Hijrah dari
Islamofobia Yaqut Cholil Qoumas : Menteri Agama RI |
JAWA POS, 29 Juli 2022
BESOK umat
Islam memasuki Tahun Baru Islam 1 Muharam 1444 Hijriah, bertepatan dengan 30
Juli 2022. Kalender Hijriah identik dengan penanggalan umat Islam. Tepat bila
momentum pergantian tahun Hijriah ini dijadikan sebagai tonggak kebangkitan
Islam untuk makin maju. Setiap pergantian tahun layak dijadikan momentum
evaluasi diri tentang perjalanan hidup setahun yang lalu dan merancang
kehidupan baru yang akan datang. Hijrah
merupakan cerita tentang titik balik kehidupan sosok yang diagungkan umat
Islam, yakni Nabi Muhammad SAW. Figur yang tidak mengenal fobia sedikit pun,
entah terhadap bangsa asing (xenophobia) ataupun terhadap agama dan keyakinan
saat itu. Nabi SAW tidak pernah menganggap agama lain sebagai musuh. Nabi
mengajak umatnya menjadi umat terbaik (khaira ummat) dan selalu
berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat). Hijrah sejatinya
kisah tentang perjuangan. Kekasih-Nya pun harus berjuang. Hidup dan pilihan
hidup harus diperjuangkan. Kesuksesan tidak ada yang tiba-tiba turun dari
langit. Perjalanan hijrah juga soal keimanan dan ketauhidan. Jika sudah
diperintahkan, seluruh perintah-Nya harus dijalankan dengan penuh keyakinan.
Dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Hijrah juga
merupakan cerita tentang visi, misi, dan strategi kehidupan manusia. Jika
kehidupan ini mentok, pikirkan untuk berhijrah sebagai salah satu solusinya.
Tentu hijrah dalam pengertiannya yang otentik dan ikhlas. Pindahnya Nabi
Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah inilah yang disebut hijrah. Hijrahnya
Rasulullah SAW tidak sekadar bergeser tempat, tetapi juga berubah mindset
(cara pikir) untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Hijrah Nabi Sebelum
hijrah, perjuangan Nabi Muhammad SAW di Makkah lebih dari sepuluh tahun
(611–622 H) stagnan dan mendapatkan tantangan luar biasa. Banyak cara yang
ditempuh oleh pemimpin Quraisy untuk mematikan dakwah Islam. Bujuk rayu, diplomasi,
boikot ekonomi, intimidasi, hingga kekerasan fisik pernah dialami Nabi dan
pemeluknya. Sebelum hijrah
ke Madinah, Nabi pernah beradu nasib ke Thaif, kota di atas bukit dan lebih
ramah cuacanya. Mungkin penduduknya lebih ramah daripada suku Quraisy di
Makkah. Tetapi, apa daya, Nabi diusir dari kota itu dan bahkan dilempari
batu. Nabi Muhammad SAW kelara-lara hatinya. Masjid Qu’ dan kebun Addas di
Thaif menjadi saksi sejarah hijrah yang belum sesuai harapan. Keadaan
berubah ketika Nabi SAW hijrah ke Madinah (622–632 H). Di kota itu Nabi
beserta kaum Muhajirin disambut dengan sukacita oleh penduduk Madinah (kaum
Anshar). Muhajirin dan Anshar disatukan oleh akidah. Mereka bersaudara dan
bahu-membahu mendakwahkan Islam secara ramah dan beradab. Setelah
hijrah, umat Islam mulai berkembang dan mempunyai posisi yang baik. Umat
Islam tumbuh menjadi satu komunitas yang kuat, mandiri, dan disegani. Madinah
–yang dulunya bernama Yastrib– menjadi pusat penyebaran Islam ke seluruh
dunia. Penduduknya relatif berbudaya mondial, terbuka, sopan, dan beradab. Di dalam
menerima ajaran Islam, penduduk Madinah telah meriset terlebih dahulu tentang
siapa yang membawa risalah dan bagaimana ajaran Islam tersebut. Penduduk
Madinah pernah mengirim utusan ke Makkah untuk mempelajari ajaran Nabi
Muhammad SAW dan sekaligus berbaiat kepadanya. Spirit Hijrah Di awal saya
nyatakan, Nabi Muhammad SAW merupakan sosok pemberani. Sifat tersebut
diwariskan kepada para sahabatnya. Tetap tegar berdakwah meski dirundung
berbagai masalah. Sepuluh tahun berdakwah di Makkah, pemeluk Islam tidak
makin bertambah. Justru permusuhan, kebencian, dan ketakutan orang Quraisy
terhadap Islam kian menjadi-jadi. Tepat jika disebut kaum Quraisy mengidap
Islamofobia akut saat itu. Apa yang dilakukan
Rasulullah SAW? Tetap berdakwah dengan cara yang santun. Strategi baru juga
dilakukan, misalnya dengan hijrah ke Ethiopia atau ke Thaif. Tetapi, strategi
hijrah itu tidak berhasil. Bahkan, yang sangat menarik, terhadap pembenci
Islam, Rasulullah SAW tidak pernah berdoa buruk untuk mereka. Allahummahdzi
qaumi fainnahum la ya’lamun (Ya Allah, berilah kaumku petunjuk karena mereka
tidak tahu). Inilah permakluman Nabi. Saat terjadi
peristiwa fathu Makkah (Makkah dikuasai umat Islam), Rasulullah dan para sahabatnya
tidak balas dendam kepada kaum Quraisy. Ketika diusir dan dilempari batu
hingga jubahnya berlumuran darah oleh penduduk Thaif, Nabi hanya berdoa yang
menggetarkan penduduk langit. Melihat Nabi mengalami luka fisik dan hati,
Malaikat Jibril berkata: ”Allah mengetahui apa yang terjadi padamu. Malaikat
penjaga gunung siap menunggu perintahmu.” Apa kata
malaikat penjaga gunung: ”Ya Muhammad, in syikta an uthbiqa ’alaihim
al-Akhsyanain” (Ya Muhammad, jika engkau mau, akan aku timpakan Gunung
Akhsyabain untuk penduduk Thaif). Apa jawaban Rasulullah SAW: ”Jangan. Aku
berharap mereka akan melahirkan keturunan yang beribadah kepada Allah SWT dan
tidak menyekutukan-Nya.” Rasulullah melawan Islamofobia dengan akhlak yang
mulia. Islamofobia
juga pernah dirasakan bangsa Barat, tapi penyebabnya berbeda. Islamofobia
kaum Quraisy disebabkan anggapan bahwa Islam akan mengancam keberlangsungan
keyakinan mereka, termasuk efek sosial, politik, dan ekonominya. Tetapi,
Islamofobia di Amerika dan Eropa terjadi karena wajah Islam tampil dalam rupa
yang buruk. Intoleransi, ekstremisme, dan terorisme dipraktikkan di
mana-mana. Kebanyakan pelakunya adalah umat Islam. Celakanya, Barat
menggeneralisasi seolah semua umat Islam adalah intoleran. Padahal, mayoritas
umat Islam tasamuh terhadap berbagai perbedaan. Dalam konteks
Indonesia, kita yakin tidak ada Islamofobia di sini. Indonesia mayoritas
muslim. Sangat aneh dan tidak mungkin seorang muslim fobia dengan Islam.
Islamofobia yang belakangan disuarakan kelompok Islam tertentu sejenis barang
mainan yang dijajakan menjelang momentum politik. Islamofobia sekomoditas
dengan jualan politik identitas yang pernah dipraktikkan saat pilkada DKI
Jakarta. Pada saat yang sama, kita berharap fobia terhadap agama lain juga
perlu dikikis. Nabi Muhammad
SAW telah mewariskan kepada sahabatnya mental pemenang dan pemberani. Nabi
menitipkan mental hijrah kepada umatnya, yakni mental berani menghadapi
berbagai situasi yang baru akibat perubahan mindset, tempat, dan tantangan
baru. Nabi tidak mengajarkan mental pecundang bagi umatnya. Karena itu, umat
Islam tidak punya fobia terhadap apa pun lantaran keyakinan bahwa Allah SWT
selalu bersama kita. Sebagai manusia, pasti kita
punya rasa takut atau khawatir. Persis seperti sikap Abu Bakar ketika persembunyiannya
saat hijrah bersama Rasulullah SAW nyaris ditemukan tentara Quraisy. Abu
Bakar merasakan takut, tetapi Allah SWT menguatkan dengan menyatakan
(At-Taubah: 40): ”La tahzan innallaha ma’ana (Janganlah bersedih,
sesungguhnya Allah bersama kita).” Selamat Tahun Baru Islam 1 Muharam 1444
Hijriah. ● Sumber
: https://www.jawapos.com/opini/29/07/2022/hijrah-dari-islamofobia/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar