Transformasi NU
Menjelang Usia Satu Abad
Mahdi El Kherid : Wakil Ketua
PW Ansor Jawa Timur
SINDONEWS, 29
Juli
2022
NAHDLATUL
Ulama (NU) akan berusia satu abad pada 16 Rajab 1444 Hijriyah atau Februari
2023 mendatang. Pada satu abad pertama ini NU telah berhasil melintasi
dinamika zaman dengan luar biasa hebatnya. NU setidaknya
berhasil lolos dari rongrongan pemerintah Orde Baru yang dinilai penuh
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Di era reformasi, NU dinilai mampu
mewarnai suasana kebangsaan dengan penuh keteduhan. Bahkan saat ini, Wakil
Presiden (Wapres) Republik Indonesia yakni KH Ma’ruf Amin, berasal dari
keluarga besar NU dan pernah menjabat sebagai Rais Aam. Penulis tidak
hendak membahas sejarah NU yang luar biasa panjangnya. Tetapi penulis
membahas transformasi NU di bawah komando Rais Aam KH Miftakhul Akhyar dan
Ketua Umum KH Yahya Cholil Staquf. Sejak dilantik
pada 31 Januari 2022 lalu, sudah banyak hal yang dilakukan oleh pengurus
PBNU. Jika dirangkum secara umum, ada dua hal utama yang dilakukan pengurus
PBNU saat ini. Pertama, berperan membangun kemandirian warga NU di Indonesia
dan kedua, meningkatkan peran NU di dunia global. Dalam konteks
peran NU di Indonesia, PBNU tidak hanya menggenjot kemandirian ekonomi tetapi
juga berperan dalam melakukan bimbingan keagamaan bagi masyarakat. Salah satu
yang fundamental yaitu membenahi sistem kaderisasi. Sebelumnya, terdapat dua
sistem kaderisasi di NU, yakni Madrasah Kader Nahdlatul Ulama (MKNU) dan
Pelatihan Kader Penggerak Nahdlatul Ulama (PKPNU). Dualisme
sistem kaderisasi ini dimoratorium oleh pengurus baru NU. Sistem kaderisasi
diperbaiki agar sesuai dengan kebutuhan zaman. Lalu, munculah tiga jenjang
kaderisasi yakni Pendidikan Dasar berupa PD-PKPNU (Pendidikan Dasar
Pendidikan Penggerak Nahdlatul Ulama). Kedua tingkat menengah yakni PKMNU
atau Pendidikan Kader Menengah Nahdlatul Ulama (PKMNU) dan teraknhir tingkat
tinggi yakni AKN-NU (Akademi Kepemimpinan Nasional Nahdlatul Ulama (AKN NU).
Dalam setiap tahun, setidaknya ada sekitar 2.300 pelatihan kader yang akan
digelar NU di seluruh tingkatan. Tidak hanya
untuk urusan internal. PBNU juga melakukan percepatan-percepatan program dengan
menggandeng sejumlah instansi pemerintah, Badan Usaha Milik Negara (PBNU) dan
Swasta. Dalam catatan penulis, PBNU setidaknya sudah bekerjasama dengan Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bapenas), Kementrian Agama (Kemenag),
Kementrian Agraria dan Tata Ruang, Kementrian BUMN, Peruri, Telkomsel,
Menkominfo, Kementrian Koperasi dan UMKM, Uni Emirat Arab, Menko
Perekonomian, Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), Kementrian
Lingkuhan Hidup, Kementrian Kelautan, Kemendikbud, dan lain sebagainya. Aneka macam
kerjasama ini tujuan utamanya adalah melakukan akselerasi khidmah PBNU.
Kerjasama dengan Menko Perekonomian misalnya, terdapat 317 hektare lahan yang
akan dilakukan peremajaan atau replanting. Dengan peremajaan sawit ini,
diharapkan ribuan, atau bahkan puluhan ribu petani sawit yang mayoritas
adalah warga NU, bisa lebih sejahtera dan berdaya. Mengutip
pernyataan KH Yahya Cholil Staquf, bahwa dengan banyaknya kerja sama ini,
hampir bisa dipastikan para pengurus PBNU akan sibuk luar biasa dalam lima
tahun ke depan. Karena inilah, Gus Yahya mengisyaratkan akan mengelola PBNU
layaknya tata laksana pemerintahan. Sebagaimana
pemerintahan, PBNU akan memberi benefit-benefit kepada para anggota. Untuk
itu, tentu saja diperlukan pengelolaan administrasi yang kuat. Apalagi hasil
survei LSI Denny JA pada 2019 mencatat warga NU totalnya mencapai 49,5 persen
dari total penduduk di Indonesia. Mereka tak hanya hidup di pedesaan. Survei
Alvara menyebutkan 58 persen masyarakat perkotaan adalah warga NU. Transformasi
NU saat ini tidak hanya untuk urusan internal dan dalam negeri, PBNU juga
melakukan transformasi dalam kaitannya pergulatan global. Meski berpusat di
Indonesia, Gus Yahya menganggap bahwa NU mempunyai mandat global. Mandat itu
sejak awal didirikan sudah dimiliki oleh NU karena lambang NU adalah gambar
bola dunia. Mandat global
itu lalu dimaknai PBNU era saat ini sebagai mandat perdamaian dunia. Salah
satunya dilakukan dengan tampilnya Gus Yahya dalam konferensi internasional
Forum On Common Values Among Religious Followers (Forum tentang Nilai-Nilai
Bersama di Antara Para Pengikut Agama) yang diselenggarakan Kerajaan Arab
Saudi. Dalam
pidatonya di hadapan para peserta yang mayoritas anggota Rabithoh A’lam
Islami (Liga Dunia Islam), Gus Yahya berharap agama tidak menjadi alat untuk
sebuah kepentingan politik. Jika hal itu bisa terjadi, maka agama bisa
menjadi alat untuk sebuah kehidupan bersama yang berdampingan. Tidak lama
setelah dari Arab Saudi, Gus Yahya terbang ke Vatikan untuk bertemu dengan Paus
Fransiskus. Bersama sang adik, Menteri Agama RI KH Ya’qut Cholil Qoumas,
keduanya mengudang Paus untuk hadir ke Indonesia: melihat keberagaman di
negeri ini. Tentu ini pesan, bahwa Indonesia bisa menjadi contoh bagi
negara-negara lain. Dalam konteks
membuat dinamika dalam perdamaian dunia, PBNU berencana menggelar pertemuan
para pemimpin Agama di seluruh dunia dalam forum Religion Of Twenty atau R-20
pada Oktober mendatang. Sejumlah pemimpin agama terkemuka yang akan hadir
diantaranya Paus Fransiskus, Uskup Agung Canterbury Justin Welby, Pimpinan
Umat Anglikan Sri Ravi Shankar, Guru Yoga dan Pemimpin Spiritual asal India
Pangeran Narodom Sihamoni, Raja Kamboja dan Syekh Muhammad Bin Abdul Karim,
Liga Muslim Dunia. Para pemimpin
Agama ini diminta untuk membahas terhadap permasalahan-permasalahan
Universal. Gus Yahya berharap, para pemuka Agama di semua Agama, untuk
senantiasa menjadi solusi terhadap semua permasalahan. NU dan Kaum Mustad’afin Aneka rupa
program PBNU dalam melakukan transformasi ini tentu layak dan wajib didukung.
Yang paling penting, bagaimana gairah dari pengurus ini bisa terus menyala
hingga akhir kepengurusan. ”Setiap kata-kata harus menjadi kerja, setiap
kerja harus jelas ukuran keberhasilannya.” Kira-kira demkian ungkapan dari Gus
Yahya. Satu hal lagi
yang perlu menjadi perhatian PBNU dalam melakukan transformasi adalah, PBNU
harus menjadi ”rumah” bagi kaum mustad’afin atau bagi kaum lemah atau yang
sengaja di lemahkan. Apalagi, tagline Gus Yahya saat pencalonan adalah
’Mengidupkan Gus Dur’. Kita tahu, Gus
Dur adalah pejuang nomor satu kemanusiaan. Ada banyak peristiwa pembelaan Gus
Dur untuk para buruh dan pekerja Imigran. Anis Hidayah dalam buku Gus! Sketsa
Seorang Guru Bangsa (2017) mengungkapkan, karena banyaknya pembelaan Gus Dur
terhadap kaum lemah, para keluarga pekerja migram masih sering memanggil Gus
Dur dengan sebutan ’Presiden’. Meski Gus Dur menyebut dirinya bukan lagi
presiden, tetapi bagi keluarga migran Gus Dur tetaplah Presiden meskipun
tanpa istana. Legacy Gus Dur
soal pembelaannya terhadap kaum mustad’afin ini perlu dilanjutkan PBNU. Kita
membayangkan, ketika pintu keadilan tertutup di mana-mana, kantor PBNU
menjadi satu-satunya tempat paling nyaman untuk mengadu. Jika itu terjadi, NU
akan selalu relevan pada perjalanan abad keduanya. Dan kita semua, tentu
saja, akan bangga menjadi bagian dari NU. Selamat bekerja, Gus Yahya! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar