Pengorbanan untuk
Pendidikan Anggi
Afriansyah : Peneliti di Pusat Riset Kependudukan
BRIN |
REPUBLIKA, 26 Juli 2022
Pada pagi hari ketika
mengantar anak ke sekolah, penulis memperhatikan berbagai pola pengantaran
anak-anak ke sekolah. Ada yang menggunakan mobil, motor, transportasi daring
mobil dan motor, angkutan umum, sepeda, atau berjalan kaki. Ada anak-anak ke sekolah
secara mandiri dan lebih banyak yang diantar orang tua atau orang dewasa.
Tampak antusiasme kembali ke sekolah, baik dari orang tua maupun anak-anak.
Dalam konteks Indonesia, harapan terhadap sekolah memang masih tinggi. Situasi pandemi lalu
misalnya, menguatkan argumen betapa orang tua bergantung pada sekolah untuk
mendidik anak. Padahal, arena pendidikan bukan hanya di sekolah, melainkan
juga keluarga, komunitas, dan lain sebagainya. Mengantar anak ke sekolah
bisa jadi bukti cinta orang tua kepada anak. Dalam proses mengantar, ada
ragam harapan dititipkan. Semoga anak mendapatkan pendidikan terbaik.
Mengantar dan menjemput bukan perkara sederhana. Tak semua orang tua
memiliki kemewahan melakukannya. Bisa
jadi karena harus bekerja jauh dari rumah, sakit keras, atau harus bekerja
lebih pagi dan pulang lebih larut sehingga tak sesuai jadwal berangkat dan
pulang sekolah. Namun, orang tua yang
berketerbatasan tak perlu sedih. Ikatan dengan anak tetap terjalin saat orang
tua bersungguh-sungguh membuka komunikasi dengan anak. Apalagi yang punya
akses internet memadai sehingga setiap saat orang tua bisa berkomunikasi
dengan anak. Sama halnya ketika orang
tua memercayakan pendidikan anak ke pesantren atau memercayai anak menempuh
pendidikan di kota lain, karena fasilitas pendidikan di tempatnya tak
memadai, komunikasi masih dapat dijalin. Namun, bagi mereka yang
memiliki keleluasaan mengantar dan menjemput anak, harus mengoptimalkannya
untuk menjalin ikatan anak dan orang tua lebih erat. Anak dapat bercerita
yang mereka rasakan dan orang tua bisa mengerti keinginan anak. Jarak antara rumah dan
sekolah dapat menjadi ruang anak dan orang tua saling menguatkan. Pengorbanan Untuk wilayah perkotaan,
dari segi jarak tentu sekolah lebih dekat dengan rumah. Berbeda dengan
perdesaan atau bahkan di wilayah kepulauan. Tidak semua kecamatan di
Indonesia memiliki jenjang sekolah hingga level SMA atau SMK. Di masyarakat pesisir
misalnya, tak jarang siswa harus melintasi pulau. Mengandalkan perahu
tradisional untuk ke sekolah dan bergantung cuaca. Jika cuaca buruk, sekolah
terhenti. Jangan harap pendidikan
keluarga ala masyarakat perkotaan yang memiliki buku dan teknologi memadai
atau orang tua yang mengerti materi pelajaran. Pengorbanan keluarga miskin
untuk pendidikan begitu dahsyat. Demi pendidikan
berkualitas, orang tua mengorbankan banyak hal. Ada yang bekerja begitu keras
agar sang anak bersekolah di sekolah swasta berkualitas. Ada yang berpindah
ke kota agar anak-anaknya meraih pendidikan di sekolah negeri favorit. Ada ibu yang merelakan
karier demi mendidik anak-anak di rumah. Bahkan, ada yang menjual berbagai
aset. Pendidikan kini memang
berbiaya mahal. Namun, semua bertaruh untuk berinvestasi guna mendapat masa
depan gemilang. Dalam perspektif human capital theory disampaikan mengenai
rate of return on investment in education. Ada yang kembali dari
hasil investasi di bidang pendidikan. Dan narasi pendidikan sebagai bagian
dari human capital investment ini, lebih dominan dalam ruang pendidikan di
Indonesia (Mulyani dan Kuncoro, 2021). Namun, situasi problematis
terjadi karena iklim pendidikan di Indonesia masih cenderung membatasi
penduduk, yang memiliki keterbatasan akses meraih cita-citanya. Impitan
ekonomi membuat tak semua anak mendapat kesempatan yang sama untuk pendidikan
yang setara. Tak salah sosiolog kritis
menyebut, pendidikan sebagai arena reproduksi sosial yang timpang (Bourdieu
dan Passeron, 1977). Siapa yang memiliki kapital akan mampu mengakses ragam
kesempatan, sementara yang marginal tetap tertinggal. Peran pemerintah memberi
akses luas bagi anak-anak marginal untuk menggapai pendidikan sangat penting.
Penduduk marginal harus mendapat prioritas dari pemerintah. Dalam potret
lebih luas, gizi dan kesehatan anak miskin perlu diperhatikan. Merujuk Rencana Aksi
Kegiatan Direktorat Gizi dan Masyarakat Tahun 2020-2025, terdapat perbaikan
beberapa indikator gizi, tetapi ternyata Indonesia masih mengalami persoalan
beban gizi ganda karena tingginya prevalensi kurang gizi dan kelebihan gizi
saat bersamaan. Berkaca pada negara-negara
maju, prioritas pendidikan menjadi sangat utama. Kesadaran utama mengkreasi
penduduk yang cerdas untuk masa depan bangsa, sangat dominan sehingga
berbagai upaya dilakukan untuk pencerdasan anak bangsa. ● Sumber :
https://www.republika.id/posts/30271/pengorbanan-untuk-pendidikan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar