Transformasi
Ekonomi Rakyat Suroto: Ketua
Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES); CEO Induk Koperasi Usaha
Rakyat (Inkur Federation) |
KOMPAS, 27 Juli 2022
Secara
struktural, ekonomi dualisme yang digambarkan oleh Profesor JH Boeke sejak
zaman kolonial Hindia Belanda hingga kini ternyata belum banyak mengalami
proses transformasi. Struktur pelaku ekonomi kita ternyata tetap sama,
terdiri dari lapisan pelaku ekonomi rakyat banyak dalam skala mikro kecil
yang bergerak di sektor pertanian dan perdagangan serta jasa kelas gurem dan
pelaku ekonomi modern segelintir di sektor industri, perdagangan, perkebunan,
serta pertambangan dan jasa. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan Usaha
Kecil Menengah tahun 2021, jumlah usaha mikro sebanyak 64 juta atau 99,6
persen dari total jumlah pelaku usaha di Indonesia. Jumlah usaha kecil
sebanyak 138.000 atau 0,35 persen dari total pelaku usaha. Sementara jumlah
usaha menengah hanya sebanyak 80.245 atau 0,05 persen dan usaha besar
sebanyak 5.600 atau 0,0006 persen dari total pelaku usaha yang ada. Kontribusi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM)
terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 63 persen (Kemenkop dan UKM,
2022). Namun, ketika kita periksa lebih dalam, kontribusi usaha mikro dan
kecil (UMK) sesungguhnya lebih kurang hanya 18 persen. Sisanya, 82 persen
ternyata dikuasai oleh usaha besar dan usaha menengah yang kebanyakan adalah
perusahaan perluasan dari usaha-usaha besar. Ekonomi kita secara agregat menjadi semakin
konsentratif dan membentuk pasar yang mendekati oligopolistik. Dalam berbagai
segmen industri bahkan mendekati pola pasar duopolistik atau hanya terdiri
atas dua pemain besar sebagai pengendali harga. Sementara ekonomi rakyat banyak yang bergerak di
lapis segmen kelas bawah, bersaing secara berdarah dengan nilai tambah yang
semakin kecil karena penetrasi usaha besar di segmen ekonomi yang selama ini
dikuasai oleh usaha rakyat banyak. Sebut misalnya dengan merangsek masuknya
usaha jaringan ritel yang semakin masif tak terkendali dan melanggar
regulasi. Dalam era digital ekonomi saat ini bahkan ekonomi
usaha besar dengan kekuatan investasi modal besarnya di sektor penguasaan
bisnis basis platform mulai masuk kuasai usaha ekonomi skala mikro dan kecil.
Penetrasi produk pabrikan dan terutama yang diproduksi dalam skala besar dan
disesuaikan dengan pola selera konsumen yang dibaca dengan teknologi
kecerdasan buatan (artificial intelligence) semakin menambah terpuruk sektor
industri rakyat. Usaha ekonomi rakyat menjadi semakin
termarjinalisasi dan motivasi pendiriannya lebih muncul karena negara tak
sanggup menciptakan pekerjaan bagi mereka, ketimbang sebagai pilihan utama.
Mereka semakin tersingkir dan hanya menjadi subordinat dari usaha-usaha skala
besar sebagai reseller atau mitra bisnis semu yang seluruh marjin
keuntungannya secara monopolistik ditentukan oleh mereka. Kebijakan politik ekonomi Sementara itu, justifikasi bagi pembentukan regulasi
dan kebijakan program yang dilakukan pemerintah saat ini bukan diarahkan
untuk proses transformasi besar-besaran agar proses partisipasi ekonomi
rakyat menjadi semakin kuat, tetapi terus-menerus langgengkan program
pembinaan. Seperti misalnya perluasan akses kredit, subsidi, bantuan, program
pendampingan, konsultasi, dan lain sebagainya yang telah terbukti gagal.
Seluruh program itu dalam praktiknya hanya menguntungkan para makelar program
lebih besar ketimbang memberikan manfaat bagi pelaku usaha mikro dan kecil. Sebut saja dalam program akses kredit bagi ekonomi
rakyat, dari total alokasi kredit perbankkan yang ada, untuk usaha skala
mikro yang mendominasi, misalnya, pada tahun 2021 nilainya ternyata hanya 3
persen dari total rasio kredit perbankan (BI, 2021). Alokasi ini pun
terealisasi dengan topangan subsidi bunga dan penjaminan kredit dari sumber alokasi
APBN yang jumlahnya puluhan triliun rupiah setiap tahun dalam program kredit
usaha rakyat (KUR). Model kebijakan politik ekonomi pemerintah telah
gagal melindungi kepentingan ekonomi rakyat banyak. Selain itu, Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang semestinya mampu menanggulangi masalah
persaingan usaha tidak sehat serta mencegah terjadinya monopoli dan
konsentrasi bisnis ke tangan segelintir orang atau pelaku usaha menjadi tak
punya gigi lagi di hadapan para mafia kartel bisnis di lapangan. Keadilan ekonomi yang semestinya menjadi indikator
keberhasilan lembaga persaingan usaha juga semakin jauh panggang dari api.
Menurut laporan lembaga riset Credit Suisse tahun 2021, rasio gini kekayaan
kita sebesar 0,77. Rata-rata orang dewasa kita 83 persen hanya memiliki
kekayaan di bawah Rp 150 juta. Sementara rata-rata dunia hanya 58 persen.
Mereka yang memiliki kekayaan di atas Rp 1,5 miliar hanya 1,1 persen,
sementara rata-rata dunia 10,6 persen. Upaya serius Melihat fakta di atas, upaya serius untuk melakukan
proses transformasi besar dalam dudukan ekonomi rakyat banyak agar berdaulat
menjadi kebutuhan mendesak. Sebab, jika tidak dilakukan bukan hanya akan
membahayakan bagi kepentingan ekonomi nasional, melainkan ekses politik yang
ditimbulkan akan mengganggu keberlanjutan dari pembangunan. Pertama, diperlukan perubahan paradigma dalam
menempatkan ekonomi rakyat. Ekonomi rakyat harus dipandang sebagai subyek
ekonomi dan bukan obyek program pembinaan. Ekonomi rakyat harus ditempatkan
sebagai yang mainstream dan supreme, utama. Ekonomi rakyat per definisi harus
ditegaskan sebagai bentuk partisipasi aktif rakyat dalam proses produksi,
distribusi, dan konsumsi. Kedua, sebagai bagian penting untuk memberikan dasar
kebijakan agar tidak salah sasaran, klasmopologi skala UMK semestinya
dipisahkan dengan kelompok usaha menengah dan besar (UMB). Ini juga penting
untuk membongkar berbagai kamuflase kebijakan ekonomi rakyat di lapangan. Ketiga, agar ekonomi dapat segera dinikmati dan
dikendalikan secara riil oleh rakyat banyak, BUMN dan BUMD juga perlu
didemokratisasi. Model kepemilikan negara perlu ditransformasi melalui
pemilikan langsung oleh rakyat. Selain perlu dibentuk segera kebijakan
pendukung ekonomi rakyat dalam bentuk penyerahan kepemilikan saham perusahaan
minimal 20 persen bagi buruh yang bekerja di perusahaan (empoyee share
ownership programme/ESOP). Keempat, perlu penegasan kebijakan secara imperatif
dalam bentuk regulasi konkret agar alokasi kredit untuk usaha mikro dan kecil
minimal 50 persen. Dengan begitu, fungsi bank bukan hanya sebagai
intermediasi, melainkan juga sebagai agen pembangunan. Kelima, perlu penegasan dalam regulasi lebih kuat
fungsi dari KPPU yang saat ini dalam posisi mandul dan terpreteli
kewenangannya untuk lakukan tindakan pencegahan ataupun penanganan kasus
persaingan usaha tidak sehat. Keenam, sebagai daya dukung berjalannya ekonomi
rakyat secara keseluruhan, perlu segera dibentuk UU Sistem Perekonomian
Nasional sebagaimana telah diamanahkan UUD 1945 Pasal 33 Ayat (5) dalam
kerangka demokratisasi ekonomi sebagai undang-undang payung bagi perlindungan
ekonomi rakyat keseluruhan ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/25/transformasi-ekonomi-rakyat |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar