Mengenang
Harimurti Kridalaksana Seorang ”Yogi” Bahasa yang Santun St
Sularto: Wartawan Senior |
KOMPAS, 26 Juli 2022
Memule atau
mengenang berbeda dengan obituari (berita lelayu). Memule Prof Dr Harimurti
Kridalaksana (82), meninggal 11 Juli 2022, berarti membangkitkan kembali
ingatan tentang almarhum. Harimurti bukan hanya pakar bahasa Indonesia, bukan
hanya pemerhati seperti biasa dia katakan, melainkan ia juga ”yogi”. Harimurti aktif di berbagai penelitian kebahasaan
dan organisasi keilmuan, di antaranya sebagai Ketua Presidium Pusat PMKRI,
1962. Ia ibarat pemain yoga yang bergulat dengan linguistik sekaligus menempa
mental di luar kebahasaan. Ia merambah tidak hanya dalam ilmu linguistik,
disiplin keahliannya—mengutip Daldiyono, Harimurti Kridalaksana dan bahasa
ibarat dua sisi mata uang—tetapi juga cabang-cabang ilmu linguistik, seperti
leksikografi (perkamusan), leksikologi (kosakata), dan semantik (kata dan
kalimat). Tidak langsung berhubungan dengan kebahasaan
Indonesia, ia memasuki wilayah politik bahasa, pengajaran bahasa Jawa, dan
sejarah bahasa Indonesia. Nama Harimurti Kridalaksana mungkin kurang populer
dibandingkan pakar bahasa Indonesia lain. Namun, di dunia pengembangan bahasa
Indonesia, nama dan keahlian Harimurti—lengkapnya Hubert Emanuel Harimurti
Kridalaksana—mendapat apresiasi. Dengan senyum dan tawanya, juga kegemarannya membuat
lelucon, sosoknya melekat di hati mereka yang pernah bersinggungan dengan
ilmuwan kelahiran Ungaran, Jawa Tengah, 23 Desember 1939, itu. Lulus sarjana sastra dari Fakultas Sastra
Universitas Indonesia (FSUI) tahun 1963, master didaktik bahasa dari
Universitas Pittsburgh tahun 1972, doktor susastra dari FSUI tahun 1987,
profesor ilmu linguistik dari fakultas yang sama tahun 1991, Harimurti
menulis lebih dari 100 karya ilmiah dan lebih dari 30 buku. Bahasa Indonesia lahir Harimurti meneliti dan menulis sejarah bahasa
Indonesia (Masa-masa Awal Bahasa Indonesia, 2018). Ia sudah lama ingin
menulis sejarah Bahasa Melayu-Indonesia karena banyak kisah para perintis
kemerdekaan dalam politik, tetapi dalam bidang perintisan bahasa Indonesia
kurang. Dalam buku setebal 108 halaman itu, ia menonjolkan
empat tokoh bahasa Indonesia yang meninggalkan ke-Melayu-an dan berpindah
ke-Indonesia-an secara evolusioner. Mereka yang dia sebut empat pendekar itu Ki Hadjar
Dewantara, Mohamad Tabrani, Soemanang, dan Soedarjo Tjokrowinoto. Selain itu,
ada tokoh lain, seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Poerbatjaraka, Sanoesi
Pane, dan Armijn Pane, yang sudah memikirkan bagaimana bangsa ini dapat
memiliki bahasa yang bukan hanya berfungsi sebagai alat pemersatu komunikasi,
melainkan juga bahasa kebudayaan cermin kedewasaan berbangsa. Menurut Harimurti, hari kelahiran bahasa Indonesia
adalah 2 Mei 1926, bukan 28 Oktober 1928. Sebab, pada 2 Mei 1926 itu,
Thabrani mengusulkan bahasa bangsa Indonesia haruslah bahasa Indonesia, bukan
bahasa Melayu (hlm 2), di tengah Kongres Pemuda I, 30 April-2 Mei 1926. Usulan diterima kongres. Dalam Kongres Pemuda II, 27
dan 28 Oktober, nama bahasa Indo- nesia disahkan sebagai bahasa persatuan
Indonesia (hlm 19). Harimurti mengutip biografi M Tabrani, Anak Nakal
Banyak Akal. Thabrani (1904-1984) lahir di Pamekasan, tokoh pergerakan,
pemrakarsa dan ketua kongres pertama tahun 1926. Dia juga menyertakan sejumlah sumber lain, di
antaranya dua buku yang dia tulis, Masa Lampau Bahasa Indonesia, Sebuah Bunga
Rampai (1991) dan The Prehistory of Languages, An Introductory Reader (1995). Dalam usaha meluruskan salah kaprah kelahiran bahasa
Indonesia, Harimurti memakai metode kerja keilmuan yang lazim: bertahun-tahun
mengumpulkan bahan dari sumber primer ataupun sekunder, mengendapkan, dan
menulisnya sebagai hasil kajian ilmiah. Keputusan kongres kedua yang disahkan sebagai Sumpah
Pemuda 1928 menyebut sumpah ketiga: bahasa persatuan adalah bahasa Indonesia
sesuai keputusan kongres pertama. Pengembangan Anton Moeliono sebagai Kepala Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa waktu itu—lembaga ini kemudian menjadi Pusat Bahasa, dan
sekarang Badan Bahasa—tegas menyatakan perlunya ada aturan tegas tentang
pemakaian bahasa Indonesia. Kalau pemakai dibiarkan bebas mengembangkan
sebagai sarana komunikasi, bahasa Indonesia bubrah. Ia sependapat dengan lebih santun mengatakan,
pengembangan bahasa merupakan perpaduan antar-aturan. Oleh karena itu, perlu
satu politik bahasa sebagai pedoman. Sarannya agar Pusat Bahasa menyediakan daftar
kosakata, di kemudian hari dipenuhi dan bisa diakses siapa pun. Tidak melibatkan diri secara langsung dalam wacana
perpolitikan bahasa, ia lebih menyampaikan kondisi bahasa Indonesia yang
berkembang. Pada tahun 1990-an, ia prihatin dengan membanjirnya kosakata
asing, padahal ada padanan dalam bahasa Indonesia. Tahap-tahap penerjemahan
diterabas, mengalihkan langsung berdasarkan kemiripan bunyi. Selain ratusan monografi dan puluhan buku, Harimurti
mewariskan lembaga terkait kebahasaan, seperti Lembaga Leksikografi dan
Leksikologi, Masyarakat Linguistik Indonesia, dan Royal Asiatic Society. Struktur Bahasa Jawa Kuna Wiwara Pengantar Bahasa dan Kebudayaan Jawa Harimurti tak melupakan subbidang ilmu linguistik,
di antaranya leksikografi, leksikologi, dan semantik. Ia terlibat dalam
penyusunan Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia
tahun 1988 yang ”dibidani” Anton Moeliono. Harimurti menyusun Kamus Linguistik, terbit pertama
1982. Kamus setebal 315 halaman itu banyak cetak ulang. Beberapa pengamat menyebut kamus ini salah satu
karya paling menarik dan inspiratif dari Harimurti sebab membantu banyak
pembelajar bahasa Indonesia yang kebingungan dengan perkembangan pesat bahasa
Indonesia. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/25/mengenang-harimurti-kridalaksana-seorang-yogi-bahasa-yang-santun |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar