Indonesia Dapat Rapor Merah untuk
Keberlanjutan Lingkungan Alfons Yoshio Hartanto : Kontributor Tirto.id |
TIRTO.ID, 29 Juli 2022
Indonesia
masih punya pekerjaan rumah besar dalam pelestarian lingkungan hidup dan
perubahan iklim, setelah menempati posisi 20 terbawah dari 180 negara di
dunia yang disurvei terkait isu keberlanjutan lingkungan, menurut laporan
Environmental Performance Index (EPI) 2022. Menukil dari
laman Universitas Yale, EPI adalah rangkuman berbasis data tentang kondisi
keberlanjutan lingkungan berbagai negara di dunia yang disusun oleh
peneliti-peneliti dari Universitas Yale dan Universitas Columbia di Amerika
Serikat (AS). Laporan EPI
2022 menggunakan 40 indikator performa di 11 kategori isu yang
diklasifikasikan dalam tiga pilar penilaian, yakni daya hidup ekosistem,
kesehatan lingkungan, dan perubahan iklim untuk menganalisis keberlanjutan
lingkungan di 180 negara di dunia. Data yang digunakan EPI berasal dari berbagai
organisasi internasional, lembaga penelitian, akademisi, dan lembaga
pemerintah. Data tersebut kemudian diaudit lagi oleh pihak ketiga untuk
mendapat data yang lebih objektif. Indikator-indikator
ini mengukur seberapa dekat negara-negara yang disurvei terhadap pemenuhan
target keberlanjutan yang telah disepakati secara internasional terkait
isu-isu lingkungan tertentu. Data dari
berbagai indikator yang dikumpulkan tersebut kemudian diolah dalam skor
dengan skala 0-100. Semakin tinggi skor, artinya konsep berkelanjutan
lingkungan yang diterapkan dianggap semakin baik. Menurut
laporan tersebut, Indonesia menempati peringkat 164, dengan skor keseluruhan
28,2. Berturut-turut skor Indonesia untuk tiap pilar yakni daya hidup
ekosistem 34,1, kesehatan 25,3, dan perubahan iklim 23,2. Dibanding skor
dari periode penilaian sebelumnya, EPI 2020, Indonesia mengalami penurunan di
semua kelompok penilaian. Berdasar EPI 2020 skor daya hidup ekosistem
Indonesia 43,7, kemudian kesehatan 29, dan perubahan iklim 54,4. Secara
total, skor Indonesia juga lebih baik yakni 37,8. Skor ini menempatkan
Indonesia di peringkat 116 kala itu, jauh lebih baik dari posisi terkini. Namun perlu
diingat pula bahwa EPI 2020 mengukur lebih sedikit indikator, sebanyak 32
indikator, pada 11 kategori isu. Negara-negara
Eropa Barat dan Eropa Timur menempati deretan teratas dari EPI 2022. Denmark
(skor 77,9), Inggris (77,7), Finlandia (76,5), Malta (75,2), dan Swedia
(72,7) menjadi lima negara teratas. Negara-negara Benua Biru secara umum mendominasi
peringkat 20 besar. Hal ini
dikarenakan negara-negara Eropa punya skema dan kebijakan perlindungan
lingkungan yang telah berjalan dan mengedepankan konsep berkelanjutan. Mereka
juga dianggap paling dekat dalam mencapai target emisi nol pada tahun 2050,
seperti yang telah disepakati di 2021 Glasgow Climate Pact. “Negara-negara
dengan skor tinggi memiliki program yang dipikirkan matang untuk melindungi
kesehatan masyarakat, melestarikan sumber daya alam, dan mengurangi emisi gas
rumah kaca,” ujar Peneliti Senior Columbia University Alex de Sherbinin, yang
juga salah seorang penyusun laporan ini dalam siaran pers, Rabu (1/6/2022). Namun, secara
umum, para peneliti laporan ini juga menyimpulkan bahwa dari data yang
dikumpulkan 10 tahun terakhir, progres global untuk mengurangi emisi gas
rumah kaca (GHG) masih tidak cukup untuk mencapai target emisi nol. Mayoritas
negara diperkirakan akan gagal. Negara-negara
dengan skor terbawah kebanyakan merupakan negara berkembang. Berturut-turut
India (skor 18,9), Myanmar (19,4), Vietnam (20,1), Bangladesh (23,1),
Pakistan (24,6) merupakan lima negara dengan skor EPI 2022 paling rendah. Sejumlah
negara dengan skor mendekati Indonesia ada Maroko (skor 28,4), Nepal (28,3),
Nigeria (28,2), dan Chad (28,1) yang mengisi peringkat 160 sampai 165. Sementara
melihat regional, Jepang (skor 57,2) menjadi negara dengan peringkat
tertinggi mewakili kawasan Asia Pasifik di peringkat 25, diikuti negara
tetangga Singapura (50,9) di peringkat 44. Indonesia dibanding negara-negara
Asia Pasifik berada di peringkat 20 dari 25 negara, hanya lebih baik dari
Myanmar, Filipina, Laos, Mongolia, dan Vietnam. Lebih lanjut
jika melihat peringkat negara-negara ASEAN, EPI 2022 menempatkan Indonesia di
peringkat delapan dari sepuluh negara. Namun, setidaknya Indonesia
menunjukkan tren peningkatan skor dalam 10 tahun terakhir, sementara Vietnam,
Myanmar, Filipina, dan Laos menunjukkan tren skor memburuk. Secara umum
laporan EPI 2022 juga menyimpulkan kalau negara-negara dengan peringkat rendah
adalah mereka yang sedang menghadapi krisis ataupun perang, dalam kasus ini
Myanmar dan Haiti. Kemungkinan lainnya, negara dengan peringkat rendah adalah
mereka yang memprioritaskan pertumbuhan ekonomi ketimbang kelestarian
lingkungan. India, Vietnam, Bangladesh, dan Pakistan, empat dari lima negara
terbawah masuk kategori ini. Masalah Kinerja Lingkungan Indonesia Masuk
peringkat 20 terbawah dari EPI 2022 tentu bukan tanda yang baik bagi
Indonesia. Seperti yang sudah disebut di atas, skor Indonesia memburuk di
semua pilar penilaian. Secara khusus,
laporan EPI 2022 juga menyoroti beberapa kategori yang bisa menjadi bahan
evaluasi bagi program lingkungan keberlanjutan di Indonesia. Pertama, soal
sampah plastik. Indonesia menghasilkan 1,4 juta ton plastik ke laut setiap
tahun. Angka ini setara dengan 16 persen total polusi plastik laut seluruh
dunia. Bersaing sedikit dengan India yang berkontribusi terhadap 13 persen
polusi plastik global. Catatan EPI
2022 bahkan menyebut lima produsen utama polusi plastik laut dunia;
Indonesia, India, Amerika Serikat, Brasil, dan Thailand bertanggung jawab
terhadap 43 persen polusi plastik laut dunia. Berita
baiknya, Indonesia dinilai sudah mengambil langkah positif terkait
permasalahan sampah plastik. Larangan ataupun retribusi kantong plastik
sekali pakai yang diterapkan menjadi upaya pengurangan limbah yang dirasa
baik. Perlu
diketahui bahwa per Januari 2021, menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK), ada 39 kota dan 2 provinsi yang mengeluarkan kebijakan
pembatasan penggunaan plastik, seperti dilansir dari Liputan6. Selain itu
pemerintah pusat juga menaruh komitmen sebesar 1 miliar dolar AS per tahun
untuk mengurangi limbah di perairan hingga 70 persen sampai 2025.
Kebijakan-kebijakan ini disebut memberi dampak positif. Menurut
laporan tersebut, total polusi plastik laut di Indonesia, antara tahun 2015
dan 2020, menunjukkan penurunan untuk pertama kalinya. KLHK tahun lalu juga
mengklaim bahwa sampah plastik tahun 2020 telah menurun menjadi 521.275,06
ton pada tahun 2020, dibanding 615.674,63 ton pada 2018. Ke depannya,
Indonesia dapat mencontoh negara seperti Korea Selatan yang selain menerapkan
pelarangan sejumlah jenis plastik sekali pakai, juga mendorong sistem
pengolahan sampah rumah tangga, dan sistem pertanggungjawaban dari produsen
plastik. Kategori
berikutnya yang perlu mendapat perhatian adalah sanitasi dan ketersediaan air
bersih. Air bersih dan sanitasi yang layak menjadi komponen penting bagi
kesehatan dan lingkungan berkelanjutan. Catatan
laporan EPI 2022, terdapat hampir 25 juta orang di Indonesia yang tidak
memiliki atau minim akses ke toilet. Hal ini menyebabkan pasokan air yang
terkontaminasi dan penyebaran penyakit seperti diare. Contoh nyata
bisa dilihat dari Sungai Citarum di Jawa Barat. Kotoran dan logam berat
mencemari sungai yang menjadi sumber kebutuhan air bagi masyarakat yang hidup
di sekitar sungai. Pemerintah
Indonesia telah menetapkan program pembersihan sungai setelah mendapat
tekanan dari organisasi internasional. Targetnya tahun 2025 air sungai dapat
menjadi sumber air minum. Meski begitu
EPI 2022 beranggapan, kerangka kerja yang terdesentralisasi dan penegakan
peraturan lingkungan yang buruk menjadi tantangan berikutnya yang perlu
diatasi untuk menuju perbaikan masalah kualitas air ini. Masih
berhubungan dengan air, kategori berikutnya yang mendapat perhatian adalah
perikanan. Praktik penangkapan ikan yang ilegal dan merusak, seperti jaring
trawl dan pengerukan berbahaya secara ekologis. Hal ini bisa mengurangi keanekaragaman
ekologis sekaligus meningkatkan emisi karbon, menurut laporan itu pula. Indonesia
masuk sebagai satu dari tujuh negara yang berkontribusi terhadap 50 persen
tangkapan ikan dunia. Meski tidak separah China ataupun Vietnam dalam
indikator ini, penguatan dalam penegakan penangkapan ilegal dan perusakan
biota laut dapat memberi dampak yang lebih baik bagi lingkungan. Indikator
terakhir yang mendapat perhatian adalah pertumbuhan emisi sulfur oksida (SO2)
dan nitrogen oksida (NOX). Dua emisi ini tidak hanya berdampak buruk bagi
kualitas udara tapi juga dapat memacu pengasaman hujan. Emisi di
negara besar seperti Indonesia (bersama dengan India) mendapat sorotan meski
pertumbuhannya melambat dalam satu dekade terakhir. Kedua emisi ini datangnya
dari pembakaran bahan bakar fosil yang banyak ditemukan di sektor
transportasi dan energi. Adopsi
kendaraan listrik dan perluasan pemanfaatan pembangkit energi terbarukan
dapat menjadi solusi menekan emisi. Di saat bersamaan, dua upaya ini juga
akan memberi dampak positif dalam upaya penanganan kualitas udara dan
mitigasi perubahan iklim. Pentingnya Pembangunan Ekonomi Berbasiskan Lingkungan Menanggapi
hasil riset EPI 2022, Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace
Indonesia Tata Mustasya mengatakan, kalau hasil ini mengkonfirmasi
permasalahan lingkungan di Indonesia akibat pembangunan ekonomi yang
berorientasi pertumbuhan dan eksploitasi sumber daya alam. “Pada saat
bersamaan aspek pengelolaan lingkungan sangat tertinggal dengan kecepatan pembangunan
ekonomi sehingga timbul berbagai masalah seperti tercemarnya air, tanah dan
persoalan pengelolaan sampah, termasuk juga masalah polusi udara,” ujarnya
saat dihubungi Tirto, Selasa (27/7/2022). Dia lalu
mengatakan permasalahan pelestarian lingkungan ini mulai memberi dampak
terhadap kesejahteraan masyarakat. Misalnya masalah kualitas udara bersih
yang mengganggu kesehatan sekelompok masyarakat, atau masalah sulitnya air
bersih yang membuat warga berpendapatan rendah perlu upaya lebih untuk bisa mengaksesnya. Lebih lanjut
dia juga mengatakan kalau kondisi performa lingkungan hidup yang rendah
seperti sekarang, akan membuat ekonomi Indonesia sulit untuk bisa maju secara
berkelanjutan. “Di dalam
laporan tersebut disebutkan kunci-kunci berkelanjutan: sumber keuangan, tata
kelola, pembangunan manusia, dan aturan perundang-undangan. Keempat hal
tersebut terkait dengan kepemimpinan dari pengambil kebijakan, misalnya dalam
soal tata kelola, peraturan perundang-undangan, dan pembangunan manusia,”
tambah dia lagi. Menurut Tata
pengambil kebijakan harus kreatif terkait sumber daya keuangan, di saat
bersamaan harus ada kerja sama dan dukungan juga dari negara maju. Dia juga
menekankan besarnya dampak lingkungan bagi perekonomian dan Produk Domestik
Bruto (PDB). “World
Economic Forum misalnya menyebutkan 44 triliun USD PDB dunia berisiko
terdampak krisis iklim. Ini sekitar separuh PDB dunia,” terangnya. Oleh sebab itu
menurut dia pertumbuhan ekonomi dengan memperhatikan dampak lingkungan harus
segera menjadi prioritas. Pemerintah
Indonesia juga sebenarnya bukan abai akan hal ini. Sejumlah inisiatif telah
digagas terkait pembangunan berkelanjutan atau pembangunan berbasiskan rendah
karbon. Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) misalnya telah menginisiasi pendekatan
Pembangunan Rendah Karbon Indonesia (Low Carbon Development Indonesia, LCDI)
sejak tahun 2017. Ini merupakan platform pembangunan yang bertujuan
mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan sosial melalui kegiatan beremisi GRK
rendah dan meminimalkan eksploitasi sumber daya alam. Pendekatan ini
juga telah diintegrasikan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RJPMN) 2020-2024. Sehingga pembangunan tidak lagi hanya berfokus dengan
penguatan ekonomi tapi juga mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung
lingkungan. Setidaknya ada
lima bidang prioritas pembangunan rendah karbon yang dijadikan program dalam
RJPMN 2020-2024. Mulai dari pembangunan fasilitas energi berkelanjutan dalam
rangka mengejar bauran EBT 23 persen, pengolahan limbah sebesar 339,4 juta
ton yang diharapkan dapat terakumulasi pada tahun 2024, pembangunan industri
yang tersertifikasi Standar Hijau Indonesia, program pemulihan 50 ribu
hektare lahan mangrove, sampai dengan pemulihan lahan yakni restorasi gambut
330 ribu/tahun dan peningkatan tutupan lahan 420 ribu/tahun. Program-program
ini tentunya menjadi langkah yang baik, apalagi Indonesia juga punya komitmen
untuk mencapai Nationally Determined Contribution (NDC) pada tahun 2030.
Indonesia berkomitmen untuk menurunkan target emisi gas rumah kaca (GRK)
tanpa syarat menjadi 29 persen dan bersyarat (dengan dukungan internasional)
menjadi 41 persen dibandingkan dengan skenario business-as-usual (BAU) pada
tahun 2030. Namun, Tata
dari Greenpeace menyoroti minimnya upaya memprioritaskan isu lingkungan dari
pemerintah. “Mulai dari
yang makro seperti penggunaan batubara sebagai sumber energi sampai lambatnya
usaha mengatasi polusi udara di kota-kota besar. Masalah air bersih juga, air
bersih dari pipa tidak kunjung menjadi mainstream, masyarakat masih
menggunakan air tanah yang sangat merusak lingkungan,” ujarnya menutup
perbincangan. ● |
Sumber
: https://tirto.id/indonesia-dapat-rapor-merah-untuk-keberlanjutan-lingkungan-guyW
Tidak ada komentar:
Posting Komentar