Menyemarakkan
Politik Akal Sahel
Muzzammil: Peneliti Transparency International Indonesia |
KOMPAS, 26 Juli 2022
Pemilu 2024
kian dekat. Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2022
tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2024, tahapan
penyelenggaraan pemilu dimulai sejak 14 Juni 2022. Sementara itu, masa
kampanye, masa ketika partai politik dan para calon berlomba-lomba merebut
hati masyarakat, akan dimulai pada 28 November 2023 dan berakhir pada 10
Februari 2024. Masa kampanye ditetapkan selama 75 hari, jauh lebih
pendek daripada masa kampanye pada pemilu sebelumnya (Pemilu 2019), yakni 202
hari. Menurut KPU, penetapan masa kampanye yang singkat ini merupakan
pembelajaran dari pemilu sebelumnya, yakni untuk menghindari polarisasi atau
pembelahan masyarakat akibat masa kampanye yang terlalu panjang. Memang, sebagaimana diungkapkan Warburton dan
Aspinall (2019), kampanye tahun 2019 telah meruncingkan perpecahan lama
antara kubu Islamis dan pluralis lebih daripada yang pernah terjadi dalam
pemilu-pemilu sebelumnya. Sementara itu, dalam sebuah acara bincang yang
disiarkan secara nasional, Salim Said (2019) juga mengibaratkan kampanye yang
terlalu panjang sebagai perang yang menguras seluruh amunisi dan logistik, yang
pada akhirnya memaksa kontestan ”melempar” apa pun demi kemenangan (termasuk
politik identitas). Dengan refleksi itu, mempersingkat masa kampanye Pemilu
2024 tentu merupakan pilihan masuk akal. Pun begitu, masa kampanye yang singkat juga masih
harus diarahkan agar menghadirkan narasi-narasi yang pedagogis, bukan
demagogis. Peran KPU lagi-lagi menjadi kunci untuk mewujudkan misi lanjutan
ini. Pasalnya, KPU memiliki kewenangan untuk menjadikan masa kampanye sebagai
masanya politik akal. Hal itu dapat dilakukan dengan, salah satunya,
melibatkan perguruan tinggi. Pelibatan perguruan tinggi Acap kali perguruan tinggi dianggap sebagai tempat
pendidikan yang harus steril dari aktivitas politik. Anggapan ini diperkuat
dengan adanya Pasal 280 Ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum, yang menyatakan bahwa pelaksana, peserta, dan tim
kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan
tempat pendidikan. Dengan ketentuan ini, pada 2018, misalnya, Menteri Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir menyatakan perguruan tinggi
dilarang menjadi tempat kampanye, bahkan mengancam menjatuhkan sanksi bagi
perguruan tinggi yang melanggar. KPU dan Bawaslu kala itu pun setuju sehingga
pada Pemilu 2019 perguruan tinggi bak gelembung yang terseparasi dari
gelanggang politik. Padahal, diketahui bersama bahwa perguruan tinggi
merupakan pusat intelektualitas di suatu negara. Politik gagasan atau politik
akal lebih mungkin lahir dari perguruan tinggi ketimbang dari sudut lainnya
di penjuru negeri. Ini belum memperhitungkan fakta bahwa dalam praktik
berjalannya pemerintahan, sivitas akademika (terutama mahasiswa) kerap
menjadi elemen terpenting yang memberi kontrol efektif terhadap kekuasaan.
Lantas, mengapa pada saat janji-janji dan kontrak politik dibuat (baca: masa
kampanye) lingkungan sivitas akademika justru dihindari? Apabila dicermati, UU No 7/2017 sebenarnya bukan
melarang sama sekali keterlibatan perguruan tinggi dalam masa kampanye.
Penjelasan Pasal 280 Ayat (1) huruf h menyebut bahwa fasilitas pemerintah,
tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu
hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab
fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Kemudian di
tambahkan bahwa yang dimaksud dengan ”tempat pendidikan” adalah gedung
dan/atau halaman sekolah dan/atau perguruan tinggi. Mengacu penjelasan tersebut, keterlibatan perguruan
tinggi dalam masa kampanye jelas dimungkinkan. Prasyaratnya pun sederhana.
Apabila perguruan tinggi diartikan sebatas sebagai lokus, syaratnya ialah
perguruan tinggi harus tetap bersih dari atribut kampanye—hal yang wajar,
mengingat perguruan tinggi bukan arena unjuk simbol—dan otoritas perguruan
tinggi harus merupakan inisiatornya. Akan tetapi, yang sebenarnya jauh lebih
penting adalah menyadari bahwa keterlibatan perguruan tinggi sebagai
komunitas intelektual adalah sama sekali bukan larangan. Berdasarkan metode kampanye yang diakui UU No
7/2017, keterlibatan perguruan tinggi dapat diejawantahkan dalam pertemuan
terbatas atau kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye pemilu dan
ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 275 Ayat (1) huruf a dan i UU
No 7/2017). Tentu, KPU perlu mengatur lebih lanjut mekanisme keterlibatan
ini. Misalnya, dengan mengharuskan perguruan tinggi inisiator mengundang
peserta pemilu secara berimbang, dan seterusnya. Dengan adanya keterlibatan perguruan tinggi di masa
kampanye, peserta pemilu tertantang untuk mengargumentasikan visi misi,
tawaran program dan janji politik mereka, kontestasi elektoral satu langkah
mendekati politik berkeadaban, politik akal. Ini sekaligus bentuk perlawanan
terhadap pendangkalan politik yang terjadi sekian tahun terakhir saat
eksploitasi besar-besaran terhadap emosi, memunculkan amarah dan rasa
permusuhan semata-mata untuk memperoleh margin suara. Lebih optimistis lagi,
ini merupakan bulir upaya untuk tidak tinggal diam menghadapi kontrol uang
yang konon telah telanjur mengakar dalam budaya politik di Indonesia. Epilog Demokrasi Indonesia kerap diperhitungkan sebagai
salah satu yang terbesar di dunia. Sayangnya, penilaian tersebut masih lebih
sering menyangkut kuantitas daripada kualitas. Ketika berbicara tentang
kualitas, organisasi seperti Economist Intelligence Unit, misalnya, pada awal
tahun ini merilis indeks demokrasi yang masih menempatkan Indonesia sebagai
negara dengan demokrasi cacat (flawed democracies). Proses pemilu dan kultur
politik menjadi dua faktor terburuk yang dimiliki Indonesia, bahkan di antara
banyak negara lainnya yang juga terkategori serupa. Jelang Pemilu 2024, seharusnya banyak upaya
dilakukan untuk membalik keadaan tersebut. Pelibatan perguruan tinggi dalam
masa kampanye sebagai langkah menyemarakkan politik akal mungkin hanyalah
salah satu yang termudah. KPU tentu dapat memulainya dari sini, mumpung
banyak waktu tersedia sebelum hiruk-pikuk resmi dimulai. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/25/menyemarakkan-politik-akal |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar