Prahara Harga Pangan,
Inflasi, dan Kemiskinan
Khudori :
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia
(AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP), Peminat Masalah Sosial-Ekonomi
Pertanian dan Globalisasi
SINDONEWS, 27
Juli
2022
HARI-HARI ini
konsumen mengeluhkan harga pangan yang naik tinggi. Seolah janjian, kenaikan
terjadi bersamaan pada sejumlah komoditas pangan. Baik yang diimpor (terigu,
daging, kedelai) maupun diproduksi domestik (cabai, bawang merah, minyak
goreng, daging sapi, daging dan telur ayam). Sialnya, dari hari ke hari harga
bertahan di level tinggi. Tatkala daya beli belum pulih akibat diterjang
pandemi, kenaikan harga pangan berubah jadi prahara. Warga miskin menjadi korban
pertama dan utama. Rutinitas ini
seperti penyakit menahun: timbul-tenggelam mengikuti momentum dan dinamika
kebijakan publik. Tidak terhitung sumber daya yang tergerus. Bangsa ini
kehabisan waktu, tenaga, dan biaya yang amat besar untuk mengatasi hal-hal
rutin yang semestinya bisa diselesaikan dengan cara-cara cerdas. Penyebab
kenaikan harga pangan sebetulnya sudah dikenali dengan baik oleh pemerintah:
penyerahan harga komoditas pangan pada mekanisme pasar. Ditambah kapasitas
(negara) dalam menstabilkan harga pangan yang rendah, pasar pangan akhirnya
jadi ajang unjuk gigi kelompok dominan. Turbulensi
harga pangan terus berulang karena pemerintah tak mau menyentuh akar
persoalan. Solusi yang ditempuh hanya di level permukaan. Contohnya,
pemerintah amat sibuk mengurusi pasokan. Pemerintah yakin, saat pasokan
memadai harga akan stabil. Tapi pemerintah lupa pasokan yang memadai tak
berarti apa-apa bila distribusi macet dan ada pelaku dominan dan pemburu
rente yang nakal. Minyak goreng berbasis sawit contoh lainnya. Meskipun
Indonesia produsen sawit nomor 1 dunia, harga minyak goreng tetap naik tinggi
karena pabrik minyak goreng tak terintegrasi dengan kebun. Kenaikan harga
barang, termasuk harga pangan, akan tecermin pada angka inflasi. Inflasi,
yang didefinisikan sebagai kenaikan harga untuk sekelompok barang konsumsi
yang tercermin di indeks harga konsumen (IHK), menandakan kenaikan harga
barang. Masalahnya, kita bisa terkecoh bila hanya melihat inflasi nasional
tanpa memeriksa sumbernya. Misalnya, sampai Juni 2022, inflasi tahunan total
Indonesia “hanya” 4,35%. Jauh lebih rendah dari inflasi di AS (9,1%), Inggris
(9,1%), Jerman (7,6%) atau Spanyol (10,2%). Inflasi yang rendah bisa dimaknai
sebagai fluktuasi harga barang rendah. Kesimpulan ini
tidak sepenuhnya bisa jadi pegangan tanpa memeriksa sumbernya. Ditilik dari
sumbernya, inflasi sebesar 4,35% karena andil kelompok harga yang diatur
pemerintah (administered prices) dan inflasi inti terkendali. Pada periode
yang sama masing-masing besarnya hanya 2,63% dan 5,33%. Sebaliknya, inflasi
harga pangan (volatile foods) sudah menembus 10,07%. Ini berarti andil
inflasi pangan sangat dominan dalam inflasi total. Ini juga menandakan
instabilitas harga pangan masih jadi persoalan. Stabilitas
harga pangan adalah sebuah keniscayaan. Bukan saja untuk memastikan
perputaran roda ekonomi, tapi juga bakal mendinginkan situasi sosial-politik.
Lebih dari itu, bagi warga miskin stabilitas harga jadi jaminan bagi mereka
untuk bisa mengakses asupan makanan bergizi. Ketika harga melonjak tinggi,
pangan tidak akan terjangkau oleh kantong mereka. Warga miskin, juga mereka
yang masuk 40% berpenghasilan terbawah dan terkategori hampir/rentan miskin,
mayoritas pengeluaran mereka untuk pangan. Ini tecermin
dari sumbangan garis kemiskinan makanan, yang per Maret 2022, porsinya 74,08%
dari pengeluaran rumah tangga. Hanya 25,92% pengeluan non-makanan. Implikasi
dari kondisi ini, stabilitas harga pangan menjadi kebutuhan mutlak agar akses
pangan warga, terutama yang miskin/rentan, tetap terjaga. Mereka-mereka yang
posisinya hanya beberapa jengkal di atas garis kemiskinan sontak bakal jatuh
miskin manakala harga pangan naik tinggi dan jauh dari kemampuan daya beli.
Naik-turunnya harga pangan akan berpengaruh langsung pada jumlah warga miskin. Celakanya,
stabilitas harga pangan masih jauh dari selesai. Ini tampak dari porsi
inflasi pangan dalam inflasi total yang masih besar, setidaknya dalam 8 tahun
terakhir. Pada 2014 andil pangan baru 40,31% dari inflasi nasional 8,36%. Namun, pada
2015 andil pangan pada inflasi naik jadi 61,19% dari inflasi 3,35%, dan naik
lagi jadi 70,1% dari inflasi 3,01% pada 2016. Khusus 2017, andil pangan hanya
26% dari inflasi 3,61%. Setelah itu, andil inflasi pangan kembali naik: 43%
dari 3,13% (2018), 56% dari 2,72% (2019), dan 54% dari 1,68% (2020). Ini
pertanda instabilitas harga pangan masih terjadi. Yang menarik,
jika ditilik dari komoditas pangan penyumbang inflasi, tiga tahun terakhir
mulai terjadi pergeseran. Rentang 2014-2018 posisi beras sebagai penyumbang
inflasi mendominasi. Dari 11 komoditas pangan, dalam 5 tahun itu beras
bersama daging ayam ras, ikan segar, dan mi menjadi penyumbang inflasi 4
kali, disusul telur ayam dan bawang merah (3x), cabai merah, cabai rawit,
minyak goreng dan gula pasir (2x), dan bawang putih (1x). Posisi beras pun di
urutan penting: 1-3 kontributor inflasi terbesar. Empat tahun
terakhir (2019-2021), hanya pada 2020 beras jadi penyumbang inflasi pangan.
Itu pun di posisi minor: 15 dari 20 komoditas. Sebaliknya, peran cabai (merah
dan rawit), minyak goreng, bawang (merah dan putih), ikan segar, dan telur
serta daging ayam mendominasi. Ini patut disyukuri. Sebab, dari 13 komoditas
penyumbang garis kemiskinan makanan, posisi beras dominan: 22,04% dari
pengeluaran rumah tangga miskin. Kala harga beras naik tinggi, hampir pasti
jumlah orang miskin naik juga. Akan tetapi, pergeseran peran ini menandakan
masalah inflasi pangan masih jauh dari selesai. Fluktuasi
harga pangan akan menekan daya beli konsumen. Bagi rakyat, terutama yang miskin,
inflasi akan menggerogoti daya beli mereka. Inflasi akibat instabilitas harga
pangan akan mengekspos mereka pada posisi yang rentan. Ini menjadi tantangan
superserius bagi penciptaan sumber daya manusia (SDM) berkualitas di masa
depan. Di saat prevalensi anak balita kurang gizi cukup memprihatinkan, yaitu
17,7% (18 dari setiap 100) dan 30% (1 dari 3) anak balita menderita kurang
gizi dan tengkes, instabilitas harga pangan jadi soal krusial. Kala pandemi
belum reda, instabilitas harga pangan kian memperdalam luka warga. Ke depan,
agenda peningkatan produksi dan produktivitas di lahan pertanian harus jadi
prioritas. Kebijakan ini harus dikawinkan dengan kebijakan stabilisasi harga
pangan dengan menyeimbangkan antara pasokan dan permintaan. Lewat beleid
neraca komoditas, data pasokan dan permintaan bisa dipantau secara berkala.
Ketika terjadi ketikdakseimbangan harus segera dilakukan intervensi. Untuk
itu, pemerintah harus memastikan memiliki stok/cadangan setiap saat. Khusus
buat warga miskin, aneka jaring pengaman sosial yang diracik pemerintah bisa
terus dioptimalkan sebagai perisai diri. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar