Sesar Baribis & Dua Gempa Bumi yang
Pernah Mengguncang Batavia Omar Mohtar : Kontributor Tirto.id |
TIRTO.ID, 29 Juli 2022
Akhir Juni
lalu, muncul banyak pemberitaan mengenai salah satu sesar yang berada di
selatan Jakarta dan potensinya yang dapat memicu gempa bumi. Sesar yang
dimaksud adalah Sesar Baribis. Dalam studi
“Analisis Geomorfologi Tektonik Sistem Sesar Baribis di Daerah Majalengka dan
Sekitarnya” yang terbit dalam jurnal Gunungapi dan Mitigasi Bencana Geologi
(Vol. 5, No. 2, Juli 2013), Aminudin Hamzah dkk. menyebut, “Sistem Sesar
Baribis merupakan salah satu sistem sesar naik utama yang berkembang di Jawa
Barat dan pertama kali dicetuskan oleh Martodjojo (1984).” Pangkal dari
ramainya pemberitaan mengenai Sesar Baribis ini adalah terbitnya hasil
penelitian yang dilakukan oleh S. Widiyantoro. P. Supendi, dan kawan-kawan
yang berjudul “Implications for Fault Locking South of Jakarta from an
Investigation of Seismic Activity along the Baribis Fault, Northwestern Java,
Indonesia” (PDF). Studi yang
terbit di jurnal Scientific Reports (16 Juni 2022) itu menyebut bahwa potensi
seismik Sesar Baribis bagian timur tercatat lebih tinggi dibandingkan bagian
barat. Bagian barat Sesar Baribis sendiri melewati bagian selatan wilayah DKI
Jakarta. Meski demikian, kemungkinan terjadinya gempa bumi di wilayah bagian
barat Sesar Baribis di masa depan tetaplah ada. Penelitian
tersebut juga menyebut beberapa gempa bumi yang pernah mengguncang dan
merusak Batavia. “Data historis
menunjukkan bahwa bangunan-bangunan di Batavia (sekarang Jakarta) pernah
hancur oleh gempa bumi yang merusak pada 1699, 1780, dan 1834. Dua gempa
terakhir kemungkinan terkait dengan Sesar Baribis” tulis S. Widyantoro dkk. Kaitan antara
gempa bumi pada 1780 dan 1834 dengan Sesar Baribis juga diungkap oleh Ngoc
Nguyen dkk. dalam Indonesia’s Historical Earthquakes Modelled Examples for
Improving the National Hazard Map (2015). Berdasar ringkasan riwayat gempa
bumi yang ditampilkan dalam studi Nguyen dkk. itu, gempa bumi yang
diperkirakan bersumber dari Sesar Baribis itu secara spesifik terjadi pada 22
Januari 1780 dan 10 Oktober 1834. Gempa Bumi 1780 Setelah
mengalami gempa bumi besar pada 1699, Batavia kembali diguncang gempa bumi
sebanyak 10 kali berturut-turut. “Selain gempa
bumi besar pada 1699, gempa bumi juga dirasakan di Batavia pada tahun 1700,
1706, 1722, 1737, 1739, 1754, 1757, 1765, 1769, 1772, dan 1776,” tulis Djati
Mardiatno dkk. dalam Merawat Ingatan: Bencana Alam dan Kearifan Lokal di
Pulau Jawa (2019, hlm. 54). Beberapa
guncangan tersebut terasa kuat, namun tidak sekuat gempa bumi yang
mengguncang pada 22 Januari 1780. Bahkan, gempa yang terjadi pada 1780 ini
disebut sebagai salah satu gempa bumi dengan guncangan terkeras yang pernah
melanda Batavia sepanjang riwayatnya. “Sabtu siang
22 Januari yang tenang sekitar pukul 2.39 terdengar suara gemuruh yang
diikuti dengan guncangan yang terasa hingga pukul 2.42,” tulis J.C.M.
Radermacher dalam tulisannya “Bericht wegens de zwaare aardbeving, van den 22
January 1780” yang terbit dalam Verhandelingen van Het Bataviaasch
Genootschap Der Kunsten En Wetenschappen, Tweede Deel (1780, hlm. 52-53). Gempa itu
berlangsung selama sekitar tiga menit. Menurut Radermacher yang juga pendiri
Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen itu, gempa
bumi itu merusak 25 rumah di sekitaran Batavia. Dilaporkan juga adanya korban
jiwa, yaitu seorang wanita yang kehilangan anaknya. “Di Buitenzorg
beberapa bangunan dilaporkan rusak. Getarannya terasa hingga Banten dan
Cheribon. Namun, getaran yang dirasakan di Cheribon tidak begitu kuat,” tulis
Arthur Wichmann dalam Die Erdbeben des indischen Archipels bis zum Jahre 1857
atau yang dikenal dengan Katalog Wichmann (1918, hlm. 71). Salah satu
bangunan di Buitenzorg yang mengalami kerusakan akibat gempa bumi ini adalah
kediaman Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang sekarang dikenal sebagai
Istana Bogor. Satu bangunan
penting lain yang hancur karena gempa bumi ini adalah gedung milik Johan
Maurits Mohr di Batavia. Mohr sendiri ialah seorang pendeta cum astronom
Belanda kelahiran Jerman. Gedung itu bernilai penting karena Mohr membangun
observatorium di lantai teratasnya. Gedung
observatorium Mohr mulai dibangun pada 1765 dan selesai pada 1768. “Biaya
pembangunan bangunan setinggi 80 kaki ini diperkirakan 80.000 ‘ryksdaalders’
atau 200.000 gulden. Megahnya bangunan milik Mohr ini bahkan mengungguli
bangunan kediaman Gubernur Jenderal di Buitenzorg,” tulis Robert Harry van
Gent dalam artikel “Observations of the 1761 and 1769 transits of Venus from
Batavia” yang terbit dalam Proceedings of the International Astronomical
Union (2004, hlm. 68). Gempa Bumi 1834 Gempa bumi
lain yang juga disebutkan sebagai salah satu gempa bumi terkeras dalam
riwayat panjang Jakarta pernah terjadi pada 10 Oktober 1834. Saat sebagian
penduduk Jawa bagian barat masih tertidur lelap, tanah tiba-tiba berguncang
keras. “Pukul 5.30
pagi, guncangan keras terasa di Jawa bagian barat dan Lampung. Di Batavia,
guncangan terasa begitu kuat hingga membuat banyak bangunan rusak berat,”
tulis Arthur Wichmann (hlm. 97). Malam hari
sebelum guncangan besar terjadi, masyarakat sebenarnya telah merasakan
guncangan-guncangan kecil. “Disebutkan
pula bahwa gempa bumi ini disertai dengan adanya gempa pembuka (foreshock)
yang dirasakan oleh penduduk pada malam sebelumnya yang tidak diindahkan oleh
masyarakat,” tulis Djati Mardiatno dkk. (hlm. 58). Laporan
mengenai bangunan rusak tidak hanya datang dari Batavia saja. Otoritas
kolonial di Buitenzorg juga mencatat adanya banyak bangunan yang rusak.
Bahkan, kediaman gubernur jenderal juga tak luput dari kerusakan. Gedung yang
saat itu mempunyai dua lantai itu bahkan dilaporkan mengalami kerusakan
berat, sampai-sampai harus dibangun ulang dengan bentuk yang baru. Kerusakan
yang terjadi di kediaman gubernur jenderal, antara lain pada bagian utara
bangunan dan dinding luar sayap timur. “Pada 1850,
bekasnya (kediaman gubernur jenderal di Buitenzorg) direnovasi dengan gaya arsitektur
neoklasik, yang memakai barisan tiang tebal dan fronton segitiga dan
dikelilingi taman hijau yang luas,” tulis Olivier Johannes Raap dalam Kota di
Djawa Tempo Doeloe (2017, hlm. 38). Istana Bogor
yang kita lihat sekarang ini merupakan hasil renovasi yang dimulai pada 1850
itu. Sementara itu, satu bangunan gereja di Depok juga ikut hancur karena
guncangan. Peristiwa ini
juga pernah diulas oleh Javasche Courant edisi 22 November 1834. Disebutkan
beberapa kehancuran lain yang tercatat setelah guncangan terjadi. Di Cianjur,
misalnya, terjadi longsoran tanah yang menghancurkan satu desa. Guncangan
juga merusak jalan antara Buitenzorg dan Cianjur dengan ditemukannya
retakan-retakan dan juga rusaknya beberapa bangunan di daerah Pondok Gede,
Kedunghalang, Cilangkap, dan Pondok Cina. Menilik
catatan sejarah ini, sudah semestinya warga Jakarta dan wilayah sekitarnya
bersiap siaga. Bukan menebar ketakutan, tapi mempertebal kewaspadaan.
Bagaimanapun, kita musti menyadari bahwa kita hidup di Negeri Cincin Api yang
sangat dinamis secara geologis. ● |
Sumber
: https://tirto.id/sesar-baribis-dua-gempa-bumi-yang-pernah-mengguncang-batavia-gusR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar