Pelibatan
Publik dan Dekolonisasi Eddy
OS Hiariej: Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM; Wakil Menteri
Hukum dan HAM |
KOMPAS, 28 Juli 2022
Rancangan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), yang akan disahkan tahun ini, bukan
rancangan yang tiba-tiba turun dari langit. Rancangan UU ini merupakan proses panjang sejak 1963
yang telah dibahas berkali-kali dan selalu mengalami perubahan untuk
disesuaikan dengan dinamika masyarakat. Sebenarnya pada masa bakti DPR 2014-2019, RKUHP
telah tuntas dibahas dan melibatkan partisipasi publik. Daftar inventarisasi
masalah yang berjumlah lebih dari 6.000 disusun berdasarkan masukan
masyarakat sipil dan semua terdokumentasi dengan baik. Pada 19 September 2019, Presiden Joko Widodo lalu
menarik draf RKUHP yang telah mendapat persetujuan tingkat pertama karena ada
beberapa pasal kontroversi. Pemerintah dan DPR kemudian menginventarisasi
berbagai isu yang menimbulkan perdebatan di publik. Hasilnya, ada 14 isu yang
perlu dibahas kembali. Selama 2020 hingga 2022, sembari melakukan
sosialisasi bersama Komisi III DPR, pemerintah terus melakukan perbaikan
terhadap draf RKUHP tahun 2019. Masukan dari hasil sosialisasi didiskusikan
secara intensif dengan berbagai elemen masyarakat. Dalam penyempurnaan RKUHP terhadap 14 isu itu, ada
pasal-pasal yang dihapus, ada pasal-pasal yang direformulasi, bahkan diubah
secara substansi, dan ada pasal-pasal yang tetap dipertahankan. Pasal yang dihapus antara lain pasal tentang advokat
curang. Pasal ini dikeluarkan berdasarkan diskusi dengan sejumlah organisasi
advokat. Pasal yang mengalami reformulasi dan penambahan
secara substansi adalah tentang penodaan agama dan aborsi. Hal ini
berdasarkan masukan dari Institute for Criminal Justice Reform dan Indonesian
Consortium for Religious Studies. Selanjutnya, pasal yang tetap dipertahankan, antara
lain, pasal penyerangan terhadap harkat dan martabat presiden-wakil presiden. Pada 6 Juli 2022, pemerintah menyerahkan draf
Penyempurnaan RKUHP 2019 kepada DPR untuk dibahas dengan Komisi III DPR. Ada tujuh hal yang disempurnakan. Pertama, terkait
14 isu krusial, yakni the living law; pidana mati; penyerangan harkat dan
martabat presiden-wakil presiden; kekuatan gaib; dokter/dokter gigi tanpa
izin; contempt of court; unggas yang merusak kebun; advokat curang; penodaan
agama; penganiayaan hewan; alat pencegah kehamilan; penggelandangan, aborsi;
tindak pidana kesusilaan/tubuh yang meliputi perzinaan, kohabitasi, dan
pemerkosaan. Kedua, terkait ancaman pidana. Ketiga, tindak pidana
penadahan, penerbitan/percetakan yang sebenarnya ada pada draf RKUHP 2015,
tetapi tidak terdapat dalam draf RKUHP 2019 sehingga kembali dimasukkan.
Keempat, harmonisasi dengan UU sektoral. Kelima, sinkronisasi batang tubuh
dan penjelasan. Keenam, teknik penyusunan. Ketujuh, typo atau perbaikan
penulisan. Penyempurnaan draf RKUHP akan dibahas pada masa
sidang DPR berikut dan sudah tentu melibatkan partisipasi publik sesuai
putusan MK, meliputi hak untuk didengarkan, hak untuk mendapatkan penjelasan,
dan hak untuk dipertimbangkan pendapatnya. Dekolonisasi Jika merujuk Naskah Akademik, ada empat misi kunci
pembaruan KUHP, yakni dekolonisasi, demokratisasi, konsolidasi, dan
harmonisasi. Salah satu misi yang sering dipertanyakan adalah dekolonisasi.
Tim Ahli Perumus KUHP memaknai dekolonisasi sebagai upaya menghilangkan
nuansa kolonial dalam substansi KUHP yang masih berlaku. Ini, antara lain, pertama, berorientasi pada
keadilan retributif yang mengedepankan hukum pidana sebagai lex talionis
(hukum balas dendam). Kedua, sebagai konsekuensi yang pertama, dalam KUHP
sekarang tak terdapat standard of sentencing, sehingga hakim memiliki
kewenangan mutlak menjatuhkan hukuman. Ketiga, tak ada modifikasi ataupun
alternatif pidana dalam KUHP lama, kecuali pidana penjara, sementara pidana
denda sebagai alternatif sudah tak pernah lagi diputuskan oleh hakim. Hal ini berbeda dengan RKUHP yang berorientasi pada
paradigma hukum pidana modern sebagai bentuk dekolonisasi berupa keadilan
korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif. Pedoman pemidanaan
yang terdapat di Pasal 53 sampai Pasal 56 RKUHP adalah bentuk nyata
dekolonisasi. Kendati hakim berwenang menjatuhkan pidana, tetapi dibatasi
sejumlah parameter. Artinya, hakim tak hanya menitikberatkan pada
kepastian hukum semata, tetapi juga mempertimbangkan keadilan dan
kemanfaatan. Bahkan, Pasal 53 Ayat (2) RKUHP secara tegas berbunyi, ”jika
dalam penegakan hukum terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan
keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan”. Ketentuan ini dalam literatur hukum Jerman dikenal
dengan istilah Radbruch Formula yang lahir pasca-Perang Dunia (PD) II.
Radbruch Formula ini terdapat dalam KUHP sebagai bentuk dekolonisasi di
negara-negara yang menjadi wilayah kekuasaan Jerman pada PD II (Macteld Boot,
2001). Demikian pula Pedoman Penerapan Pidana Penjara
dengan Perumusan Tunggal dan Perumusan Alternatif yang terdapat di Pasal 57
RKUHP adalah bentuk dekolonisasi yang tak lagi mengutamakan pidana penjara,
meski pidana penjara masih tetap merupakan pidana pokok. Adanya ancaman
pidana penjara yang dimodifikasi dengan pidana pengawasan dan pidana kerja
sosial yang terdapat dalam RKUHP dengan berbagai syarat lebih berorientasi
pada keadilan restoratif dan keadilan rehabilitatif. Bentuk dekolonisasi lainnya adalah the living law
(Pasal 2 RKUHP) dengan pembatasan bahwa hukum yang hidup di masyarakat harus
sesuai Pancasila, UUD 1945, HAM, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat
beradab di dunia. Kritik Jonkers, ahli hukum terkemuka Belanda yang
pernah 10 tahun jadi hakim tinggi di Maros, Sulawesi Selatan, terhadap
pemberlakuan Wetboek van Strafrecht (WvS) adalah bahwa pemberlakuan ini
seharusnya memperhatikan kondisi sosial di Indonesia yang multietnis,
multireligi, dan multikultur. Ketentuan Pasal 1 RKUHP tentang asas legalitas
seolah bertentangan dengan Pasal 2 RKUHP yang mengakui the living law,
padahal keduanya memiliki landasan filosofi berbeda, tetapi saling
melengkapi. Pasal 1 merujuk pada postulat nulla poena sine lege (tak ada
pidana tanpa UU), dan Pasal 2 merujuk pada postulat nulla poena sine jure
(tak ada pidana tanpa hukum). Selain itu, harus dipahami bahwa berdasarkan asas
keseimbangan, the living law tak hanya dipakai untuk menjatuhkan pidana,
tetapi juga untuk membebaskan seseorang dari pertanggungjawaban pidana. Pasal penghinaan Beberapa pasal menimbulkan kontroversi, padahal
sebenarnya pasal-pasal itu di RKUHP telah mengalami dekolonisasi, yakni pasal
penghinaan terhadap presiden/wapres, pemerintah, ataupun kekuasaan umum. Ada yang berpendapat, misi dekolonisasi di RKUHP tak
tercapai karena tetap mempertahankan pasal-pasal a quo. Menurut mereka,
dekolonisasi adalah menghapus pasal-pasal ini, padahal dalam konteks hukum
pidana tidak demikian. Pasal-pasal a quo disebut pasal kolonial, bukan karena
isinya, melainkan konstruksi pasalnya. Pasal 134, termasuk Pasal 136 bis KUHP, yang telah
dibatalkan dengan putusan MK, pada intinya menyatakan penghinaan yang
dilakukan dengan sengaja terhadap presiden/wapres diancam pidana penjara.
Demikian pula Pasal 154 yang berbunyi ”barang siapa di muka umum menyatakan
permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia diancam
pidana penjara”. Selanjutnya Pasal 207 tentang penghinaan terhadap kekuasaan
umum. Menurut sejarahnya, pasal-pasal ini bukanlah berasal
dari Code British India yang diberlakukan Inggris terhadap koloninya, India.
Pasal-pasal ini kemudian diadopsi Belanda pasca-Traktat London, 17 Maret
1824, dan dimuat di WvS yang diberlakukan untuk Indonesia. Konstruksi pasal-pasal a quo bernuansa kolonial
karena, pertama, bukan delik aduan, padahal penghinaan adalah delik
subyektif. Kedua, berbentuk delik formil tanpa suatu pembatasan. Ketiga,
dalam konteks doktrin hukum pidana, pasal-pasal kolonial ini dikenal sebagai
gevaarzettingsdelicten (delik-delik yang menimbulkan keadaan bahaya atau
ancaman). Dapat juga disebut delik abstrak. Konstruksi pasal ini membawa
konsekuensi yang mudah untuk pembuktian. Bandingkan dengan pasal penghinaan terhadap
presiden/wapres berikut penjelasannya di RKUHP. Selain merupakan delik aduan,
secara tegas dinyatakan pasal ini tak dimaksudkan untuk merintangi kebebasan
berdemokrasi, termasuk kritik terhadap kebijakan presiden/wapres. Bahkan,
dalam pasal a quo terdapat alasan penghapus pidana sebagai penyeimbang konstruksi
delik formil. Demikian juga Pasal 240 RKUHP yang telah mengubah
konstruksi pasal kolonial dari delik formil menjadi delik materiil, dari
delik abstrak menjadi delik konkret, dan dari gevaarzettingsdelict menjadi
krenkingsdelict atau delik yang merugikan. Ada pula Pasal 351 RKUHP tentang penghinaan terhadap
kekuasaan umum yang berdasarkan putusan MK harus dirumuskan sebagai delik
aduan. Sejumlah pasal a quo sebagaimana yang telah dijelaskan di atas
merupakan bentuk dekolonisasi dalam RKUHP. Kekhawatiran bahwa pasal-pasal ini berpotensi karet
karena penggunaannya menjadi diskresi aparat penegak hukum sebagaimana
diutarakan Zainal Arifin Mochtar (”Pasal Penghinaan, Hukum dan Demokrasi”,
Kompas, 13/7/2022), kurang tepat. Sebab, sejelas apa pun formula suatu pasal,
pasti membuka ruang untuk dilakukan interpretasi sebagaimana dikatakan
Satjipto Raharjo: membuat hukum adalah suatu hal dan menafsirkan hukum yang
sudah dibuat adalah keharusan berikutnya. Dalam konteks RKUHP, bukanlah norma yang bermasalah,
melainkan aparat penegak hukum yang harus diedukasi bawah ada dua prinsip
dalam penafsiran hukum pidana yang harus ditaati, yakni exceptio frimat vim
legis in casibus non exceptis dan in dubio pro reo. Artinya, penafsiran harus
dilakukan secara sempit dan harus ditafsirkan sedemikian rupa sehingga tidak
merugikan bagi terlapor, tersangka, atau terdakwa. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/27/pelibatan-publik-dan-dekolonisasi |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar