Quo
Vadis Rehabilitasi Mangrove Daniel
Murdiyarso: Guru Besar IPB, Peneliti Utama
Cifor |
KOMPAS, 27 Juli 2022
Tanggal 26 Juli merupakan Hari Mangrove Sedunia.
Hampir seperempat mangrove dunia yang tersisa—sekitar 14 juta hektar—saat ini
berada di Indonesia. Mangrove menyedot perhatian banyak pihak ketika
istilah ”karbon biru” diperkenalkan lebih dari satu dekade lalu. Dengan label
karbon dan berwarna menarik ini, mangrove mendapat tempat terhormat dalam
berbagai konvensi dan perjanjian internasional, termasuk Konvensi Ramsar dan
Konvensi Perubahan Iklim. Betapa tidak, posisinya yang unik, yang berada di
kawasan pesisir dan menyimpan sejumlah besar cadangan karbon (3-5 kali dari
cadangan karbon hutan daratan yang terlebat) membuat mangrove memiliki peran
ganda dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Aksi ganda yang nyata sangat dianjurkan Perjanjian
Paris. Mangrove memiliki potensi besar untuk mengatasi dampak kenaikan muka
laut bagi penduduk dan kawasan pesisir yang landai. Selain itu, cadangan karbon
yang besar merupakan calon utama untuk mencapai target penurunan emisi dalam
agenda Nationally Determined Contributions (NDC) jika emisi bisa dihindari. Gagal paham, salah fokus Ingar-bingar seputar mangrove yang sekarang tinggal
separuh dari luasannya 40 tahun silam memang lebih tepat merupakan peringatan
yang membuat kita prihatin ketimbang perayaan. Apalagi timbul utopia
seolah-olah mangrove yang kita tanam hari ini akan melakukan keajaiban dalam
1-2 tahun mendatang karena akan menyerap sejumlah besar karbon dari atmosfer. Seperti anakan pohon lain, anakan mangrove yang
kecil dan lemah itu dalam setahun hanya tumbuh beberapa sentimeter dan
menyerap beberapa kilogram karbon saja per hektar. Kita sering gagal paham
bahwa keajaiban mangrove sebenarnya terletak pada kemampuannya dalam
menyimpan karbon dalam kurun waktu puluhan bahkan ratusan tahun silam. Jumlahnya bisa mencapai ratusan ton per hektar.
Proses penyerapan karbon (sequestration) dan kapasitas menyimpan karbon
(storage capacity) karbon adalah dua konsep yang berbeda. Karena itu, kita juga salah fokus dalam mengupayakan
keberadaan mangrove di garis pantai kita yang 90.000-an kilometer, kedua
terpanjang setelah Kanada. Seharusnya fokus kita mempertahankan sisa mangrove
tua (old growth) yang ada, sebab di sanalah tersimpan harta karun emas biru
yang berumur ratusan tahun. Konservasi mangrove yang ada memiliki rasio
manfaat-biaya/benefit-cost ratio yang lebih tinggi dibandingkan restorasi
atau rehabilitasi. Apalagi risiko kegagalan rehabilitasi yang sangat besar,
baik risiko lingkungan biofisik maupun risiko sosial yang menyertainya. Rehabilitasi mangrove Indonesia memang bukan satu-satunya negara yang
memasukkan karbon biru mangrove dan kawasan pesisir ke dalam NDC. Namun,
boleh jadi Indonesia negara pertama yang responsif melihat perkembangan
keadaan melalui pelembagaan program rehabilitasi mangrove secara formal
dengan mentransformasi Badan Restorasi Gambut (BRG) yang hadir segera setelah
COP15 di Paris menjadi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) awal 2021. BRGM diberi mandat merehabilitasi mangrove yang
kritis atau rusak seluas lebih dari 600.000 hektar sampai 2024 atau sekitar
150.000 hektar/tahun. Target ini sangat ambisius karena 10 kali lipat
kemampuan dua Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional terakhir yang
capaian maksimumnya 1.500 hektar/tahun. Meskipun dalam rangka Pemulihan Ekonomi Nasional
semasa pandemi, percepatan rehabilitasi mangrove tahun 2021 mencapai 34.000
hektar, semua itu adalah laporan luas penanaman. Keberhasilan dalam arti
survival rate rehabilitasi belum bisa diverifikasi. Akuntabilitas program Karena itu, sistem monitoring, reporting, dan
verifikasi (MRV) rehabilitasi mangrove perlu dibangun dan diimplementasikan
secara transparan sehingga masyarakat mengetahui efektivitas penggunaan dana
publik. Sistem MRV yang andal dan transparan perlu untuk meningkatkan
kredibilitas dan akuntabilitas program rehabilitasi mangrove. Jangka waktu
pemantauan selama lima tahun dapat diusulkan mengingat tingginya risiko biofisik
lingkungan dan risiko sosial di kawasan sekitarnya. Merehabilitasi ekosistem mangrove bukan kegiatan
cocok-tanam jenis tertentu secara monokultur. Persyaratan lokasi tumbuh harus
diperhatikan, termasuk sistem tata air yang memungkinkan terjadinya
percampuran air tawar dan air asin yang sesuai dengan persyaratan tumbuh
jenis tertentu. Demikian juga dengan jenis lumpur atau substrat yang akan
ditanami. Menjaga keanekaragaman hayati mangrove dan keutuhan
ekosistem karbon biru yang tersambung seperti padang lamun menjadi taruhan
program rehabilitasi mangrove. Jika perpaduan antara konservasi dan
rehabilitasi mangrove dapat dilakukan secara cerdik, tidak tertutup
kemungkinan Indonesia memimpin dalam penggunaan karbon biru mangrove sebagai
solusi berbasis alam. Sebuah posisi yang layak disandang pemilik mangrove
terbesar di dunia. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/26/quo-vadis-rehabilitasi-mangrove |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar