Sang Tertuduh dan
Penghakiman Sepihak di Media Sosial KH. Rosyadi : Dosen UTM, pegiat Literasi Media Jawa Timur |
JAWA POS, 27 Juli 2022
KASUS
kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan, di manapun terjadinya,
selalu mengundang simpati. Orang cenderung bersikap spontan tatkala membaca
informasi awal mengenai kasus semacam itu: membela korban habis-habisan serta
mengecam dan “mengadili” terduga pelaku. Soal-soal yang paling dasar dalam
perkara hukum, seperti argumentasi logis dan pembuktian material, seolah tak
lagi diperlukan. Media,
khususnya media sosial (medsos) dan media daring memiliki kekuatan besar
untuk merasuki psikologi para pembacanya. Emotional contagion (penularan emosi)
terjadi sangat efektif melalui medsos. Kemarahan, kesedihan, dan kejengkelan
bisa langsung dirasakan orang sehabis membaca posting tentang isu kekerasan
dan pelecehan seksual terhadap perempuan. Apalagi jika dibumbui narasi-narasi
lain untuk memberatkan “kesalahan” pihak tertuduh. Siapapun yang
dituduh melakukan kekerasan dan pelecehan seksual pada perempuan, meskipun
baru dituduh, hampir otomatis sudah dinyatakan bersalah oleh pikiran
mayoritas orang. Pihak-pihak yang terkait dengannya pun, jika ingin selamat,
harus mau memutuskan hubungan mereka dengan si tertuduh. Jika tidak, ya bakal
turut dihakimi secara sepihak oleh pikiran orang-orang kebanyakan. Kasus tuduhan
kekerasan -meskipun tak bernuansa seksual- yang diduga dilakukan aktor Johny
Depp kepada pasangannya, Amber Heard, beberapa waktu lalu, bisa menjadi
contoh betapa dahsyatnya penghakiman sepihak semacam itu. Pemberitaan tentang
tuduhan kekerasan kepada Johny membuatnya dibombardir oleh berbagai posting
dan komentar negatif netizen di medsos. Dampaknya, Johny kehilangan kontrak
kerja dengan berbagai perusahaan film selama bertahun-tahun. Padahal, belum
pernah ada keputusan pengadilan manapun yang membuktikan dirinya bersalah. Hidup Johny
seolah habis. Medsos dan media daring menjadi senjata ampuh untuk
“menghabisi” karirnya. Ia sempat putus asa. Untunglah Johny punya semangat
untuk membuktikan diri tidak bersalah. Ia menggugat Amber Heard dan
berbulan-bulan menjalani persidangan di tengah cercaan mayoritas publik,
meski ada juga yang bersimpati. Ujungnya kita tahu: Johny menang. Keputusan
pengadilan membersihkan nama bintang “Pirates of the Caribbean” itu dari
tuduhan keji. Tapi, Johny
mungkin hanya ada di Amerika. Saya tak bisa membayangkan ada orang Indonesia
yang setegar dirinya tatkala dirundung penghakiman sepihak oleh publik.
Apapun jenis kasusnya. Sebab, di sini, saat orang yang dituduh melakukan
kekerasan (seksual) terhadap perempuan menggunakan haknya untuk melakukan
pembelaan diri, penghakiman sepihak yang dilakukan publik justru berpotensi
semakin menjadi-jadi dan lebih mengerikan. Publik kita
tak melihat perlunya mendengarkan versi berbeda dari apa yang sudah terlebih
dulu masuk dalam kepala. Medsos menjadi alat brain wash (cuci otak) yang
efektif. Bahkan, muncul keluhan dari sebagian kalangan bahwa aktivitas
tabayyun (klarifikasi dan verifikasi informasi) ke orang yang dianggap
mendapatkan infomasi keliru, saat ini sulit dilakukan lantaran “iman” orang
tersebut pada postingan medsos atau pemberitaan media daring sudah sedemikian
tebal. Jika tidak
percaya, lihatlah komentar-komentar netizen di berbagai postingan medsos
dalam kasus-kasus dugaan kekerasan atau pelecehan seksual di tanah air.
Sebagian besar netizen terkesan merasa mengantongi kebenaran walau mereka
belum memiliki informasi pembanding atas tuduhan yang mereka komentari. Jika
ada pembelaan diri selogis dan sefaktual apapun dari sang tertuduh, sudah
hampir pasti disambut dengan penolakan, sumpah serapah dan hujatan. Situasi
menjadi lebih kompleks apabila dalam sebuah kasus dugaan kekerasan atau
pelecehan seksual terdapat pihak kontra tertuduh (belum tentu sang pelapor
atau terduga korban) yang secara aktif mengorganisasikan tim medsos
-profesional ataupun probono- guna meramaikan penghakiman sepihak di medsos.
Dalam praktik permedsosan dewasa ini, hal semacam itu lazim terjadi. Para
pihak yang berkepentingan menggunakan medsos untuk menghancurkan reputasi
sang lawan. Tujuannya, tentu untuk mempengaruhi proses penyelesaian kasus
yang sedang berjalan. Medsos telah
menjadi mesin propaganda yang sempurna di era yang disebut post-truth ini, di
mana kebohongan gampang disamarkan sebagai kebenaran. Dalam teori propaganda,
kebohongan yang diulang-ulang atau dalam bahasa medsos-nya “diviralkan”, pada
akhirnya akan diterima sebagai kebenaran. Celakanya, mereka yang merasa sudah
mengantongi kebenaran tak memandang lagi perlunya membuka ruang di dalam
pikiran untuk mewadahi masuknya informasi pengimbang. Salah satu
kasus aktual di dalam negeri yang menarik untuk melihat betapa dahsyatnya
penghakiman sepihak di sosmed adalah dugaan pencabulan yang terjadi di Kota
Batu, Jawa Timur. Dalam kasus tersebut, seorang pembina yayasan yang menaungi
sebuah SMA terkenal di sana dilaporkan dengan tuduhan melakukan melakukan
pelecehan seksual kepada seorang (mantan) siswa di sana. Walaupun
banyak terdapat kejanggalan dalam narasi-narasi yang dibuat pelapor maupun
LSM yang ikut mengkampanyekan kasus tersebut (misalnya tentang laporan kasus
yang dibuat 12 tahun setelah kejadian yang dituduhkan terjadi), publik
netizen sepertinya sudah mengetuk palu vonis bahwa sang pembina yayasan pasti
bersalah. Produksi
konten-konten Youtube, Reel, Instagram, tentang kasus tersebut kebanyakan
langsung menggiring pemirsanya untuk mengecam si tertuduh. Siapapun yang
mengetengahkan narasi pembanding, entah melalui konten terpisah maupun
melalui komen atas konten yang mengetengahkan story dari pelapor, harus
siap-siap mendapatkan komen respon yang lebih keras dari netizen. Beberapa bulan
sebelumnya, juga terjadi kasus dimana tuduhan kekerasan dan pelecehan seksual
yang dilontarkan seorang pekerja media di Jakarta terhadap karyawan bagian
distributor di kantor tempatnya bekerja. Cerita tentang tuduhan percobaaan
perkosaan itu disajikan sang penuduh secara detail di twitter sehingga
memantik amarah netizen yang membacanya. Penghakiman sepihak secara
ramai-ramai pun terjadi. Publik yang marah mencemooh tertuduh bahkan sampai
melakukan doxing (pembocoran data-data pribadi yang seharusnya dijaga
kerahasiaannya). Pemimpin
redaksi media tersebut, yang dinarasikan tidak kooperatif dalam upaya
pengungkapan kasus, juga ikut menuai kecaman ramai-ramai di medsos.
Akibatnya, sebuah rencana ekspedisi keliling Indonesia yang melibatkan sang
pemimpin redaksi buru-buru dibatalkan oleh penggagas kegiatan tersebut.
Mungkin lantaran ia tak ingin terkena “getah” penghakiman sepihak atas kasus
tersebut. Tuduhan
pelecehan seksual itu sendiri berdampak teruk pada tertuduh dan keluarganya.
Anak perempuan tertuduh yang terganggu oleh berbagai postingan medsos memilih
berhenti dari sekolah. Walau kemudian sang tertuduh mencoba membela diri
dengan berbagai argumen logis dan valid, bahkan menunjukkan bukti-bukti
dirinya kooperatif saat diminta keterangan oleh lembaga yang mengusut kasus
tersebut, netizen seolah bergeming. “Stempel” bersalah itu bak telah
tertancap di dahi sang tertuduh dan sulit dicabut kembali. Konten atau
narasi di medsos memang tergolong ampuh untuk menyulut emosi publik. Sebuah
postingan yang mampu mengaduk-aduk emosi adalah bara yang siap mengobarkan
kemarahan. Penelitian yang dilakukan Ferrara (2015) dan Ferrara & Yang
(2015) mengonfirmasi betapa mudahnya membakar emosi orang melalui postingan
media sosial. Postingan medsos yang dikemas dengan narasi emosional hampir
selalu berhasil dalam memicu perasaan yang sama bagi pembacanya. Pemviralan
konten tentang sebuah kasus pelecehan seksual secara “berat sebelah” ibarat
menyiram “bensin” kemarahan netizen sehingga melegitimasi penghakiman sepihak
oleh publik. Jika di jaman
jaya-jayanya media cetak para wartawan akrab dengan istilah trial by the
press (penghakiman oleh pers), maka yang terjadi di jagad digital saat ini
sebetulnya tak terlalu jauh berbeda. Hanya saja, jika dulu pelaku penghakiman
sepihak hanyalah kelompok media ataua pewarta, saat ini penghakiman sepihak
dilakukan secara kolaboratif oleh pembuat konten dan netizen konsumen medsos. Dampak dari
trial by the social media (penghakiman oleh medsos) yang merajalela saat ini
bahkan bisa lebih merusak dari trial by the press. Apabila penghakiman
sepihak oleh content creator dan netizen terhadap seorang tertuduh ternyata
terbukti keliru di pengadilan, tak ada kewajiban bagi mereka yang telah
menularkan emosi di medos untuk memuat hak jawab atau hak koreksi dari sang
tertuduh. Informasi keliru yang sudah
kadung meracuni publik pun tak bisa sekonyong-konyong mereka luruskan.
Perlu waktu panjang untuk membersihkan puing-puing kehancuran yang disebabkan
oleh penghakiman sepihak di jagad maya. Dalam kacamata
ajaran moral atau agama, penghakiman sepihak -apalagi disertai caci maki dan
sumpah serapah- kepada orang lain hanya berdasarkan sebuah versi informasi
tanpa disertai infromasi pembanding bukanlah bentuk akhlak yang baik.
Menyematkan “stempel” bersalah pada orang yang belum jelas letak
kesalahannya, merupakan kezaliman. Agar tak termasuk dalam
golongan orang-orang zalim, publik perlu membudayakan lagi aktivitas tabayyun
seraya mengumpulkan infomasi sebanyak-banyaknya sebelum mengambil kesimpulan
atas sebuah kasus. Karena itu, kadang-kadang perlu juga menyimak dengan
seksama penjelasan orang-orang yang tengah “dihabisi” oleh medsos. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar