Stabilisasi Harga
Tiket Penerbangan Abra Talattov : Ekonom INDEF |
INVESTOR DAILY, 29
Juli
2022
Seiring dengan
tren penurunan kasus Covid-19 pada paruh kedua tahun 2021, mobilitas masyarakat
berangsur pulih sehingga berdampak positif terhadap pemulihan ekonomi
nasional sebesar 3,69% pada 2021. Momentum pemulihan ekonomi ini turut
memberi angin segar bagi industri penerbangan yang selama dua tahun terakhir
terpuruk dihantam pandemi. Industri
penerbangan di Indonesia mengalami turbulensi tercermin dari merosotnya
jumlah penumpang angkutan udara domestik hingga 57,7% dari 76,6 juta orang
pada 2019 menjadi 32,3 juta orang pada 2020, dan terus berlanjut menyusut
menjadi 30 juta orang pada 2021. Selain itu, jumlah penumpang angkutan udara
internasional juga tercatat merosot hingga 80% dari 18,8 juta orang pada 2019
menjadi 3,6 juta orang pada 2020, dan makin memburuk pada 2021 menjadi hanya
627 ribu orang. Kini industri
penerbangan mengalami rebound tercermin dari kenaikan jumlah penumpang udara
domestik hingga 63% dari 12,1 juta orang selama Januari - Mei 2021 menjadi
19,7 juta orang pada Januari - Mei 2022. Begitupun dengan jumlah penumpang
angkutan udara rute internasional yang meningkat drastis hingga 436,5% dari
212,3 ribu orang pada Januari - Mei 2021 menjadi 1,14 juta orang pada Januari
- Mei 2022. Namun, di
tengah kembali bergeliatnya antusiasme masyarakat dalam melakukan perjalanan
udara, muncul fenomena lonjakan harga tiket penerbangan secara tajam.
Kombinasi antara kenaikan permintaan masyarakat dengan peningkatan harga
tiket pesawat menghasilkan pertambahan transaksi penjualan tiket pesawat yang
disediakan travel agent, dari hanya Rp450 miliar pada bulan Januari 2022
menjadi Rp1,7 triliun pada Juni 2022. Kenaikan harga
tiket penerbangan mulai dikeluhkan masyarakat dan dikhawatirkan akan menyulut
kenaikan inflasi dari kelompok transportasi serta menghambat momentum
pemulihan ekonomi khususnya pada sektor pariwisata. Bukan tanpa alasan
apabila peningkatan harga tiket pesawat berpotensi menekan kinerja sektor
pariwisata. Sebab, dari total pengeluaran wisatawan sebesar Rp745,6 triliun
pada tahun 2020, porsi untuk biaya
jasa angkutan udara mencapai 29,7%. Sementara porsi pengeluaran wisatawan
untuk biaya penyediaan akomodasi hanya 18,6% pada tahun 2020. Data tersebut
menunjukkan bahwa biaya jasa angkutan udara akan sangat sensitif mempengaruhi
sektor pariwisata di Indonesia. Melejitnya
harga tiket pesawat ini kemudian memunculkan pertanyaan besar faktor apa saja
yang sebetulnya menyebabkan lonjakan harga tiket penerbangan?. Secara umum,
struktur biaya penerbangan (cost structure airline) terbagi dalam tiga
komponen biaya utama antara lain biaya terkait pesawat, biaya bahan bakar dan
biaya lain-lain. Porsi biaya terbesar yaitu untuk biaya pesawat sekitar 43%,
disusul biaya bahan bakar 24%, dan biaya lainnya 33%. Komponen harga
avtur menjadi faktor yang paling disorot karena dianggap menjadi penyebab
utama melonjaknya harga tiket pesawat. Padahal, kenaikan harga avtur
sebetulnya terjadi secara alamiah karena harga minyak mentah dunia juga
mengalami kenaikan drastis pasca perang Rusia-Ukraina. Bahkan data The
International Air Transport Association (IATA) juga menunjukkan pergerakan harga
bahan bakar pesawat terbang telah melonjak hingga 150% pada bulan Mei 2022
(yoy) menjadi US$ 176/barel. Kenaikan harga
avtur di level internasional juga terjadi di Indonesia, dimana harga avtur
yang dijual Pertamina di Cengkareng misalnya mengalami kenaikan sebesar 53,3%
dari Rp10.544/liter pada awal Januari 2022 menjadi Rp16.806/liter per 31 Juli
2022. Karena avtur bukan jenis BBM yang disubsidi maka sangat rasional
apabila harga jualnya pun mengikuti harga keekonomian yang dipengaruhi harga
bahan baku crude. Meskipun
demikian, harga jual avtur di Indonesia ternyata relatif kompetitif
dibandingkan harga di beberapa negara yang cukup apple to apple dibandingkan.
Sebagai komparasi, harga avtur di Jakarta pada Mei 2022 sebesar US$3,5/US
gallon, lebih murah dibandingkan harga di beberapa kota China seperti Kunming
(US$3,9/USG), Wuhan (US$3,7/USG), Guangzhou (US$3,6/USG), serta di Melbourne
- Australia (US$3,6/USG), dan Chiang Mai - Thailand (US$3,6/USG). Meskipun
Indonesia sudah bisa melepaskan diri dari ketergantungan impor avtur dengan
memproduksi sendiri avtur di kilang dalam negeri, namun tetap saja biaya
produksi avtur ikut terdampak dari kenaikan harga bahan baku crude yang
dipatok dengan harga ICP. Ditambah lagi karakteristik geografi Indonesia yang
unik menjadi tantangan tersendiri bagi Pertamina untuk memastikan pasokan
avtur merata dan tersedia di seluruh 68 titik Depot Pengisian Pesawat Udara
(DPPU) se-Indonesia, termasuk di wilayah terpencil dengan konsekuensi biaya
distribusi yang lebih mahal. Bahkan ketika
penjualan avtur domestik mengalami penurunan drastis dari 12 ribu KL/hari
pada masa sebelum pandemi menjadi sekitar 5 ribu KL/hari pada puncak pandemi,
Pertamina tetap harus memastikan ketersediaan dan stock level avtur. Kini
sejalan dengan peningkatan mobilitas penerbangan udara, volume penjualan
avtur pun mulai merangkak naik lagi ke level 9 ribu KL/hari, meskipun masih
di bawah level pra pandemi. Selanjutnya,
faktor utama yang turut mendorong kenaikan biaya tiket penerbangan yaitu pada
komponen biaya pesawat. Maskapai penerbangan domestik mengalami beban
peningkatan biaya sewa akibat semakin terbatasnya supply armada pesawat serta
pelemahan nilai tukar Rupiah. Menipisnya supply pesawat terlihat dari
berkurangnya jumlah ketersediaan pesawat domestik dari 550 pesawat menjadi
350 pesawat per Mei 2022. Jumlah pesawat yang beroperasi pun berkurang
drastis hingga 40% dibandingkan sebelum pandemi tahun 2019. Sebagai contoh
penurunan jumlah pesawat yang serviceable terjadi pada maskapai Garuda Indonesia
yang pada bulan Juni lalu hanya mengoperasikan 33 pesawat dari sebelumnya 142
pesawat. Begitupun dengan Citilink yang memangkas jumlah pesawat dari 51 unit
menjadi 34 pesawat. Selain menipisnya jumlah armada pesawat yang beroperasi,
industri penerbangan domestik juga dihadapkan pada struktur pasar oligopoli
dimana hanya dua grup maskapai yang menguasai pangsa pasar domestik. Selain itu,
mahalnya biaya pesawat juga tidak terlepas dari adanya skandal mark-up
kontrak pesawat dengan lessor penyewaan pesawat seperti yang terjadi di tubuh
Garuda Indonesia. Implikasinya, Garuda Indonesia menjadi maskapai dengan
rasio biaya kontrak lessor terhadap pendapatan yang tertinggi di dunia yaitu
24,7% atau 4 kali lebih besar di atas rata-rata global 6,1%. Kesalahan besar
itulah yang pada gilirannya terpaksa ditanggung konsumen dengan harga tiket
pesawat yang mahal akibat bengkaknya biaya sewa pesawat. Untuk
mengurangi beban sewa pesawat itu, manajemen Garuda Indonesia dibantu
pemerintah melakukan restrukturisasi utang yang salah satu hasilnya ialah
kesepakatan untuk mengubah skema sewa pesawat kepada lessor menjadi power by
the hour (PBH) dimana biaya sewa hanya dibayar ketika pesawat diterbangkan.
Meskipun biaya sewa pesawat ditargetkan bisa ditekan hingga 31-55%, tetapi
ada konsekuensi yaitu pengurangan jumlah pesawat yang dioperasikan Garuda
Indonesia dari 210 pesawat menjadi 120 pesawat. Hukum ekonomi pun bekerja,
berkurangnya supply disaat naiknya demand, maka akan mengerek naik harga
tiket pesawat. Kenaikan biaya
operasional penerbangan juga dipengaruhi oleh meningkatnya biaya untuk
maintenance, repair and overhaul (MRO), termasuk pengadaan sparepart yang
mayoritasnya berasal dari impor. Beban impor onderdil pesawat juga semakin
membengkak terdampak pelemahan nilai tukar Rupiah. Ditambah lagi dari seluruh
pesawat yang beroperasi di Indonesia, hanya sekitar 30-40% pesawat yang dapat
dilayani oleh fasilitas MRO di dalam negeri. Selebihnya, perawatan pesawat
masih harus dilakukan di luar negeri sehingga biaya perawatan juga akan
terpengaruh kurs Rupiah. Berikutnya,
terkesan mengambil kesempatan dalam kesempitan, lonjakan harga tiket pesawat
juga dipengaruhi kenaikan tarif Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara
(PJP2U) atau airport tax di beberapa bandara. Sebagai contoh, tarif airport
tax di Bandara Soekarno-Hatta Terminal 2 dan 3 untuk rute domestik naik
masing-masing sebesar 41% dan 30% menjadi Rp119.880 dan Rp168.720. Lalu tarif airport tax di Bandara Pattimura
Ambon naik 40% menjadi Rp70.000 dan Bandara El Tari Kupang naik 75% menjadi
Rp70.000. Kenaikan airport tax atau
Passenger Service Charge (PSC) tersebut merupakan biaya jasa bandara yang
akhirnya dibebankan ke penumpang melalui kenaikan harga tiket. Kemudian,
kenaikan harga tiket pesawat juga turut disebabkan ulah maskapai penerbangan
yang memberlakukan biaya tambahan (fuel surcharge) untuk tarif tiket pesawat.
Pengenaan biaya tambahan yang mencapai 10-20% dari tarif batas atas (TBA)
tiket pesawat tentunya makin membebani konsumen. Dengan melihat
berbagai faktor tersebut, pemerintah perlu segera mengambil langkah taktis
untuk dapat meredam lonjakan harga tiket penerbangan yang terlalu tinggi.
Beberapa opsi kebijakan yang tersedia antara lain menunda kenaikan airport
tax dalam jangka waktu tertentu semata-mata untuk menjaga kelangsungan bisnis
industri penerbangan itu sendiri dan membantu pemulihan sektor pariwisata.
Lalu, moratorium ataupun pemangkasan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) pada
tiket pesawat, khususnya pada rute penerbangan domestik yang tidak menguntungkan
bagi maskapai. Untuk menjaga
stabilitas harga tiket pesawat, Pemerintah juga sebaiknya mengevaluasi
kembali pelaksanaan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 68 Tahun 2022 tentang
biaya tambahan (fuel surcharge) tarif penumpang pelayanan kelas ekonomi
angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri. Apabila terjadi tren penurunan
harga avtur domestik, biaya tambahan juga seharusnya dapat dikurangi atau
bahkan dihilangkan sehingga harga tiket pesawat pun bisa berangsur turun. Melalui upaya stabilisasi harga
tiket penerbangan tersebut, diharapkan momentum pemulihan ekonomi dapat
terjaga. Termasuk memastikan pemulihan yang merata di seluruh daerah melalui
sektor pariwisata. Sebab, sektor pariwisata memiliki kontribusi terhadap PDB
hingga mencapai 4,7% pada tahun 2019, dan ditargetkan bisa dijaga pada level
4,3% pada 2022 ini. Selain itu, sumbangan sektor pariwisata terhadap devisa
juga sangat signifikan hingga pernah menyentuh US$ 16,9 miliar pada tahun
2019, namun akibat pandemi andilnya terhadap devisa merosot hanya US$ 0,36
miliar pada tahun 2021. Oleh karena itu, dengan upaya menjaga keterjangkauan
harga tiket penerbangan diharapkan dapat mengangkat kembali sumbangan sektor
pariwisata terhadap perekonomian nasional. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar