Senin, 01 Agustus 2022

 

Makna Kunjungan Jokowi ke Tiongkok

Ahmad Syaifuddin Zuhri: Mahasiswa PhD Hubungan Internasional Central China Normal University (CCNU), Direktur Sino-Nusantara Institute, Rais Syuriah PCINU Tiongkok

MEDIA INDONESIA, 28 Juli 2022

 

                                                

 

KUNJUNGAN Presiden Jokowi ke Tiongkok pada 26 Juli ini menjadi kunjungan yang sangat penting di sela tur ke negara Asia Timur lainnya, yakni Jepang dan Korea. Kunjungan ke Tiongkok itu menjadi kunjungan kelima Jokowi selama menjabat sejak 2014. Dalam lima kali kunjungan ke Tiongkok, itu ialah kunjungan yang sangat istimewa. Kunjungan yang dilakukan langsung secara bilateral, bukan di sela pertemuan multilateral. Seperti sebelumnya, pada forum APEC 2014, BOAU Forum 2015, KTT G-20 2016, dan Belt and Road Forum 2017.

 

Dalam catatan kunjungan internasional Jokowi, setidaknya itu menjadi kunjungan yang ke-77. Tiongkok menjadi negara terbanyak yang dikunjungi. Kunjungan itu sekaligus kunjungan pertama yang diterima Xi Jinping pasca-Olimpiade Musim Dingin Beijing Februari lalu.

 

Dikutip dari Antara Biro Beijing pada Senin (25/7), juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok (MFA) Zhao Lijian di Beijing mengatakan itu memang kunjungan tingkat tinggi pertama yang diterima Tiongkok, setelah Olimpiade Musim Dingin di tengah ketatnya peraturan mereka terhadap kontrol pandemi.

 

Penguatan relasi Tiongkok-Indonesia, dalam dialog tingkat tinggi dan membentuk pola baru kerja sama Fourth Wheel Drive, empat pilar: politik, ekonomi, kebudayaan, dan maritim. Penekanan kerja sama itu juga disebutkan dalam pertemuan Presiden Jokowi dan PM Li Keqiang pada Selasa (26/7) sore di Beijing.

 

Perdagangan

 

Di tengah pandemi yang belum berakhir sejak 2020, pertumbuhan nilai dagang Indonesia ke Tiongkok meningkat cukup signifikan. Indonesia menduduki peringkat ketiga eksportir ASEAN ke Tiongkok pada 2021, naik dari sebelumnya peringkat 5 pada 2019.

 

Data dari Bea Cukai Tiongkok 2021 menunjukkan, total nilai perdagangan Indonesia dengan Tiongkok pada 2021 mencapai US$124,34 miliar dengan angka pertumbuhan mencapai 58,43% jika dibandingkan dengan capaian tahun sebelumnya.

 

KBRI Beijing pada awal tahun ini merilis nilai ekspor Indonesia ke Tiongkok tahun ini mencapai US$63,63 miliar, tumbuh 70,02% jika dibandingkan dengan total nilai ekspor Indonesia ke Tiongkok 2020. Sementara itu, nilai impor Indonesia dari Tiongkok dalam periode ini juga tumbuh positif sebesar 47,87% atau mencapai US$60,71 miliar ketimbang total nilai impor tahun sebelumnya.

 

Produk unggulan Indonesia yang mengalami peningkatan nilai ekspor hingga di atas 100%, di antaranya bahan bakar mineral, produk turunan nikel, produk industri penggilingan, produk keramik, logam mulia, olahan dari sayuran, mutiara alam, mutiara budi daya, dan olahan daging ikan, seperti yang dilansir Antara (2/2).

 

Pasar di Tiongkok memang sangat potensial. Populasi yang besar dan meningkatnya kalangan menengah di Tiongkok menyebabkan kebutuhan akan barang konsumsi sangat tinggi. Mereka mencari produk-produk premium, terutama yang tidak bisa diproduksi di negaranya. Keunggulan produk negara tropis menjadi daya tarik tersendiri, terutama produk pertanian seperti buah-buahan, biji-bijian, dan perikanan.

 

Sejak 2018, pemerintah Tiongkok memfasilitasi lewat China International Import Expo tahunan di Shanghai. Pameran produk impor dari negara-negara di dunia untuk dipamerkan. Tak mengherankan jika produk-produk belahan dunia banyak ditemukan di e-commerce, mal, supermarket besar, hingga minimarket pinggir jalan.

 

Peluang besar untuk Indonesia ialah produk pertanian dan perikanan, kompetitor terdekat Indonesia dari ASEAN yang kuat ialah Vietnam, Thailand, dan Malaysia.

 

Investasi

 

Investasi Tiongkok di Indonesia semakin lama semakin besar, dari investasi di bidang pertambangan, energi, infrastruktur, manufaktur, otomotif, dan jasa. Dilansir dari CNBC Indonesia (20/7), nilai investasi Tiongkok sebesar US$2,3 miliar pada kuartal II 2022 melonjak 260% ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya. Singapura yang menjadi peringkat pertama dalam menggelontorkan investasi sebesar US$3,1 miliar pada kuartal II 2022.

 

Walaupun begitu, investasi Tiongkok yang makin lama makin besar juga menghadapi tantangan tersendiri. Itu terutama terkait dengan tersedianya tenaga kerja lokal yang terampil, isu tenaga kerja Tiongkok, dan masih adanya kesenjangan budaya kerja yang berbeda. Setidaknya, itu yang penulis temukan ketika riset pada 2019 terkait dengan hal tersebut.

 

Dampak multiplier ekonomi kepada masyarakat sekitar cukup signifikan. Kurangnya tenaga kerja lokal terampil bisa dijembatani dengan peningkatan pelatihan atau kerja sama dengan sekolah vokasi.

 

Satu contoh di Jawa Tengah, awal 2022, penulis menemukan salah satu perusahaan manufaktur Tiongkok berbasis ekspor dengan nilai investasi di atas Rp1 triliun dengan kebutuhan ribuan tenaga kerja.

 

Untuk mengurangi kesenjangan kemampuan tenaga kerja, mereka membuat khusus pelatihan bagi calon karyawan, kerja sama dengan sekolah vokasi, dan transfer teknologi dengan membuat unit khusus riset dan pengembangan. Dalam perbedaan budaya kerja lokal, mereka mengakomodasi salah satunya dengan mendirikan tempat ibadah yang sangat representatif.

 

Maritim dan budaya

 

Kerja sama kedua negara tak bisa lepas dari sejarah budaya dan maritim. Saat ini, di luar angka-angka statistik perdagangan dan investasi, yang sangat penting ialah penguatan hubungan antarwarga kedua negara atau people-to-people connection. Hubungan itu menjadi fondasi terciptanya kekuatan jangka panjang relasi dua negara.

 

Masih ingat bagaimana ketika hubungan kedua negara mengalami pemutusan hubungan pada 1960-an hingga 1990-an. Hubungan antarwarga kedua negara bisa dibilang satu-satunya yang eksis dan menjadi tumpuan hingga akhirnya bisa berkontribusi untuk membuka kembali hubungan erat di awal 1990-an.

 

Dalam Prakarsa Satu Sabuk Satu Jalan atau Belt and Road Iniative (BRI), Xi Jinping, setelah dikukuhkan jadi presiden, bahkan memulai kunjungan ke luar negeri pertamanya ke Indonesia dan pidato di depan parlemen pada 2013.

 

Pentingnya hubungan penguatan budaya antarmasyarakat itu dalam skema BRI tidak hanya berhenti dalam wacana. Di luar skema pembangunan infrastruktur dan ekonomi global, kebudayaan antarwarga juga menjadi prioritas.

 

Salah satu misal, di bawah Kementerian Kebudayaan Tiongkok, mereka mempunyai program konservasi warisan budaya maritim di sepanjang kota pesisir timur, ada 28 kota atau region yang membentuk City Alliances of Maritime Silk Road Conservation and World Heritage (CAMSR).

 

Saat ini, mereka aktif mengajak kota atau daerah di negara-negara di selatan khususnya yang mempunyai hubungan budaya dengan Tiongkok untuk bekerja sama. Indonesia menjadi salah satunya. Karena peninggalan dan kebudayaan Nusantara sangat erat dengan jalur sutra maritim untuk nantinya mendaftarkan warisan budaya ke UNESCO.

 

Salah satu contoh, Guangzhou, yang mengembangkan dan memasukkan cagar budaya Masjid Huaisheng dan makam Saad bin Abi Waqqash. Masjid pertama di Tiongkok yang dibangun pada abad ke-7 Masehi dan masih eksis ke salah satu prioritas untuk menjadi salah satu warisan dunia jalur sutra maritim.

 

Penulis yang juga menjadi Global Fellow Partner CAMSR untuk Indonesia, melihat potensi warisan dunia maritim di Nusantara sangat besar dan potensial untuk bisa dikembangkan dan dikolaborasikan. Potensi yang bisa menggerakkan wisata, ekonomi, dan perlindungan kebudayaan sekaligus.

 

Potensi budaya antarwarga itu juga bisa menjadi salah satu cara mengurangi dampak dari masih adanya mispersepsi di sebagian kalangan masyarakat Indonesia dalam melihat Tiongkok. Tentunya, di luar itu semua, kunjungan tingkat tinggi antardua negara itu menjadi salah satu contoh kerja sama bilateral yang saling menguntungkan. Tak hanya bagi kedua negara, tapi juga untuk menjadi penggerak ekonomi global yang sedang menurun pascapandemi.

 

Sumber :  https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/2514-mengantar-nyawa-di-penjara-anak

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar