan PBNU atas Mardaning H.
Maming adalah simbol linguistik yang bisa dimaknai secara pragmatis bahwa
PBNU saat ini membela korup(tor)si. Gus
Yahya juga mengatakan bahwa gestur tersebut berkaitan dengan struktur
kepengurusan PBNU, yang sejak awal direkrut karena memiliki pasitas mumpuni
dalam menjalankan tugas-tugas organisasi. Jika itu benar, kita patut curiga
hubungan Gus Yahya dan Mardani H. Maming sejak awal. Terutama tentang
kontribusi Mardani Maming terhadap Gus Yahya, sejak pemilihan ketua umum PBNU
di Muktamar terakhir. Dengan kata lain, profil Mardani H. Maming sudah
dikenal betul oleh Gus Yahya, dan dianggap layak memimpin PBNU. Dalam
sambutan pembukaan Rakernas tersebut pula, Gus Yahya mengatakan bahwa
organisasi harus dijalankan dengan profesionalitas tinggi dan rasional.
Sayangnya, itu ibarat pemanis bibir saja. Ketika Mardani H. Maming sudah
ditetapkan sebagai DPO, Gus Yahya enggan memecatnya, bahkan terkesan pasang
badan. Berbeda halnya dengan PDI-P, yang mengatakan tidak akan melakukan
intervensi apapun. Kepala Badan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat (BBHAR) DPP
PDIP, M. Nurdin, mengatakan PDI-P tidak akan melakukan intervensi apa pun
terhadap proses hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum manapun
termasuk KPK dalam perkara ini. Di
sini sudah jelas, Gus Yahya mengarahkan kepemimpinan PBNU ke arah yang
irasional. Dia mengabaikan kritikan-kritikan dari ulama-ulama NU kultural
maupun struktural, juga tidak mau belajar dari parpol yang dikelola secara
rasional, seperti PDI-P. Enggannya Gus Yahya memecat Mardani Maming adalah
gestur yang bisa diartikan sebagian orang sebagai pembelaannya terhadap
korupsi dalam kasus Mardani Maming. Gestur semacam itu adalah gestur yang
tidak patut kepada hukum yang berlalu di negara ini. Dengan
begitu, sudah saatnya menjalankan apa yang dikatakan oleh Gus Yahya sendiri,
bahwa pengurus Tanfidiyah hanyalah karyawan bagi pengurus Syuriah. Maksudnya,
dalam kasus yang semakin pelik ini, Syuriah harus ikut campur dalam kasus
Mardani Maming. Syuriah tidak boleh hanya berpangku tangan dan membiarkan
akar rumput NU baik struktural maupun kultural yang resah dan gelisah melihat
situasi ini. Tentu saja hal ini akan dilematis dari dua sisi: pertama, jika
Mardani Maming tetap jadi pengurus PBNU, maka citra bahwa orang NU membela
tersangka koruptor akan melekat. Kedua, jika Mardani Maming tidak dibela dan
masuk penjara, maka citra bahwa pernah ada pengurus PBNU yang terjerat korupsi, itu juga akan
melekat. Tapi ini masih jauh lebih baik, karena itu oknum yang memang ada di
organisasi dan partai manapun. Tentu
saja, marwah PBNU akan tercoreng dari kedua sisi tersebut. Mungkin para elite
NU papan atas hanya menganggap hal ini perkara sepele. Tetapi, kaum akar
rumput, orang-orang yang tidak tahu peta politik nasional baik struktural
maupun kultural, mereka menjadi bulan-bulanan orang-orang dari ormas sebelah.
Kiyai-kiyai kampung yang tidak mengerti urusan negara ini, mereka mendapat
pukulan telak dari kasus Mardani Maming. Marwah NU sulit diselamatkan lagi
jika PBNU "kekeh" mempertahankan dan membela Mardani Maming, jangan
sampe ini menjadi kado "istimewa" yang dipersembahkan pada acara 1
Abad NU. Hemat
penulis, pemecatan Mardani Maming adalah pilihan yang terbaik di antara
perkara-perkara buruk. Lebih baik NU dicitrakan pernah dihuni oleh seorang
tersangka koruptor, dari pada NU dicitrakan membela tersangka koruptor. Lebih
baik NU kehilangan Mardani Maming yang berstatus sebagai DPO, dari pada NU
mempertahankannya, entah dia memiliki kapasitas sebagai intelektual yang
mampu memimpin organisasi NU atau kerena dia orang kaya sebagai pengusaha
muda. Lebih baik NU tidak dipimpin oleh ilmuan dan hartawan namun tersangka
koruptor. Ilmu yang tidak digunakan dan harta yang tidak halal hanya akan
mengotori citra NU dan menghilangkan keberkahan NU. ● |
Sumber
: https://disway.id/read/633677/Perlunya-Kepemimpinan-Akal-Sehat-di-PBNU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar