Makna
Kunjungan Jokowi ke Tiongkok Ahmad
Syaifuddin Zuhri:
Mahasiswa PhD Hubungan Internasional Central
China Normal University (CCNU), Direktur Sino-Nusantara Institute, Rais
Syuriah PCINU Tiongkok |
MEDIA INDONESIA, 28 Juli 2022
KUNJUNGAN Presiden Jokowi ke Tiongkok pada 26 Juli
ini menjadi kunjungan yang sangat penting di sela tur ke negara Asia Timur
lainnya, yakni Jepang dan Korea. Kunjungan ke Tiongkok itu menjadi kunjungan
kelima Jokowi selama menjabat sejak 2014. Dalam lima kali kunjungan ke Tiongkok,
itu ialah kunjungan yang sangat istimewa. Kunjungan yang dilakukan langsung
secara bilateral, bukan di sela pertemuan multilateral. Seperti sebelumnya,
pada forum APEC 2014, BOAU Forum 2015, KTT G-20 2016, dan Belt and Road Forum
2017. Dalam catatan
kunjungan internasional Jokowi, setidaknya itu menjadi kunjungan yang ke-77.
Tiongkok menjadi negara terbanyak yang dikunjungi. Kunjungan itu sekaligus
kunjungan pertama yang diterima Xi Jinping pasca-Olimpiade Musim Dingin
Beijing Februari lalu. Dikutip dari
Antara Biro Beijing pada Senin (25/7), juru bicara Kementerian Luar Negeri
Tiongkok (MFA) Zhao Lijian di Beijing mengatakan itu memang kunjungan tingkat
tinggi pertama yang diterima Tiongkok, setelah Olimpiade Musim Dingin di
tengah ketatnya peraturan mereka terhadap kontrol pandemi. Penguatan
relasi Tiongkok-Indonesia, dalam dialog tingkat tinggi dan membentuk pola
baru kerja sama Fourth Wheel Drive, empat pilar: politik, ekonomi,
kebudayaan, dan maritim. Penekanan kerja sama itu juga disebutkan dalam
pertemuan Presiden Jokowi dan PM Li Keqiang pada Selasa (26/7) sore di
Beijing. Perdagangan Di tengah
pandemi yang belum berakhir sejak 2020, pertumbuhan nilai dagang Indonesia ke
Tiongkok meningkat cukup signifikan. Indonesia menduduki peringkat ketiga
eksportir ASEAN ke Tiongkok pada 2021, naik dari sebelumnya peringkat 5 pada
2019. Data dari Bea
Cukai Tiongkok 2021 menunjukkan, total nilai perdagangan Indonesia dengan
Tiongkok pada 2021 mencapai US$124,34 miliar dengan angka pertumbuhan
mencapai 58,43% jika dibandingkan dengan capaian tahun sebelumnya. KBRI Beijing
pada awal tahun ini merilis nilai ekspor Indonesia ke Tiongkok tahun ini
mencapai US$63,63 miliar, tumbuh 70,02% jika dibandingkan dengan total nilai
ekspor Indonesia ke Tiongkok 2020. Sementara itu, nilai impor Indonesia dari
Tiongkok dalam periode ini juga tumbuh positif sebesar 47,87% atau mencapai
US$60,71 miliar ketimbang total nilai impor tahun sebelumnya. Produk
unggulan Indonesia yang mengalami peningkatan nilai ekspor hingga di atas
100%, di antaranya bahan bakar mineral, produk turunan nikel, produk industri
penggilingan, produk keramik, logam mulia, olahan dari sayuran, mutiara alam,
mutiara budi daya, dan olahan daging ikan, seperti yang dilansir Antara
(2/2). Pasar di
Tiongkok memang sangat potensial. Populasi yang besar dan meningkatnya
kalangan menengah di Tiongkok menyebabkan kebutuhan akan barang konsumsi
sangat tinggi. Mereka mencari produk-produk premium, terutama yang tidak bisa
diproduksi di negaranya. Keunggulan produk negara tropis menjadi daya tarik
tersendiri, terutama produk pertanian seperti buah-buahan, biji-bijian, dan
perikanan. Sejak 2018,
pemerintah Tiongkok memfasilitasi lewat China International Import Expo
tahunan di Shanghai. Pameran produk impor dari negara-negara di dunia untuk
dipamerkan. Tak mengherankan jika produk-produk belahan dunia banyak
ditemukan di e-commerce, mal, supermarket besar, hingga minimarket pinggir
jalan. Peluang besar
untuk Indonesia ialah produk pertanian dan perikanan, kompetitor terdekat
Indonesia dari ASEAN yang kuat ialah Vietnam, Thailand, dan Malaysia. Investasi Investasi
Tiongkok di Indonesia semakin lama semakin besar, dari investasi di bidang
pertambangan, energi, infrastruktur, manufaktur, otomotif, dan jasa. Dilansir
dari CNBC Indonesia (20/7), nilai investasi Tiongkok sebesar US$2,3 miliar
pada kuartal II 2022 melonjak 260% ketimbang periode yang sama tahun
sebelumnya. Singapura yang menjadi peringkat pertama dalam menggelontorkan
investasi sebesar US$3,1 miliar pada kuartal II 2022. Walaupun
begitu, investasi Tiongkok yang makin lama makin besar juga menghadapi
tantangan tersendiri. Itu terutama terkait dengan tersedianya tenaga kerja
lokal yang terampil, isu tenaga kerja Tiongkok, dan masih adanya kesenjangan
budaya kerja yang berbeda. Setidaknya, itu yang penulis temukan ketika riset
pada 2019 terkait dengan hal tersebut. Dampak
multiplier ekonomi kepada masyarakat sekitar cukup signifikan. Kurangnya
tenaga kerja lokal terampil bisa dijembatani dengan peningkatan pelatihan
atau kerja sama dengan sekolah vokasi. Satu contoh
di Jawa Tengah, awal 2022, penulis menemukan salah satu perusahaan manufaktur
Tiongkok berbasis ekspor dengan nilai investasi di atas Rp1 triliun dengan
kebutuhan ribuan tenaga kerja. Untuk mengurangi
kesenjangan kemampuan tenaga kerja, mereka membuat khusus pelatihan bagi
calon karyawan, kerja sama dengan sekolah vokasi, dan transfer teknologi
dengan membuat unit khusus riset dan pengembangan. Dalam perbedaan budaya
kerja lokal, mereka mengakomodasi salah satunya dengan mendirikan tempat
ibadah yang sangat representatif. Maritim dan
budaya Kerja sama
kedua negara tak bisa lepas dari sejarah budaya dan maritim. Saat ini, di
luar angka-angka statistik perdagangan dan investasi, yang sangat penting
ialah penguatan hubungan antarwarga kedua negara atau people-to-people
connection. Hubungan itu menjadi fondasi terciptanya kekuatan jangka panjang
relasi dua negara. Masih ingat
bagaimana ketika hubungan kedua negara mengalami pemutusan hubungan pada
1960-an hingga 1990-an. Hubungan antarwarga kedua negara bisa dibilang
satu-satunya yang eksis dan menjadi tumpuan hingga akhirnya bisa
berkontribusi untuk membuka kembali hubungan erat di awal 1990-an. Dalam
Prakarsa Satu Sabuk Satu Jalan atau Belt and Road Iniative (BRI), Xi Jinping,
setelah dikukuhkan jadi presiden, bahkan memulai kunjungan ke luar negeri
pertamanya ke Indonesia dan pidato di depan parlemen pada 2013. Pentingnya
hubungan penguatan budaya antarmasyarakat itu dalam skema BRI tidak hanya
berhenti dalam wacana. Di luar skema pembangunan infrastruktur dan ekonomi
global, kebudayaan antarwarga juga menjadi prioritas. Salah satu
misal, di bawah Kementerian Kebudayaan Tiongkok, mereka mempunyai program
konservasi warisan budaya maritim di sepanjang kota pesisir timur, ada 28
kota atau region yang membentuk City Alliances of Maritime Silk Road
Conservation and World Heritage (CAMSR). Saat ini,
mereka aktif mengajak kota atau daerah di negara-negara di selatan khususnya
yang mempunyai hubungan budaya dengan Tiongkok untuk bekerja sama. Indonesia
menjadi salah satunya. Karena peninggalan dan kebudayaan Nusantara sangat
erat dengan jalur sutra maritim untuk nantinya mendaftarkan warisan budaya ke
UNESCO. Salah satu
contoh, Guangzhou, yang mengembangkan dan memasukkan cagar budaya Masjid
Huaisheng dan makam Saad bin Abi Waqqash. Masjid pertama di Tiongkok yang
dibangun pada abad ke-7 Masehi dan masih eksis ke salah satu prioritas untuk
menjadi salah satu warisan dunia jalur sutra maritim. Penulis yang
juga menjadi Global Fellow Partner CAMSR untuk Indonesia, melihat potensi
warisan dunia maritim di Nusantara sangat besar dan potensial untuk bisa
dikembangkan dan dikolaborasikan. Potensi yang bisa menggerakkan wisata,
ekonomi, dan perlindungan kebudayaan sekaligus. Potensi
budaya antarwarga itu juga bisa menjadi salah satu cara mengurangi dampak
dari masih adanya mispersepsi di sebagian kalangan masyarakat Indonesia dalam
melihat Tiongkok. Tentunya, di luar itu semua, kunjungan tingkat tinggi
antardua negara itu menjadi salah satu contoh kerja sama bilateral yang
saling menguntungkan. Tak hanya bagi kedua negara, tapi juga untuk menjadi
penggerak ekonomi global yang sedang menurun pascapandemi. ● Sumber :
https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/2514-mengantar-nyawa-di-penjara-anak |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar