Urgensi OJK Dana
Sosial Raditya
Sukmana : Profesor Ekonomi Islam Universitas
Airlangga dan Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan DPP IAEI |
REPUBLIKA, 28 Juli 2022
Isu filantropi masih
menghiasi media massa dalam satu-dua pekan terakhir ini. Di satu pihak, dana
abadi sebagai bagian dari filantropi dibahas di seminar oleh Bank Indonesia
(BI) dalam rangkaian G-20, pada 14 Juli 2022 di Bali, yang dihadiri langsung
Gubernur BI Perry Warjiyo. Selain itu, hadir Presiden
Islamic Development Bank Muhammad Sulaiman Al Jasser secara daring. Intinya,
bagaimana dana abadi dioptimalkan untuk inklusi keuangan dengan bantuan
teknologi dan Indonesia mempunyai potensi besar untuk itu. Namun di sisi lain,
pembahasan kasus salah satu lembaga umat masih belum ada tanda penyelesaian.
Agar kejadian kurang baik ini tak terulang, tulisan ini mencoba menawarkan
usulan mendirikan regulator dana sosial. Terdapat tiga sisi
penting, yaitu kelembagaan, program, dan regulasi/standardisasi. Pertama,
sisi kelembagaan. Di Indonesia, ada tiga regulator yang memberikan izin
berbeda untuk aktivitas sosial yang kurang lebih sama, isu fakir miskin dan
kemanusiaan. Ketiganya adalah
Kementerian Sosial (Kemensos) untuk lembaga kemanusiaan, Baznas untuk lembaga
zakat, dan BWI untuk lembaga wakaf. Jika ketiganya menjadi satu, akan terjadi
efisiensi. Paling tidak, gedung yang awalnya tiga menjadi hanya satu. Gedung lain bisa dialihkan
untuk pelatihan kaum dhuafa dan lainnya. Contoh penggabungan yang berjalan
sangat baik adalah OJK, yang mencakup beberapa sektor, yaitu perbankan, pasar
modal, dan IKNB. Institusi ini menangani lembaga keuangan swasta dengan
sangat baik. Tiga regulator dana
sosial, yaitu Kemensos, Baznas, dan BWI juga dapat didesain seperti OJK. Bisa
dinamakan OJK dana sosial, yang meliputi sektor zakat, wakaf, dan
kemanusiaan. Kedua, dari sisi program.
Kita mempunyai Kementerian Pembangunan Desa Tertinggal (PDT) dengan mandat
membangun desa agar mandiri. Secara umum, desa tertinggal adalah desa yang
kekurangan dalam banyak hal, seperti gedung sekolah dan gedung kesehatan. Jika tiga regulator
bergabung, program bisa didesain sehingga pembangunan fisik didukung wakaf.
Biaya operasional guru, tenaga medis bisa didukung dana zakat dan infak, yang
tentunya mengikuti kaidah syar’i. Penulis yakin, selama ini
lembaga wakaf punya desa binaan tertentu demikian pula lembaga zakat sehingga
tak komprehensif. Lain cerita kalau tiga regulator jadi satu, bekerja sama
dengan Kementerian PDT mengembangkan desa tertinggal melalui wakaf, zakat,
sedekah. Ketiga, sisi regulasi dan
standardisasi. Kita mengetahui, Indonesia yang dimotori BI bekerja sama
dengan BWI dan Baznas telah membuat Zakat Core Principle (ZCP) dan Waqf Core
Principle (WCP). Intinya, keduanya merupakan pedoman tata kelola industri
zakat dan wakaf. Dokumen ini direkognisi
PBB dan Bank Dunia. Penulis percaya, jika diadopsi, tata kelola jadi sangat
baik dan lembaga filantropi yang melakukan kecurangan berkurang. Sebab di
dalamnya ada code of conduct, perihal etika sampai persyaratan kualifikasi
sertifikasi praktisi filantropi. Dengan potensi besarnya
zakat, wakaf, dan mauquf alaih, sepantasnya Indonesia punya badan
internasional yang mengeluarkan standardisasi dana sosial. Badan serupa untuk
keuangan syariah telah dimiliki Malaysia, namanya Islamic Finance Service
Board (IFSB). Standardisasi akuntansi
syariah dimiliki Bahrain, yang bernama Accounting and Auditing of Islamic
Financial Institution (AAOIFI). Penulis mengusulkan mulai
membuka wacana pendirian OJK dana sosial yang independen, terpisah dari
pemerintah. Institusi ini sejajar dengan OJK dan BI. Aneh kalau kita mengatur
dana deposan dengan regulasi ketat, tetapi dana fakir miskin kita atur dengan
tidak ketat. Pertanyaannya, apakah OJK
dana sosial ini jadi satu dengan OJK sekarang. Ini perlu kajian mendalam,
tetapi perlu diingat, OJK mengatur lembaga keuangan berorientasi laba, OJK
dana sosial berorientasi sosial. Jangan sampai, gagal bayar pengusaha ditutup oleh dana
sosial. Pertanyaan selanjutnya,
kualifikasi seperti apa yang ideal untuk mengisi personel OJK dana sosial?
Kita kembali pada empat kekuatan utama regulator, yaitu kekuatan memberikan
lisensi, membuat peraturan, memberikan hukuman, dan kekuatan menarik kembali
lisensi. Ini mensyaratkan ahli tata kelola khusus dana sosial, manajemen
risiko, manajemen strategi, etika, hukum, dan ahli lain yang relevan ditambah
ahli fikih. Karena itu, walaupun
penulis melihat penyatuan OJK dan OJK dana sosial tak masalah sepanjang tata
kelolanya bagus, tetapi dipisah akan lebih baik dan lebih fokus. ● Sumber :
https://www.republika.id/posts/30347/urgensi-ojk-dana-sosial |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar