Jumat, 11 Juni 2021

 

Desa dalam Logika Pembangunan Bangsa

Purnawan Andra ;  Staf Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Ditjen Kebudayaan Kemdikbud Ristek

KOMPAS, 10 Juni 2021

 

 

                                                           

Beberapa waktu lalu kita menggelar hajat komunal “mudik Lebaran” dimana masyarakat kota yang mayoritas berasal dari desa kembali ke kampung halaman. Jauh sebelumnya, banyak orang sudah melakukan migrasi balik ke desa setelah terkena efek pandemi yang melumpuhkan sendi-sendi kehidupan.

 

Desa menjadi solusi atas problem sosial ekonomi yang dialami. Di desa, mereka terpenuhi kebutuhan dasarnya dan bisa merasa aman/nyaman dalam sebuah kultur yang telah mereka kenal sebelumnya.

 

Pandemi ini membuktikan adanya kondisi yang menuntun kita kembali ke desa sebagai pusat kehidupan. Budianta (2021) menyebut kita tidak punya pilihan untuk membangun arah peradaban baru yang berbasis pada tatanan yang ramah pada alam dan lingkungan.

 

Peradaban baru berbasis pada komunitas yang mempunyai ketahanan pangan dan ketangguhan budaya lokal. Ini dapat dikembangkan menjadi pengetahuan, wawasan, dan nilai untuk menjaga keanekaragaman hayati, solidaritas dan keguyuban sosial yang mampu menjaga, merawat relasi antar manusia dan memanusiakan manusia.

 

Desa menyimpan kekayaan budaya lokal yang perlu digali kembali, dilestarikan dan diwariskan. Budayanya lahir dari sinergi dengan alam lingkungan dalam relasi sosial yang menguatkan nilai komunalnya.

 

Stereotip

 

Meski demikian desa kerap hanya menjadi penonton di laju jaman. Hal ini karena stereotip yang telah diberikan sejak dari Orde Baru sampai pasar kontemporer saat ini, bahwa desa identik dengan kuno-lama, oleh karenanya tertinggal, katrok, atau bahkan sebagai liyan (other). Konsep liyan selama ini secara laten dipakai untuk membangun sebuah struktur hirarki budaya dominan-marjinal, modern-etnik, global-lokal.

 

Jelas, hal ini bukan pandangan yang egaliter, tapi hanya ingin mengukuhkan superioritas yang dominan-modern-global atas yang marjinal-etnik-lokal. Hal yang disebut terakhir dihadirkan sebagai bentuk ekspresi eksotisme komunalitas yang lokal, sekaligus partikular, sebagai kontras dari rasionalitas modernitas global.

 

Seturut Mahpur (2008), selama ini, identitas desa telah tergadai oleh motivasi pengembangan prototipe konsumerisme sebagai bagian dari representasi gaya pembangunan modern. Desa bukan kebanggaan dan sengaja dimatikan karena kebijakan pembangunan yang mematikan potensi desa sebagai hibridasi ekonomi.

 

Keberhasilan desa dilihat dari infrastrukturnya. Orang desa (ndeso) adalah orang yang ”dipaksa” iri terhadap kota. Gaya hidup kota telah mengambil-alih gaya hidup orang desa. Kecenderungan kuat modernisme menjadi bagian dari infiltrasi kognitif agar orang desa juga patuh pada gaya hidup kekinian, maka identitas desa justru tidak lagi dipandang secara bijaksana (wisdom). Hal ini adalah sebuah kehilangan yang tak tergantikan.

 

Seperti dalam budaya Jawa dikenal adagium desa mawa cara, kutha mawa tata (desa sumber inspirasi/inisiatif, sementara kota adalah lokus pelaksanaan inisiatif). Pandangan yang kesannya dikotomik ini perlu dibaca ulang dengan pemahaman bahwa ia sebetulnya adalah ruang yang dihidupi oleh karakteristiknya sendiri, menjadi lokus inspirasi dan tempat mengambil inisiatif (mawa cara) bagi wilayah-wilayah di pusat pemerintahan (perkotaan). Mawa cara-nya desa antara lain adalah realitas bahwa di tiap-tiap desa hidup seperangkat pengetahuan dan kemampuan lokal (sudut pandang, abstraksi, nilai-nilai khas, dan lainnya) yang kerap dirumuskan sebagai kejeniusan atau kemampuan lokal (local genius) (Surur, 2018).

 

Potensi

 

Dengannya desa adalah elemen penting penyusun ensiklopedi sosial dan multikulturalisme bangsa. Untuk itu diperlukan upaya untuk membuat dan membangun desa dengan daya tarik dan peluang yang terbuka untuk mengembangkan potensi dan kapasitas personal maupun komunal yang dimiliki untuk memberdayakan dirinya.

 

Terlebih dengan keterbukaan akses teknologi informasi dan jejaring digital saat ini, komoditas yang ada di desa dapat menjadi produk yang marketable baik dari segi pertanian, peternakan, perkebunan hingga potensi wisata alam dan budayanya. Sebagai modal sosial ekonomi, pengelolaan kolektif yang partisipatif, akuntabel dan berkelanjutan yang berpihak pada kepentingan bersama mutlak diperlukan untuk menjadikannya sebuah peluang alternatif. Konsep pemikiran, pilihan sikap dan langkah visioner ini adalah wujud pembangunan mental dan peradaban desa di masa depan sebagai tatanan sosial atau pengorganisasian masyarakat yang berkualitas.

 

Semisal revitalisasi konsep lumbung desa yang bisa diartikan secara harfiah, juga secara metaforis. Konsep lumbung semula terkait dengan kemandirian pangan desa sebagai sumber kehidupan bersama. Tapi konsep lumbung juga bisa digunakan pada konsep lumbung budaya desa dimana berbagai sumber budaya yang dimiliki oleh desa, termasuk warisan seni dan tradisi, obyek-obyek sejarah, ingatan kolektif, kuliner lokal, bahasa, permainan anak, dan lainnya. Lumbung budaya ini diharapkan menjadi lumbung pengetahuan yang menghidupi warganya dan dapat dibagikan bagi orang dari luar desa untuk belajar tentang desa tersebut (Budianta, 2021).

 

Hal ini bisa menjadi sebuah usaha mengunjungi kembali (revisiting) dan menemukan kembali (reinventing) gagasan-gagasan yang lebih masuk akal tentang bagaimana sebuah masyarakat dapat dikembangkan dalam sebuah konsep yang tidak saja partisipatoris, tetapi juga potensial. Sebuah formasi sosial yang membukakan jalan bagi dibangunnya ruang-ruang bagi identitas dan potensi sosio-kultural yang beragam.

 

Jika desa telah menjadi lumbung pengetahuan yang menghidupkan berbagai warisan budaya yang relevan dan sesuai dengan perubahan zaman, maka masa depan tidak berisi generasi yang tercerabut dari akar tradisi dan lingkungannya. Hal ini akan menjamin terpeliharanya kemampuan sosial dan integrasi kultural yang menyusun kuat dan tegaknya sebuah bangsa. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar