Strategi Penguatan
Kebijakan Merdeka Belajar
Dewi Oktaviani : Analis
Kebijakan Ahli Muda
Lembaga
Administrasi Negara (LAN)
SINDONEWS, 28
Juli
2022
KEBIJAKAN
dalam dunia pendidikan tengah dihadapkan pada perubahan kebijakan kurikulum.
Ironisnya belum maksimalnya kebijakan pendidikan sering kali hanya karena
adanya pergantian pimpinan. Ganti pemimpin ganti pula kebijakan pendidikan. Istilah yang
beredar di kalangan masyarakat pada saat adanya pergantian pimpinan “Ganti
Presiden, Ganti Menteri, Ganti Kebijakan” menjadi benar adanya. Seperti
hadirnya kebijakan Merdeka Belajar yang diluncurkan Mendikbudristek Nadiem
Makarim. Merdeka
Belajar bertujuan mengembalikan otoritas pengelolaan pendidikan kepada
sekolah dan pemerintah daerah dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
program pendidikan. Namun mereka harus tetap mengacu pada prinsip-prinsip
kebijakan Merdeka Belajar yang ditetapkan pemerintah pusat untuk mencapai
tujuan nasional pendidikan. Filosofi
lahirnya kebijakan Merdeka Belajar (sejak 2020) diharapkan menjadi solusi
terhadap kondisi belum meratanya kualitas pendidikan Indonesia. Termasuk
capaian hasil Survei PISA (2018) bahwa Indonesia menduduki posisi 10 terbawah
dari 79 negara yang berpartisipasi serta kerangka pembelajaran agar dapat
maju dan sejahtera pada 2030 (OECD Learning Compass 2030). Tidak hanya itu,
bahkan akibat Pandemi Covid-19, pendidikan Indonesia juga mengalami learning
loss yang cukup besar. Kebijakan Merdeka
Belajar ini pun telah diusung pada Presidensi G20 “Recover Together, Recover
Stronger” (Sherpa Track) yang salah satu agenda pembahasannya mengusung
bidang Pendidikan. Empat agenda prioritas tersebut dikemas ke dalam Kebijakan
Merdeka Belajar. Kebijakan ini pun dilengkapi dengan episode-episode Merdeka
Belajar (sudah 21 Episode -Juli 2022-) yang masih terus dilakukan
penyempurnaan agar menjadi lebih baik, lebih merata, dan tidak konservatif. Sayangnya
sikap positif Mendikbudristek terhadap kebijakan Merdeka Belajar ini tidak
dibarengi dengan persiapan dan kecepatan di lapangan. Akibatnya kebijakan ini
lebih terkesan matang dikonsep tetapi belum siap diterapkan. Seperti yang
terjadi pada SMPN 3 Cepogo, Boyolali. Mereka baru mendapatkan sosialisasi
kebijakan Merdeka Belajar (secara umum) pada awal April 2022 melalui zoom
meeting yang ditujukan kepada semua sekolah se-kabupaten, termasuk guru-guru
yang hanya membahas tentang kurikulum darurat (penyederhanaan kurikulum
2013). Sedangkan episode Merdeka Belajar lainnya (terutama mengenai sistem
aplikasi dan kurikulum) secara detail harus browsing melalui internet secara
mandiri. (FGD dengan Kepala Sekolah SMPN 3 Cepogo, Boyolali April 2022). Permasalahan di Lapangan Penerapan
kebijakan Merdeka Belajar dalam implementasinya dilapangan memang masih
banyak ditemukan permasalahan, khsususnya dalam penyederhanaan kurikulum.
Sebaiknya, Kemendikbud harus memberikan petunjuk yang jelas untuk semua
sekolah dalam menentukan kurikulum. Jangan sampai
anak didik tidak terpenuhi materi substansi penting sebagai bekal untuk naik
ke jenjang selanjutnya, hanya karena ada pilihan (kurikulum 2013 secara
penuh, kurikulum darurat, kurikulum merdeka). Implementasi kebijakan Merdeka
Belajar ini, mungkin dapat dikatakan belumlah siap secara keseluruhan.
Terutama mengenai Episode Merdeka Belajar yang hingga kini masih terus
dilakukan penyempurnaan. Hal ini karena
masih banyaknya daerah yang sarana dan prasarana belum memadai. Seperti
sinyal internet masih ada yang belum memiliki koneksi baik (terkendala
kondisi geografis) hingga belum siapnya SDM untuk mengoperasionalisasikan
apikasi yang ada. Akibatnya sekolah tidak mendapat sosialisasi yang baik
terkait tahapan yang harus dilakukan dalam Merdeka Belajar. Bahkan terkait
dengan sekolah penggerak, guru penggerak, dan penggunaan aplikasi (salah
satunya pencairan dana BOS) belum maksimal. Sosialisasi guru penggerak dan
sekolah penggerak baru sebatas cara mendaftarkan diri. Terlebih
adanya dua tahapan yang harus dilalui dan berbagai persyaratan yang harus
dipenuhi untuk lolos. Jika lolos berarti harus menjadi sekolah penggerak
minimal selama 4 tahun. Pemetaan Peran Stakeholder Pembagian
peran dan kontribusi stakeholders dalam kebijakan Merdeka Belajar tampak
belum terpetakan (stakeholders mapping) dengan baik. Padahal anggaran
pendidikan (20% dari APBN yakni Rp542,83 triliun) selalu mengalami kenaikan
dalam setiap tahun. Anggaran
tersebut tersebar di beberapa instansi. Kemendikbudristek 13,4%, Kemenag
(10,3%), kementerian/lembaga lainnya (4,4%), transfer ke daerah dan dana desa
(53,6%), anggaran pendidikan BA BUN (5,5%), dan pengeluaran pembiayaan 12,8%
(materi FGD Kemendikbudristek, Maret 2022). Pemetaan
stakeholder ini menjadi penting terutama pembagian peran dan kontribusi dari
setiap instansi yang mendapatkan anggaran fungsi pendidikan tersebut. Dengan
demikian Kemendikbudristek tidak seperti bekerja sendiri dalam menjalankan
fungsi pendidikan di Indonesia. Peran instansi lain jelas sangat diperlukan
dalam mewujudkan Merdeka Belajar. Strategi Penguatan Untuk
meminimalisir permasalahan kebijakan Merdeka Belajar sebaiknya sosialisasi
harus dilakukan sejak 2020 lalu. Terutama sejak dituangkan ke dalam Renstra
Kemendikbud 2020-2024 yang telah disesuaikan dengan Peta Jalan Pendidikan
Indonesia 2020-2035. Kebijakan
Merdeka Belajar yang didukung dengan episode-episode Merdeka Belajar, memang
bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan secara cepat. Terlebih ke depannya
cenderung akan banyak menggunakan aplikasi-aplikasi yang membutuhkan jaringan
sinyal/internet, sedangkan di beberapa daerah masih banyak terkendala. Seperti
jaringan internet yang kurang baik (terutama di daerah 3T). Sebaiknya
Kemendikbudristek harus membuka kerjasama dengan Kemenkominfo untuk
memperluas jaringan internet di daerah-daerah. Selain itu, kesiapan SDM
(terutama di daerah) untuk mengoperasionalisasikan sistem aplikasi (salah
satunya aplikasi pencairan dana BOS) harus didukung pelatihan dari
Kemendikbudristek. Ke depan dalam
proses operasionalisasinya akan menjadi lebih masif dan tidak
sepotong-sepotong oleh user (pihak sekolah). Bahkan, untuk sekolah penggerak
dan guru penggerak pun, untuk mencapai pendidikan berkualitas dalam Merdeka
Belajar juga harus dipercepat baik dalam sosialisasi maupun prosesnya (episode
kebijakan Merdeka Belajar memiliki keterkaitan satu dengan lainnya). Tidak hanya
itu, dengan adanya pemetaan pembagian peran dan kontribusi insansi yang
memiliki anggaran fungsi pendidikan juga memerlukan adanya keterlibatan
stakeholder lain. Seperti, Kantor Staf Presiden yang dapat berperan untuk
mengawasi kualitas substansi materi pendidikan. Terkait mutu
pendidikan, juga dapat bekerjasama dengan pemerintah daerah, lembaga swadaya
masyarakat dan masyarakat umum. Sedangkan untuk peranan pembangunan dan penyediaan
sarana prasarana dan infrastruktur, dapat bekerjasama dengan pihak swasta dan
pemerintah daerah secara intens. Untuk peranan
perlindungan bagi peserta didik, maka kerjasama juga dapat melibatkan peran
pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan,
serta unsur dari masyarakat sendiri. Sedangkan
peranan kesehatan, jelas harus ada keterlibatan Kementerian Kesehatan,
pemerintah daerah, serta keterlibatan dari masyarakat. Hal ini menjadi sangat
perlu, terutama untuk mendukung posisi kebijakan Merdeka Belajar dalam Peta
Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035 demi mewujudkan pendidikan berkualitas. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar