Jumat, 11 Juni 2021

 

Menunggu Peran Tokoh Masyarakat

Mohammad Bakir ;  Wartawan Senior

KOMPAS, 11 Juni 2021

 

 

                                                           

Pasca-libur Lebaran Idul Fitri, jumlah kasus positif Covid-19 di Kabupaten Bangkalan, Madura, terus bertambah. Dari seluruh kecamatan di Bangkalan, per Selasa (8/6/2021) hanya ada dua dari 18 kecamatan, yang masuk kategori zona kuning (risiko rendah), yakni Kecamatan Konang dan Kokop. Tidak ada zona hijau (risiko terkontrol). Empat kecamatan dinyatakan zona merah (risiko tinggi), yakni Kecamatan Bangkalan, Arosbaya, Klampis, dan Geger. Sedangkan 12 kecamatan lainnya termasuk zona oranye.

 

Pada hari Selasa (8/6/2021) saja, dari kluster keluarga di Kecamatan Arosbaya, bertambah 70 kasus positif. Ada apa dengan Bangkalan?

 

Mobilitas warga Bangkalan lebih tinggi dibandingkan warga kabupaten lain di Madura. Di samping letak geografis yang lebih dekat dengan Surabaya, sebagian daerah Bangkalan kurang cocok untuk pertanian. Tetapi, sebagian warga di Bangkalan bekerja di Surabaya, yang itu tidak mungkin dilakukan warga Kabupaten Sampang atau Pamekasan.

 

Kesadaran rendah

 

Sejak awal masa pandemi, pola pelacakan dan pengetesan terduga Covid-19 tidak masif dilakukan, sehingga sulit untuk mendapat gambaran sebenarnya kondisi penyebaran Covid-19 di Madura. Di samping itu, masyarakatnya sendiri tidak punya kesadaran bahaya Covid-19 bila tidak terkendali. Warga memang merasakan dampak buruk Covid-19 terhadap ekonomi, tetapi itu belum bisa menggerakkan warga untuk taat menjalankan protokol kesehatan.

 

Dalam beberapa kali pulang kampung ke Madura, saya melihat sendiri bagaimana warga cuek dengan protokol kesehatan yang terus disosialisasikan oleh Pemerintah Pusat di Jakarta. Hanya sekitar 10 persen warga yang menerapkan protokol kesehatan. Banyak dokter mengeluhkan para bupati dan pejabat di daerah, yang sengaja membatasi tes swab PCR warganya, hanya dengan tujuan agar wilayahnya tidak dikategorikan masuk zona merah.

 

Pada akhir November 2020, saya menghadiri pesta pernikahan di Sumenep dan Pamekasan. Selang sepuluh hari usai pesta, sekitar 14 anggota keluarga pengantin dinyatakan positif Covid-19. Itu pun mereka masih mengelak bahwa itu disebabkan oleh kerumunan selama pesta berlangsung.

 

Gambaran seperti ini jamak terlihat di seluruh wilayah Madura. Dalam pembicaraan sehari-hari selalu muncul pertanyaan yang terkesan meremehkan virus korona baru yang tidak kasat mata. “Di mana ada Covid, makan enak terus kok. Jangan takut, mati itu urusan Yang Maha Kuasa, bukan karena Covid,” demikian kalimat yang sering kita dengar.

 

Sikap bupati dan para pejabat yang ingin daerahnya tidak mendapat kategori zona oranye atau merah, membuat mereka membatasi pelacakan (tracing) dan tes virus terhadap warganya. Apalagi, tidak ada satu pun fasilitas laboratorium di Madura yang memenuhi syarat untuk melakukan tes PCR (polymerase chain reaction) virus Covid-19. Seluruh hasil pengambilan sampel harus dibawa ke laboratorium di Surabaya dan biaya tes itu ditanggung pemerintah daerah.

 

Dari sinilah stigmatisasi terhadap penderita Covid-19 muncul. Bupati ingin daerahnya masuk kategori zona hijau yang berarti tidak ada penderita Covid-19 di wilayahnya. Itu dianggap sebagai prestasi, namun akibatnya orang yang terkena Covid-19 di daerah itu lalu “diasingkan” dan muncul stigma atau aib. Dengan kata lain, awalnya stigma muncul karena kesalahpahaman pejabat melihat dan mengukur prestasi atau capaian di daerahnya.

 

Dampak ikutannya, pemerintah daerah enggan menambah anggaran penanganan Covid-19 dari APBD hingga menyebabkan pelacakan dan pengetesan Covid-19 berjalan ala kadarnya.

 

“Jangan salahkan rakyat, sebab bupatinya sendiri yang tidak mau kami melakukan tes Covid-19 secara masif. Bahkan, ada bupati di Madura yang melarang warganya melakukan tes swab PCR karena takut ketahuan,” ujar seorang dokter di RSUD Sumenep.

 

Belum lagi, pekerja migran asal Madura yang secara diam-diam mulai berdatangan sejak awal 2021 dan khususnya menjelang Idul Fitri 2021. Sebagian besar pekerja migran asal Madura bekerja di Malaysia dan negara-negara di Timur Tengah, tetapi sebagian kecil lagi bekerja di kapal-kapal pesiar yang sejak pandemi ini tidak lagi berlayar. Kita sulit melacak para pekerja di kapal pesiar yang pulang ke Madura, singgah di mana dan bertemu siapa dalam perjalanan pulang.

 

Melihat sikap bupati dan para pejabat itu, artinya lonjakan kasus Covid-19 seperti di Bangkalan hanya tinggal menunggu waktu. Padahal, pada Juni 2020 kasus kematian akibat Covid-19 sudah menimpa warga Robatal, Kabupaten Sampang. Namun, hal ini belum dapat mengubah persepsi pejabat dan tokoh masyarakat Madura. Sosialisasi protokol kesehatan dan sejenisnya berlangsung sekadarnya.

 

Dalam hidup keseharian, warga Madura selalu berpegang pada pepatah “buppak bhebbuk hguru rato” (bapak, ibu, guru, dan pemerintah). Pepatah ini menunjukkan urutan loyalitas yang harus dijalankan oleh setiap warga. Artinya, bagi warga Madura loyalitas utama itu kepada ayah, ibu, baru kepada guru dalam hal ini ulama, dan terakhir pada pemerintah.

 

Di samping itu, ada semacam kesepakatan tidak tertulis bahwa ketaatan pada ulama adalah hal utama dan terutama karena dari ulama yang menjadi sumber ajaran dalam menjalankan agamanya. Tetapi, di sisi lain ada umara (pemerintah) dan blater (sosok orang kuat) yang punya peran cukup besar dalam sistem sosial Madura.

 

Ulama, umara, dan blater ini bisa disebut sub-kultur dari kultur Madura. Peran mereka berbeda-beda, dan sampai era Reformasi tidak saling mengintervensi. Karapan sapi yang memiliki dimensi kekerasan, misalnya, tidak ada ulama Madura yang mengharamkannya secara terbuka. Bahkan, tidak jarang untuk menang karapan, pemilik sapi meminta jampi-jampi dari ulama.

 

Di sisi lain, umara (pemerintah) mengakomodasi karapan sapi menjadi tontonan budaya. Para tokoh masyarakat dari tiga wilayah sub-kultur ini, ulama, umara, dan blater, selama ini bisa bekerja sama dalam simbiosis mutualisme. Namun, di era Reformasi ini peran ulama, umara dan blater mulai tumpang tindih.

 

Semua bupati di Madura adalah ulama, sedang blater mulai muncul ke permukaan dengan menguasai jaringan distribusi perdagangan dan tetap mendominasi kekuasaan di tingkat pedesaan.

 

Ketidaksiapan aparat

 

Dalam kondisi normal, “keseimbangan” hidup warga Madura tidak terganggu. Tetapi, di saat pandemi melanda, keseimbangan mulai terganggu hingga memunculkan kebimbangan di sana-sini. Sebagai pengasuh pesantren, concern utama para ulama yang menjadi bupati biasanya di bidang pendidikan dan masalah sosial lainnya, bukan di bidang kesehatan.

 

Sebelum menjadi bupati, para ulama selama ini banyak menerima masukan langsung dari rakyat, tetapi di saat dia menjabat bupati, dengan alasan beragam, mereka tidak bisa menerima langsung masukan dari warganya. Kalau pun ada, masukan itu sangatlah terbatas. Masukan lebih banyak datang dari para pejabat daerah, yang lebih sering memberi laporan kurang sesuai dengan kondisi riil masyarakat, bahkan laporan "asal bapak senang".

 

Dalam kondisi warga seperti inilah pandemi Covid-19 datang dan dalam waktu cukup lama 18 bulan. Saya melihat, ketidaksiapan aparat dan kurang berperannya tokoh masyarakat dalam memberi pemahaman soal Covid-19 ini membuat warga Madura merasa gamang, tidak tahu harus bertanya kepada siapa dan memercayai omongan siapa. Munculnya perasaan aib ketika seseorang dinyatakan positif Covid-19, kian menambah rasa frustrasi warga mengingat jarang ada pejabat dan tokoh masyarakat yang mau tampil membela mereka yang terkena Covid-19.

 

Ketika tokoh masyarakat, khususnya ulama, tidak tegas melawan Covid-19, warga pun abai hingga terjadi lonjakan kasus di Bangkalan. Saya menduga, jika upaya pencegahan tidak dilakukan secara struktural dan kultural, lonjakan kasus serupa bisa terjadi di Kabupaten Sampang, yang berbatasan dengan Bangkalan. Selain faktor kedekatan wilayah, banyak pekerja migran juga berasal dari Sampang. Sehingga, wajar jika di Kabupaten Sampang beberapa waktu lalu ditemukan virus korona baru yang sudah bermutasi. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar