Kebijakan Uang Ketat,
Pemadam Api Inflasi?
Candra Fajri Ananda : Staf Khusus Kementerian Keuangan Republik
Indonesia
SINDONEWS, 26
Juli
2022
KEJUTAN besar
terjadi pada finansial global dengan lonjakan angka Inflasi di berbagai dunia
yang kini menjadi salah satu ancaman bagi perekonomian dunia. Inflasi
diprediksi akan membakar perekonomian dunia pada 2022 jika tak mampu diredam
dengan baik. Data mencatata bahwa angka inflasi di negara Paman Sam – Amerika
Serikat – pada Juni 2022 telah mencapai 9,1% (yoy). Angka tersebut
merupakan inflasi tertinggi selama kurun waktu 41 tahun terakhir, demkian
juga inflasi di negara-negara Uni Eropa juga melambung tinggi, Inggris yang
mencapai 9,1%, Jerman 7,6%, Spanyol 10,2%, dan Italia 8,0%. Demikian juga
inflasi di Kanada sudah menyentuh 7,7% pada Mei 2022 dan diperkirakan masih
akan terus mengalami kenaikan dalam beberapa waktu ke depan. Sejatinya,
setiap kegiatan pembangunan ekonomi akan diikuti oleh terjadinya inflasi,
namun apabila inflasi yang tinggi dan berubah-ubah akan menghambat
pembangunan. Inflasi yang rendah dan stabil diperlukan dalam pembangunan
ekonomi nasional. Inflasi yang tinggi akan melemahkan daya beli masyarakat
yang selanjutnya berpengaruh pada penurunan kemampuan konsumsi masyarakat. Lonjakan
inflasi yang terlalu tinggi dan tidak diimbangi oleh pemerataan ekonomi akan
memperluas kemiskinan, bertambahnya tingkat pengangguran, dan akan
mengakibatkan penurunan kesejahteraan. Berkaca pada saat krisis moneter pada
1998, inflasi tertinggi Indonesia mencapai angka 77,63%. Kala itu, inflasi
mempunyai pengaruh besar pada penurunan daya beli masyarakat, peningkatan
pengangguran, dan peningkatan kemiskinan di Indonesia. Saat ini, di
tengah ancaman lonjakan inflasi, klaim tunjangan pengangguran Amerika Serikat
(AS) dilaporkan meningkat ke level tertinggi sejak delapan bulan terakhir.
Kondisi ini menunjukkan beberapa pendinginan di pasar tenaga kerja di tengah
kebijakan moneter yang lebih ketat serta tekanan kondisi keuangan. Departemen
Tenaga Kerja AS pada 21 Juli 2022 melaporkan tunjangan pengangguran negara
mencapai 351.000 untuk pekan yang berakhir 16 Juli. Angka ini
mencatatkan total tertinggi sejak 15 Januari 2022. Klaim pengangguran meningkat
karena terdapat banyak perusahaan yang mengumumkan pemutusan hubungan kerja
(PHK) di tengah ancaman inflasi dan meningkatnya kekhawatiran resesi. Tren
ini kian berlanjut tatkala Federal Reserve meningkatkan perjuangannya melawan
inflasi yang merajalela dengan beberapa kenaikan suku bunga terbesar dalam
beberapa dekade. Peningkatan
suku bunga adalah salah satu formula yang diyakini banyak pihak mampu menekan
angka inflasi. Pemerintah dan bank sentral di setiap negara tengah berjibaku
menjaga nilai uangnya agar tak tergerus oleh inflasi. Upaya mencari
keseimbangan ini menjadi seni tersendiri bagi kebijakan moneter. Demi
mengendalikan inflasi dan menyerap ekses likuiditas, beberapa bank sentral
dunia telah menyikapinya dengan mulai menaikkan suku bunga secara perlahan
dan menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM). Ketika suku bunga tinggi diharapkan
jumlah uang yang beredar akan lebih sedikit karena akan lebih banyak orang
yang menahan belanja dan memilih menabung. Apabila tingkat konsumsi turun,
maka diharapkan angka inflasi pun juga akan turun. Bank Sentral
AS, The Federal Reserve atau The Fed secara resmi pada Mei telah mengumumkan
kenaikan suku bunga acuan 50 basis poin atau 0,5% sebagai upaya lanjutan
dalam mengatasi inflasi tertinggi selama empat dekade. Kenaikan ini menyusul
peningkatan 0,25% suku bunga acuan yang sudah dilakukan The Fed pada Maret. Tak hanya AS
yang menaikkan suku bunga. Bank sentral Australia (Reserve Bank of
Australia/RBA) juga memberikan kejutan ke pasar finansial pada Mei 2022 dengan
kenaikan suku bunganya sebesar 25 basis poin menjadi 0,35%. Peningkatan ini
bakal berdampak meningginya biaya semua jenis pinjaman, termasuk hipotek,
kartu kredit sampai cicilan mobil. Hal ini diprediksi akan dapat meredam
permintaan dan aktivitas bisnis. Dengan adanya kenaikan suku bunga ini
diharapkan dapat membantu mengendalikan lonjakan inflasi di berbagai negara
tersebut. Utak-Atik Kebijakan Ekonomi Indonesia Guncangan
ekonomi akibat inflasi telah membawa Bank Dunia menurunkan perkiraannya
terhadap pertumbuhan global 2022 menjadi 3,2%. Penurunan tersebut didorong
oleh berbagai gejolak ekonomi termasuk tingginya inflasi yang terjadi di
berbagai negara. Jika dibandingkan dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi
global pada 2021 sebesar 5,7%, memang tak dipungkiri bahwa saat ini terjadi
pesimisme di tahun 2022. Di sisi lain,
meski dunia tengah menghadapi pesimisme atas ketidakpastian ekonomi yang
tengah terjadi, Asian Development Bank (ADB) justru merevisi perkiraan
pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2022 meningkat menjadi 5,2% dari
sebelumnya sebesar 5,0%. Hal itu karena permintaan dalam negeri yang masih
bagus dan pertumbuhan ekspor yang stabil. Meski masih
termasuk dalam kategori terkendali, Indonesia saat ini juga tetap perlu
waspada menghadapi inflasi yang semakin tinggi. ADB memperkirakan inflasi di
Indonesia di tahun ini akan lebih tinggi yakni sebesar 4,0% dibandingkan
dengan proyeksi ADB pada April sebesar 3,6% dipicu tingginya harga komoditas.
Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat bahwa tingkat inflasi tahunan
Indonesia pada Juni 2022 sebesar 4,35%. Tingginya
angka inflasi Indonesia tersebut sebagian besar dipengaruhi oleh kenaikan
harga pangan. Bila kenaikan bahan pangan tak segera diantisipasi, maka
inflasi berpotensi akan meningkat secara substansial dan fundamental.
Kecenderungan peningkatan inflasi semakin menguat seiring dengan semakin
meningkatnya permintaan. Saat ini, di
tengah berbagai negara berjibaku menurunkan angka inflasi melalui formula
peningkatan suku bunga, Bank Indonesia masih mempertahankan suku bunga acuan
di level 3,5% dalam RDG Mei 2022. Suku bunga deposit facility juga tetap
dipertahankan sebesar 2,75% dan suku bunga lending facility tetap sebesar
4,25%. Keputusan
tersebut konsisten dengan perkiraan inflasi inti yang masih terjaga di tengah
risiko dampak perlambatan ekonomi global terhadap pertumbuhan ekonomi dalam
negeri. Inflasi inti pada Juni 2022 tercatat masih berada pada level yang
rendah, yakni 2,63% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun
sebelumnya (yoy), di mana inflasi inti merupakan inflasi yang mencerminkan
antara keseimbangan permintaan dan penawaran di dalam ekonomi nasional.
Keputusan tersebut juga sejalan dengan upaya pemerintah dalam mendukung
pertumbuhan ekonomi di tengah naiknya tekanan eksternal terkait dengan
meningkatnya risiko stagflasi di berbagai negara. Bank Indonesia
memang masih belum mengeluarkan kebijakan kenaikan suku bunga untuk meredam
inflasi. Akan tetapi, BI tak segan akan mulai menaikkan suku bunga ketika
inflasi inti terus menanjak. Dari sisi nilai tukar, kinerja rupiah saat ini
masih cukup baik dibanding mata uang Asia lainnya. Tingginya
harga komoditas membuat neraca perdagangan Indonesia surplus pada 25 bulan
terakhir. Akibatnya, transaksi berjalan juga ikut surplus dan membuat pasokan
devisa mengalir ke dalam negeri. Kinerja rupiah pun tidak terlalu buruk,
bahkan pada akhir Semester I-2022 pada saat permintaan valuta asing biasanya
besar. Pada Kuartal II-2022, BI memperkirakan transaksi berjalan masih akan
surplus, melanjutkan surplus pada kuartal sebelumnya. Signifikansi Pengendalian Inflasi Ketidakpastian
ekonomi global diperkirakan masih akan terus berlanjut seiring dengan makin
mengemukanya risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan inflasi
global, termasuk sebagai akibat dari kian meluasnya kebijakan proteksionisme
terutama pangan yang ditempuh oleh berbagai negara. Oleh sebab
itu, pemerintah perlu terus berupaya melakukan pengendalian inflasi yang
dapat ditempuh melalui sinergitas berbagai instrument kebijakan, baik
kebijakan moneter maupun kebijakan fiskal. Selain itu, pengendalian inflasi
Indonesia di tengah proses pemulihan ekonomi sangatlah penting karena jika
inflasi terus melambung tinggi akan berdampak pada perilaku dan psikologis
masyarakat yang selanjutnya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Upaya yang
kini telah dilakukan pemerintah dari sisi fiskal untuk menjaga daya beli
masyarakat di tengah lonjakan inflasi melalui peningkatan subsidi dan bantuan
sosial sejatinya telah cukup efektif menjaga stabilitas ekonomi nasional,
namun hanya bersifat jangka pendek. Pemerintah perlu terus memikirkan upaya
yang berdampak jangka panjang dan berkelanjutan seperti peningkatan produksi
pangan nasional dan pengembangan energi alternatif. Selain itu di
sisi moneter, meski inflasi Indonesia masih terkendali, namun BI perlu terus
memperhatikan pergerakan inflasi, terutama terkait perubahan kebijakan
tingkat suku bunga acuan ketika diperlukan demi menjaga stabilitas ekonomi
nasional dan kesejahteraan masyarakat. Semoga. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar