Minggu, 13 Juni 2021

 

Covid-19 dan Kepemimpinan Indonesia 2024

Arya Fernandes ;  Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial, CSIS

KOMPAS, 12 Juni 2021

 

 

                                                           

Pandemi Covid-19 diperkirakan akan mengubah tren kepemimpinan nasional menjelang Pemilu Presiden 2024. Perubahan karakter dan gaya kepemimpinan terjadi karena bergesernya preferensi dan kebutuhan pemilih terhadap corak kepemimpinan nasional pasca dunia menghadapi situasi pandemi Covid-19.

 

Situasi pascakrisis ini diprediksi akan mengubah narasi dan program kampanye capres dalam pemilu nanti. Narasi kampanye yang programatik, terukur dan inovatif akan dianggap penting dan strategis oleh pemilih dibandingkan narasi besar yang sulit diukur.

 

Situasi krisis pandemi membuat pemimpin di banyak negara, termasuk di Indonesia, harus mampu membuat keputusan yang cepat dan terukur. Pemimpin juga dituntut untuk dapat cepat beradaptasi dengan kondisi sosial yang rentan berubah. Covid-19 mengajarkan pentingnya membuat kebijakan berbasis data dan merancang kebijakan dengan pendekatan kolaboratif dengan tim ahli.

 

Krisis kesehatan saat ini membuat pemimpin harus fleksibel dan lentur untuk mengubah pendekatan dan strategi dalam merespons situasi yang tidak pasti dan tak dapat diprediksi. Pemimpin yang fleksibel dapat beradaptasi dan mengubah kebijakan dengan cepat bergantung pada tantangan yang tengah terjadi.

 

Situasi krisis seperti pandemi ini membuat ketidakpastian menjadi tinggi. Pemimpin harus mampu membuat perkiraan dan proyeksi yang tepat dan terukur. Kualitas kebijakan tersebut sangat dipengaruhi oleh kapasitas dan pengalaman memimpin yang sudah teruji. Pemimpin yang teruji dalam mengalami situasi krisis, tentu akan mudah mengelola pemerintah setelah Pemilu 2024.

 

Perubahan lain pada kepemimpinan dalam situasi Covid-19 adalah komitmen banyak pemimpin untuk mengedepankan aspek transparansi dan keterbukaan dalam menangani Covid-19. Negara-negara yang berhasil menangani Covid-19 dengan baik umumnya memiliki kebijakan untuk memberikan akses data ke masyarakat. Selain itu juga melibatkan tim ahli dalam merancang kebijakan publik di bidang kesehatan, ekonomi dan sosial.

 

Era baru

 

Pandemi Covid-19 mengubah wajah politik di beberapa negara di belahan dunia. Beberapa pemimpin populis kehilangan pamornya—bahkan di antaranya mengalami kekalahan dalam pemilu. Presiden AS Donald Trump, misalnya, mengalami kekalahan dalam pemilu presiden di AS beberapa waktu lalu. Riset Brodeur dkk (2020) menunjukkan, efek penanganan Covid-19 yang buruk berkontribusi pada kekalahan Trump dalam pemilu, terutama pada daerah urban dan swing states (seperti Arizona, Georgia, Pennsylvania, dan Wisconsin) yang memiliki tingkat penyebaran Covid-19 yang tinggi.

 

Dalam riset tersebut, Brodeur menunjukkan bahwa pemilih yang tinggal di negara bagian dengan tingkat penyebaran Covid-19 yang tinggi, kecil kemungkinannya akan memilih Trump. Menurut prediksi Brodeur, Trump berpotensi menang dalam pemilu bila mampu mempertahankan angka penyebaran Covid-19 di kisaran 5-10 persen pada beberapa negara yang tinggi penyebaran Covid-19.

 

Riset itu juga mengonfirmasi bahwa efek pandemi secara statistik lebih tinggi pengaruhnya dibandingkan kondisi ekonomi. Hal ini tampak dari tak ditemukannya indikasi peralihan suara dari Trump ke Biden pada daerah-daerah dengan tingkat pengangguran yang tinggi.

 

Kekalahan lainnya juga terjadi pada partai besutan Narendra Modi, BJP, yang kalah dalam pemilu pada beberapa negara bagian di India. Penanganan Covid-19 yang tak terkendali dan kebijakan Modi yang tetap melaksanakan pemilu saat situasi kasus positif Covid-19 naik tajam, memberi efek buruk pada suara BJP. Partai ini mengalami kekalahan di beberapa negara bagian berpenduduk besar seperti Benggal Barat, Kerala dan Tamil Nadu (Gettleman & Kumar, 2021).

 

Karakter baru

 

Tantangan ketidakpastian yang masih tinggi, baik pada aspek kesehatan, ekonomi maupun perubahan demografi penduduk yang terjadi, mendorong kita untuk membutuhkan kepemimpinan dengan karakter baru pada Pilpres 2024.

 

Perubahan demografi pemilih secara tak langsung akan mengubah lanskap kepemimpinan nasional pada 2024. Beberapa perubahan di tingkat masyarakat yang terjadi itu adalah terjadinya urbanisasi di mana masyarakat yang tinggal di daerah urban akan semakin besar dibandingkan yang tinggal di daerah perdesaan (rural).

 

Hal ini berkonsekuensi pada meningkatkan problem-problem daerah urban seperti kemiskinan, munculnya daerah kumuh, kurangnya akses terhadap air bersih, kualitas kesehatan dan sebagainya.

 

Perubahan demografi lainnya berdasarkan Sensus Penduduk 2020 adalah meningkatnya jumlah penduduk dari kelompok usia muda yaitu Generasi Z (berusia 8-23 tahun) dan Milenial (berusia 24-39 tahun) yang proporsinya mencapai 53,81 persen dari total populasi Indonesia pada 2020 (BPS, 2021). Meningkatnya proporsi penduduk berusia muda ini juga memengaruhi terjadinya peningkatan akses publik ke internet dan media sosial.

 

Mengingat tantangan ke depan yang semakin kompleks dan tidak pasti kita membutuhkan karakter kepemimpinan baru pada 2024. Kepemimpinan nasional pasca Covid-19 paling tidak harus memiliki beberapa karakteristik utama.

 

Pertama, kepemimpinan berorientasi hasil. Pemimpin era baru pasca Covid-19 harus mampu memadukan antara karakter, style dan nilai kepemimpinan dengan performa yang bisa diukur, dinilai, dan dirasakan manfaatnya oleh publik.

 

Kedua, kepemimpinan berbasis nilai (value). Studi Copeland (2014) menunjukkan tiga karakter utama kepemimpinan model ini, di antaranya, autentisitas, (komitmen) etik, dan transformatif. Di tengah situasi yang tak pasti dan berubah, autensitas pemimpin mutlak diperlukan. Pemimpin yang autentik mempunyai gagasan dan platform kebijakan yang terukur, punya komitmen etik yang kuat serta mampu mendorong terjadinya perubahan di tingkat masyarakat.

 

Ketiga, kepemimpinan berbasis bukti. Di situasi politik dan ekonomi ke depan yang tak dapat diprediksi secara tepat, proses pembuatan kebijakan publik harus berdasarkan bukti dan data. Pemerintah harus didukung tim panel ahli untuk mendesain kebijakan yang terencana dan partisipatoris.

 

Keempat, kepemimpinan teknokratis yang menggabungkan kemampuan manajerial, basis pengetahuan dan pengalaman memimpin. Kelima, kepemimpinan yang punya visi ekonomi jangka panjang untuk mewujudkan keinginan Indonesia untuk lepas dari jerat negara berpendapatan menengah (middle-income trap) pada 2045.

 

Untuk itu, kepemimpinan nanti harus terbuka dengan dunia usaha dan investasi, sebagai satu entitas penting dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam perubahan tren kepemimpinan pasca-Covid-19 ke depan, diperkirakan gaya kepemimpinan kharismatik menjadi kurang relevan di tengah tantangan yang berat dan sulit diprediksi.

 

Tantangan ke depan yang kompleks, tak efektif lagi diselesaikan dengan pendekatan kepemimpinan personal yang dominan dan kuat. Di situasi pasca-Covid-19, kita butuh kepemimpinan yang mampu membangun jejaring, berkolaborasi dengan multipihak serta percaya sains dan riset ilmiah.

 

Ke depan dalam situasi yang berubah, pemimpin populer mungkin masih dapat respons tinggi dari publik. Namun, lebih dari itu kita butuh pemimpin yang punya visi politik jangka panjang dan kompetensi yang jelas. Apalagi, pada 2025 nanti, pemerintah baru pasca-Pilpres 2024 akan menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) untuk periode 20 tahun ke depan yaitu 2025-2045: tepat 100 tahun Indonesia merdeka.

 

Pemimpin 2024 nanti tak hanya yang memiliki kemampuan menggerakkan, menginspirasi dan memobilisasi publik, tetapi yang lebih penting adalah kemampuan berpikir strategis dan memanfaatkan sumber daya manusia Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar